Oleh: Ali Thaufan
Dwi Saputra (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)
Tahapan Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 akan dimulai pada Juni tahun ini.
Penyelenggara Pemilu, KPU dan Bawaslu harus bekerja semaksimal mungkin agar
Pilkada nanti dapat berjalan dengan baik. Pelaksanaan Pilkada serentak telah
dilangsungkan dua gelombang sebelumnya, tahun 2015 dan 2017. Kita patut bangga,
pelaksanaan Pilkada serentak dapat berjalan dengan baik, lancar dan aman. Meski
demikian, berkaca pada dua pelaksanaan tersebut, terdapat segudang persoalan
penyelenggaraan yang harus dibenahi dalam pelaksanaan Pilkada 2018 mendatang.
Berdasarkan catatan
KPU, beberapa persoalan dalam Pilkada 2017 ini antara lain adalah kemampuan
anggaran daerah dalam pencairan dana hibah untuk pelaksanaan Pilkada. Pada
Pilkada 2015, pendanaan Pilkada dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN). Namun setelah disahkan Undang-undang No. 10 tahun 2016 tentang
Pilkada, anggaran Pilkada juga dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD).
Persoalan lain yang
muncul pada Pilkada 2017 kemarin adalah masih terdapat konflik internal partai
politik sehingga memengaruhi proses pencalonan pasangan calon. Pada
perkembangannya, KPU dan Bawaslu harus menuntaskan beberapa sengketa pencalonan
tersebut. Pada tahapan pelaksanaan pemungutan suara, KPU juga mencatat adanya
pelanggaran yang dilakukan oleh oknum KPPS. Mereka diduga mencoblos seluruh
sisa suara yang tidak digunakan. Selain itu, pada Pilkada 2017 kemarin juga
masih ditemukan adanya pemilih yang sudah memiliki hak pilih tetapi tidak dapat
memilih karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT). Persoalan ini
menambah panjang masalah carut marut
DPT yang selalu terjadi dari tahun ke tahun.
Selain persoalan
teknis pelaksanaan Pilkada, pada Pilkada serentak 2017 ini masyarakat dibuat
risau dengan polarisasi akibat perbedaan pilihan. Media sosial menjadi alat
yang paling masif dalam menyebarkan kampanye hitam. Tentu saja, kondisi ini
amat disayangkan. Persatuan menjadi terbelah akibat fanatisme dalam mendukung
paslon tertentu.
Pilkada serentak
2018 nanti tentu akan menjadi tantangan bagi KPU dan Bawaslu yang baru dilantik
April kemarin. Berbeda dengan Pilkada 2017 yang dilaksanakan di 101 daerah,
Pilkada 2018 nanti dilaksanakan di 171 daerah, dengan rincian 17 Provinsi, 115 Kabupaten
dan 39 Kota. Secara kuantitas, Pilkada serentak 2018 lebih banyak ketimbang
2017 lalu. Penulis mencatat beberapa hal yang patut menjadi perhatian kita
semua yaitu hari H pemungutan, masa jabatan penyelenggara Pemilu di daerah (KPUD),
dan besaran anggaran Pilkada.
Pertama berkenaan
dengan tanggal dan hari pemungutan suara. Pada Pilkada 2018 nanti, pemungutan
suara dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 27 Juni 2018. Hal ini sudah
disepakati oleh DPR dan KPU pada rapat dengar pendapat 25 April lalu. Untuk
diketahui, pada bulan Juni 2018 umat Islam juga merayakan hari Raya Idul Fitri
yang diperkirakan jatuh pada 16 atau 17 Juni. Artinya, hari pemungutan suara
sangat berdekatan dengan hari Raya Idul Fitri. Penetapan pemungutan suara yang
dilakukan pada bulan Juni bukan “asal tunjuk” dari KPU, tetapi merupakan amanat
UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada dalam ketentuan peralihan pasal 201.
Konsekuensi dari
penetapan hari pemungutan suara yang berdekatan dengan hari Raya Idul Fitri
adalah masa kampanye yang dilakukan pada bulan Suci Ramadhan. Masa kampanye
pada bulan Ramadhan akan menjadi tantangan bagi Bawaslu dalam melakukan
pengawasan kampanye, terutama menyangkut money
politic (politik uang). Bawaslu dipastikan kesulitan memberi batasan apa
yang dimaksud politik uang.
Larangan praktek
politik uang disebutkan dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada pasal 73
ayat (1) yang berbunyi “Calon dan/atau
tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya
untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih”. Akan tetapi,
larangan menjanjikan dan memberikan diberikan pengecualian seperti dijelaskan
pada pasal 73 penjelasan, yaitu: “pemberian biaya makan minum peserta kampanye,
biaya transport peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan
terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya
berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan
Peraturan KPU”.
Adapun pengaturan
sanksi politik uang disebutkan pada pasal 187A bahwa setiap orang yang
melakukan politik uang akan mendapat sanksi pidana “... dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam)
bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)”.
Dengan dilakukannya
kampanye pada bulang Ramadhan, maka patut menjadi pertanyaan, apakah paslon
yang mengadakan acara buka puasa bersama dan sahur bersama dapat dikategorikan
sebagai politik uang?, padahal ini menjadi tradisi Ramadhan di Indonesia.
Apakah paslon yang memberikan “ampau” dan “THR-an” pada saat Idul Fitri juga
dikategorikan sebagai politik uang? Ini patut direnungkan.
Perhatian kedua
adalah berkenaan dengan masa jabatan anggota KPU baik ditingkat Provinsi,
Kabupaten dan Kota. Pada Pilkada serentak 2018 nanti, terdapat beberapa daerah
yang masa jabatan anggota KPU-nya akan berakhir pada Juni 2018. Merujuk pada
data KPU, penulis mencatat setidaknya ada 13 KPUD yang masa jabatnya berakhir
pada bulan Juni 2018. Adapun KPUD tersebut adalah Provinsi Sumatera Selatan
yang habis masa jabatan 11 Juni 2018, Kota Bengkulu 1 Juni 2018, Kota Tanjung
Pinang 27 Juni 2018, Kota Bau-Bau 28 Juni 2018, Kabupaten Tangerang 6 Juni
2018, Kabupaten Kayong Utara 22 Juni 2018, Kabupaten Minahasa 26 Juni 2018,
Kabupaten Kapuas, Barito Kuala, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Tanah Laut, dan
Bone, masing-masing 24 Juni 2018.
Masa akhir jabatan
yang berdekatan dengan pelaksanaan Pilkada tentu sedikit banyak memberi
pengaruh secara psikis bagi penyelenggara Pemilu. Untuk menyiasati masa akhir
jabatan yang berdekatan dengan hari pemungutan suara, KPU Pusat harus membuat
formula yang tepat agar pelaksanaan Pilkada tetap berjalan dengan baik yakni
dengan memperpanjang masa jabatan KPUD yang bersangkutan. UU No. 15 tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum pasal 130 menyebutkan bahwa KPUD dapat
diperpanjang jika masa habisnya bertepatan dengan tahapan Pilkada yang sedang
berjalan.
Ketiga, terkait anggaran
Pilkada. KPU dan Bawaslu sudah membuat estimasi. Kebutuhan anggaran KPU untuk Pilkada
serentak 2018 sebesar Rp. 11,3 triliun. Sedangkan kebutuhan anggaran Bawaslu untuk
Pilkada serentak 2018 sebesar Rp. 4,6 triliun. Jumlah yang dianggarkan KPU
dinilai terlalu besar dibanding Pilkada serentak sebelumnya. Pada Pilkada
serentak 2015 yang dilaksanakan di 269 daerah, anggaran sebesar Rp. 7 triliun.
Sedangkan Pilkada serentak 2017 kemarin, di 101 daerah memakan anggaran 4,4
triliun.
Cermat Memilih
Menatap Pilkada
adalah menatap masa depan daerah. Pilkada menjadi momentum memperbaiki dan
membangun Pemerintah Daerah. Satu hal penting yang patut diperhatikan adalah bahwa
Pilkada harus melahirkan kepala daerah yang berkualitas bukan Kepala Daerah
yang lahir dari rezim aristokrasi.
Patut menjadi
perhatian, deretan kasus korupsi yang dilakukan Kepala Daerah menjadi pelajaran
berharga bagi paslon yang mencalonkan diri dan pemilih dalam menentukan pilihan
mereka. Masyarat sebagai pemilih harus jeli menimbang pilihan. Betapapun, dua
menit pemungutan suara di dalam bilik suara, sangat menentukan lima tahun
berjalannya pemerintahan daerah ke depan.