Oleh: Ali Thaufan
Dwi Saputra (Alumnus Pascasarjana UIN Jakarta)
Budaya patriarkhi di
Indonesia membuat perempuan selalu ditempatkan di belakang, dan hal ini sudah
menjadi pandangan umum. Seiring berjalannya waktu, pandangan umum yang
menganggap bahwa perempuan selalu dibelakang laki-laki perlahan mulai terkikis.
Peter Carey (2016) dalam Perempuan-Perempuan
Perkasa mencatat sejarah perempuan perkasa Indonesia sudah tampil pada
panggung publik, sejak sebelum pecahnya perang Jawa. Kini, banyak hadir
perempuan sebagai politisi, kepala daerah, pimpinan perusahaan dan sebagainya.
Sejarawan Barat yang
banyak menulis tentang Indonesia, M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (2001) menyebut bahwa sosok R.A.
Kartini sebagai inspirasi lahirnya gerakan perempuan modern. Kepeduliannya
terhadap pendidikan telah membuka wawasan baru “gerakan emansipasi” bagi
perempuan zaman itu. Laki-laki dan perempuan harus setara untuk mendapat pendidikan.
Hingga kini, Kartini menjadi icon
atau simbol kebangkitan perempuan. Setiap tanggal 21 April –hari kelahiran
Kartini- perempuan memeringatinya sebagai Hati Kartini.
Secara umum, kondisi
perempuan Indonesia masih mengundang keprihatinan. Tekanan budaya adalah faktor
yang sangat berpengaruh bagi ruang gerak perempuan. Ini menyebabkan perempuan
tersubordinasi. Nasaruddin Umar (2014), salah satu “muslim feminis” menulis bahwa
perempuan terkungkung akibat mitos yang berkembang dan dipercayai, bukan oleh
aturan agama. Mitos secara kebanyakan telah menempatkan perempuan pada tempat
yang tidak mestinya bahkan cenderung tidak mengenakkan.
Dalam banyak kasus
di Indonesia, perempuan kerap menjadi objek kekerasan. Akhir Maret lalu, Badan
Statistik Nasional (BPS) merilis hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan
Nasional (SPHPN). Survei yang dilakukan pada 2016 menunjukkan perempuan sering
menjadi objek kekerasan baik fisik maupun non fisik. Satu dari tiga perempuan
yang berusia antara 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan seksual. Rilis
survei itu juga menyebut bahwa kekerasan seksual perempuan kebanyakan terjadi
di perkotaan.
Berbagai kekerasan
yang terjadi pada perempuan mendorong lahirnya kebijakan yang tegas terhadap
pelaku kekerasan perempuan. Kebijakan tersebut harus didukung dengan adanya
pengambil kebijakan yang responsif gender. Oleh sebab itu, keterwakilan
perempuan dalam lembaga seperti eksekutif maupun legislatif menjadi sangat
penting.
Keterwakilan Perempuan
Affirmative action (kebijakan afirmasi) perempuan politik menjadi
agenda para aktivis perempuan. Berangkat dari minimnya keterwakilan perempuan
baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, mereka terus mengupayakan agar
perempuan berprestasi dan berkualitas dapat duduk di lembaga-lembaga tersebut.
Salah satu kebijakan
afirmasi bagi perempuan politik adalah memberikan kuota 30 persen bagi
perempuan di dalam penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu), pengurus partai politik
dan pencalegan yang diatur dalam Undang-undang. Dalam UU No. 15/2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, UU No 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD,
dan UU No. 2/2011 tentang Partai Politik, pasal-pasal yang mengatur
keterwakilan perempuan dituliskan secara jelas dengan frasa “memperhatikan 30
persen keterwakilan perempuan”.
Upaya kebijakan
afirmasi sejak diterapkannya pada UU Pemilu telah menghasilkan keterwakilan perempuan
di DPR. Pada Pemilu 2014 lalu, keterwakilan perempuan di DPR mencapai 17,32 persen
(97 orang perempuan dari 560 kursi DPR). Angka tersebut lebih kecil dibanding
hasil Pemilu pada 2009, keterwakilan perempuan mencapai 18 persen (101 orang
dari 560 kursi DPR). Pada Pemilu 2004, keterwakilan perempuan di DPR mencapai
11 persen (61 orang dari 550 kursi DPR). Sedangkan pada Pemilu 1999,
keterwakilan hanya sebesar 9,6 persen (48 dari 500 kursi DPR).
Pada ranah
eksekutif, Pilkada serentak yang digelar pada 2015 dan 2017 telah melahirkan
beberapa kepala daerah perempuan. Sebanyak 123 calon kepala dan wakil kepala daerah perempuan
yang mencalonkan diri pada Pilkada 2015 lalu, menghasilkan 35 calon yang terpilih. Bahkan terdapat daerah yang kepala dan wakil
kepala daerahnya dipimpin oleh perempuan, Sri Hartini dan Sri Mulyani, yaitu
Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Sedangkan pada Pilkada serentak 2017, dari 44
calon kepala dan wakil kepala daerah perempuan, terdapat 13 calon perempuan
yang terpilih.
Jika dicermati,
keterwalikan perempuan di DPR pasca reformasi menunjukkan tren positif. Demikian
juga perempuan di lembaga eksekutif yang jumlahnya terus mengalami peningkatan.
Untuk jabatan eksekutif, perempuan Indonesia tentu pernah bangga karena
Presiden Indonesia pernah dijabat kaum perempuan, Megawati Sukarnoputri
(2001-2004). Meski menunjukkan angka kenaikan jumlah perempuan baik di
legislatif dan eksekutif, tetapi kenaikan itu tidak terlalu signifikan.
Pembahasan RUU
Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) yang tengah dibahas di DPR juga menjadi
kesempatan bagi para aktivis perempuan untuk mengusulkan pasal-pasal sebagai
upaya meningkatkan keterwakilan perempuan. Usulan yang terbilang cukup berani
dari kelompok aktivis perempuan adalah kuota kursi di legislatif sebesar 30
persen. Artinya, jika ada 560 kursi di DPR, maka 30 persen kursi itu adalah
untuk perempuan. Namun demikian, usulan ini tentu tidak mudah diterima banyak
pihak.
Usulan lain yang
ditawarkan kelompok aktivis perempuan adalah parpol harus menempatkan perempuan
pada nomer urut pertama daftar caleg di 30 persen dari total daerah pemilihan (Dapil)
seluruh Indonesia. Dengan menempatkan caleg pada nomer urut pertama, akan
menjadi peluang keterpilihan caleg tersebut.
Selain menempatkan
caleg perempuan di 30 persen Dapil, kelompok perempuan juga mengusulkan sistem zipper murni. Sistem ini adalah
menempatkan caleg laki-laki dan perempuan secara “selang-seling”. Artinya jika
nomer urut caleg pertama adalah laki-laki, maka nomer urut kedua adalah
perempuan, dan begitu seterusnya. Hanya saja, model zipper murni ini harus memperhatikan kemampuan parpol dalam
kaderisasi caleg perempuan. Ketersediaan “stok kader” dalam parpol menjadi
persoalan tersendiri jika menerapkan sistem ini.
Upaya meningkatkan
keterwakilan perempuan pada Pemilu sangat bergantung pada sistem Pemilu yang
akan diterapkan. Jika Pemilu 2019 nanti menggunakan sistem proporsional
tertutup, yaitu memilih nomer urut daftar Caleg, maka penempatan Caleg pada 30
persen jumlah Dapil akan sangat menguntungkan perempuan. Secara otomatis,
sistem proporsional tertutup telah menjamin 30 persen kuota perempuan pada
lembaga legislatif (DPR) jika pengaturan perempuan ditepatkan nomer urut
pertama di 30 persen Dapil disetujui.
Sementara, jika
Pemilu menggunakan sistem terbuka, memilih nama caleg, maka pengaturan zipper murni adalah alternatif yang
paling kemungkinkan meningkatkan keterwakilan perempuan. Nomer urut pertama
bagi Caleg cukup menentukan keterpilihan Caleg yang bersangkutan.
Terlepas dari
pengaturan keterwakilan perempuan dalam UU, peran parpol sangat menentukan bagi
lahirnya kader-kader perempuan yang berkualitas. Pendidikan politik parpol
sangat penting bagi kader perempuan. Parpol harus lebih terbuka terhadap peran
penting perempuan dalam politik.
Tingkatkan Kualitas
Aturan kebijakan
afirmasi ini harus dimanfaatkan secara baik oleh kaum perempuan. Jangan sampai
aturan yang mendukung keterwakilan perempuan tidak dibarengi dengan peningkatan
kualitas perempuan itu sendiri. Keberadaan perempuan pada lembaga legislatif
dan eksekutif adalah untuk mendukung kebijakan kesetaraan gender. Jika perempuan
tidak dibekali dengan wawasan tentang arti kesetaraan gender, maka upaya
pengaturan kuota perempuan di berbagai lembaga akan menjadi “pepesan kosong”.
Belajar dari Kartini
adalah kata kunci untuk meningkatkan kualitas perempuan dan keterwakilannya
pada lembaga-lembaga negara seperti legislatif dan eksekutif. Kartini telah
memberikan pelajaran bagi kita tentang arti kesetaraan laki-laki dan perempuan
dalam banyak hal seperti politik (menjadi politisi), karir, dan pendidikan.