Oleh:
Ali Thaufan DS (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)
Daerah
perbatasan seringkali diidentikan sebagai daerah tertinggal dalam hal
pembangunan infrastruktur, minim fasilitas pendidikan dan kesehatan, bahkan
rawan kriminal seperti penyelundupan. Kondisi ini tentu memprihatinkan karena
daerah perbatasan seharusnya menjadi beranda dan jendela Indonesia. Untuk
mengatasi problem di atas, pemerintah telah melakukan upaya menggenjot
pembangunan daerah perbatasan.
Harian
Kompas edisi Hari Ulang Tahun
Republik Indonesia 2017 kali ini mengulas berita “Jelajah Tapal Batas”. Isinya
menyoroti perhatian pemerintah kepada daerah-daerah perbatasan dari Sabang
sampai Merauke. Hidup di daerah perbatasan diselimuti suka dan duka. Mereka
harus berjibaku untuk mendapatkan kebutuhan bahan pokok. Selain menghadapi
medan yang berat, mereka juga dihadapkan pada harga yang relatif mahal. Dengan
kata lain, hidup di perbatasan cost-nya
mahal.
Potret
kehidupan di daerah perbatasan yang serba susah antara lain dapat ditemui di
Krayan Kalimantan Utara. Seorang warga harus berbelanja ke negara tetangga,
Malaysia untuk membeli kebutuhan pokok. Yang menyedihkan lagi, untuk belanja
kesana warga memerlukan waktu 14 jam, dengan jarak lebih dari 100 km. Lamanya
perjalanan diperparah dengan kondisi jalan yang terjal. Kondisi ini menunjukkan
suasana di Krayan seperti terisolir. Warga disana berharap pembangunan jalan
Malinau-Krayan segera selesai. Dengan jalan tersebut, ketergantungan kebutuhan
pokok kepada Malaysia dapat dikurangi. (Kompas
14/8/2017).
Dalam
sebuah wawancara dengan Rusdi Salim, salah satu Reporter Radio Republik
Indonesia (RRI) yang bertugas di Nunukan Kalimantan Utara pada 16 Agustus tahun
lalu, penulis mendapatkan gambaran betapa memprihatinkan kondisi di daerah
perbatasan Nunukan Kaltara-Malaysia. Ia pernah mengalami kehabisan stok makanan,
lalu menunggu Pesawat Perintis untuk mencari pasokan kebutuhan bahan pokok.
Pesawat Perintis yang bentuknya kecil itu dipaksa mengangkut tidak hanya besar
dan sayuran, tetapi juga ayam, dan domba. Namun, kondisi ini tidak menyurutkan
nasionalisme warga yang hidup di perbatasan. Mereka penuh kecintaan terhadap
Indonesia.
Keterbatasan
listrik menjadi problem sehari-hari warga yang hidup di perbatasan. Di Desa
Siwalan NTT, meski letaknya tak jauh dari PLBN, masih didapati warga yang tak
mendapatkan aliran listrik. Mereka menggantungkan malam pada sebuah lilin dan
lampu minyak yang terbuat dari kaleng bekas.
Untuk
meminimalisir kesenjangan kehidupan di perbatasan, geliat pembangunan terus
dilakukan pemerintah. Pada tahun 2010 hingga 2014, Kompas mencatat pemerintah
telah membangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) sebanyak tujuh titik daerah
perbatasan yaitu: Aruk Kalimantan Barat, Entikong Kalimantan Barat, Nanga Badau
Kalimantan Barat, Mutaain Nusa Tenggara Timur, Skouw Jayapura, Wini Nusa
Tenggara Timur, dan Motamasin Nusa Tenggara Timur. Dari jumlah itu, dua belum
diresmikan yaitu PLBN Wini dan Motamasin.
Pada
tahun 2015-2019 pemerintah merencanakan membangun sembilan PLBN dibeberapa
titik, Sei Pancang Kalimantan Utara, Serasan Kepri, Tanjung Medang Riau,
Maritaeng Nusa Tenggara Timur, Jasa Kalimantan Barat, Oepoli Nusa Tenggara
Timur, Jagoi Babang Kalimantan Barat, Waris Kaerom Papua, Napan Nusa Tenggara
Timur. (Kompas 15/8/2017).
Namun
di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba sulit di perbatasan, kita patut
mengapresiasi semangat yang tumbuh dari warga yang tinggal disana. Semangat itu
bernama “semangat pendidikan”. Terkait dengan kondisi pendidikan, hasil
penelurusan Kompas menyebutkan bahwa
di Krayan dan Krayan Selatan per tahun 2015 terdapat 26 SD, 12 SMP dan 7
SMK/SMA. Minimnya SMA di Krayan tak menyurutkan siswa untuk menempuh
pendidikan. Mereka sebagian ke Tarakan melanjutkan sekolah. Setelah lulus SMA
beberapa siswa juga melanjtkan ke perguruan tinggi di Tarakan, Samarinda, hingga
kota besar seperti Yogyakarta dan Bandung.
Pembangunan
infrastruktur di daerah perbatasan selain dipacu, harus didukung dengan
pembangunan sumber daya manusia. Investasi terbesar di perbatasan sejatinya
bukan bangunan fisik, tetapi bangunan pendidikan. Pemerintah tidak boleh
memadamkan api semangat yang muncul di pinggiran (perbatasan) Indonesia. Perlu
pernghargaan lebih agar api semangat mereka tetap menyala. Dengan api semangat
itu, harapan besar muncul dari perbatasan.
Momentum
HUT Republik Indonesia ke-72 menjadi waktu yang paling tepat merefleksikan
kondisi daerah perbatasan dan memikirkan langkah pembangunan selanjutnya.