Oleh:
Ali Thaufan DS
Awal
Agustus ini, publik dikejutkan dengan operasi tangkap tangan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Pamekasan beserta dua orang Kepala
Desa. Penangkapan mereka diduga karena melakukan penyelewengan dana
infrastruktur yang dibiayai menggunakan dana desa. Keterlibatan Kades tidak
mengherankan karena Kades merupakan pemegang kekuasaan tertinggi terhadap
keuangan desa (dana desa).
Kejadian
ini mengundang kemarahan publik. Muncul istilah baru di masyarakat, “bancakan
dana desa”. Dana desa dianggap menjadi ladang baru korupsi pejabat daerah.Terjadinya
korupsi dana desa diduga minimnya pengawasan dari berbagai pihak.
Penyelewengan
dana desa bukan kali pertama sejak dialakokasikannya dana desa. Dari data yang
penulis himpun dari berbagai sumber berita sepanjang 2017 ini, sudah ada
beberapa penyelewengan dana desa yang dilakukan Kades. Penyelewangan dana
tersebut berujung pada penahanan sang Kades. Kejadian ini diantaranya terjadi
di Desa Bunder Kab. Gunung Kidul; Desa Sukaresi Kab. Sukabumi; Desa Jatidukuh
Kab. Mokokerto; Desa Koba Kab. Luwu; Desa Cigagede Kab. Garut. Tentu kita
menyayangkan kasus ini terjadi.
Sejak
diundangkannya Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Dana Desa, pemerintah
mengalokasikan dana desa dalam setiap anggaran belanja dan pendapatan negara
(APBN). Alokasi dana desa terbilang fantastis, puluhan triliun. Dana desa juga
sangat istimewa di mata pemerintah karena di tengah gencarnya pemerintah
melakukan penghematan (pemotongan anggaran), anggaran dana desa tidak dipotong.
Jika
melihat besaran anggaran dan realisasi berdasarkan nota keuangan sejak 2015,
realisasi penyaluran dana desa memang sedikit mengalami penurunan. Pada tahun
2015, anggaran dana desa sebesar Rp. 20,7 triliun realisasinya 100%. Pada tahun
2016, aggaran dana desa sebesar Rp. 46,9 triliun realisasinya 99,4%. Pada tahun
2017, dana desa dianggarkan sebesar Rp. 60 triliun. Pada tahun 2018, pemerintah
berancana akan menaikkan kembali alokasi dana desa.
Peningkatan
dana desa dari tahun ke tahun cukup beralasan. Merujuk pada data BPS per Maret
2016 lalu, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih didominasi penduduk desa.
Sebanyak kurang-lebih 27 juta penduduk miskin Indonesia, 63 persen berada di
pedesaan. Peningkatan dana desa juga menjadi komitmen pemerintah Joko
Widodo-Jusuf Kalla yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran dan pedesaan
(Nawacita butir ketiga).
Adanya
dana desa hingga saat ini cukup memberikan sumbangan signifikan terhadap
pembangunan desa. Sasaran dari alokasi dana desa diantaranya meliputi tiga
aspek. Pertama, pembangunan infrastruktur desa
seperti irigasi desa, dan drainase. Kedua, pembangunan sarana dan prasarana
desa seperti posyandu dan PAUD. Ketiga, pengembangan kapasitas ekonomi desa,
contohnya mengembangkan koperasi, peternakan desa, pertanian desa, dan Badan
Usaha Milik Desa (BUMdes).
Sumbangan yang cukup besar dalam pembangunan desa melalui
dana desa perlu pengawasan yang ketat dari berbagai pihak. Dalam UU Desa pasal
82, disebutkan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemantauan dan
pengawasan pembangunan desa. Masyarakat juga berhak mendapat informasi rencanan
dan pelaksanaan pembangunan desa. Masyarakat dapat melaporkan hasil pemantauan
dan pengawasan kepada Badan Musyawarah Desa.
Pemerintah
sendiri sudah menyiasati pengawasan dana desa melalui Unit Pelayanan Kawasan
(UKP) yang bertempat di Kecamatan. Tugasnya adalah melakukan pengawasan
anggaran dana desa dan asas kemanfaatannya. Selain itu, unit ini juga
merumuskan berdirinya BUMdes Bersama. Dilihat dari tugasnya, unit tidak tidak
hanya mengawasi pembangunan dana desa yang berasal dari anggarana dana desa,
tetapi juga mengenalkan produk desa melalui BUMdes.
UU
Desa juga mengamanatkan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah
desa, termasuk di dalamnya pengelolaan dana desa pada tiga tingkatan
pemerintahan yaitu pemerintah pusat, provinsi dan kab/kota. Pembinaan dan pengawasan
berkenaan dengan dana desa yang dilakukan pemerintah pusat diatur dalam pasal
113 huruf h, yang berbunyi: “menetapkan bantuan keuangan langsung kepada Desa”.
Pembinaan
dan pengawasan berkenaan dengan dana desa yang dilakukan pemerintah daerah provinsi
diatur dalam pasal 114 huruf b, yang berbunyi: “melakukan pembinaan
Kabupaten/Kota dalam rangka pemberian alokasi dana Desa”. Pembinaan dan
pengawasan berkenaan dengan dana desa yang dilakukan pemerintah daerah Kab/Kota
diatur dalam pasal 115 huruf f dan g, yang berbunyi: “(f) menetapkan pembiayaan
alokasi dana perimbangan untuk Desa; (g) mengawasi pengelolaan Keuangan Desa
dan pendayagunaan Aset Desa”.
Pada
era mendatang, pemerintah dituntut melakukan pengawasan lebih ketat untuk
menghindari penyelewengan dana desa. Namun pada akhirnya, dengan mencermati
kasus di atas dan pengaturan pengawasan amanat UU Desa, pengawasan penggunaan
dana desa tidak akan berarti apa-apa tanpa ada kesadaran pejabat desa untuk
menghindari perilaku korup dalam membangun desa. Membangun desa tidak saja
berupa bangunan fisik yang ada di desa, tetapi juga mental aparatur sipil
negara yang mengurus desa. Sebanyak apapun dana desa dianggarkan tidak akan
berarti bagi desa. Oleh sebab itu, perlu kesadaran bersama membangun desa, “pengawasan
dan kesadara”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar