Sabtu, 05 September 2015

PAN Melompat (Membaca Keputusan PAN Bergabung dengan KIH)



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Gajat politik Indonesia –pada awal September 2015 ini- diramaikan atas keputusan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), pendukung pemerintah. Sebelumnya, PAN tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yang menjadi “oposisi” dan penyeimbang pemerintah. Keputusan PAN terbilang mengejutkan karena KMP dikenal cukup solid. Tulisan ini membincang keputusan PAN yang “melompat” ke KIH dan berbagai perdebatan atas keputusan PAN tersebut.

Dalam politik terdapat adagium “tidak ada musuh abadi”. Artinya, semua bisa bermusuhan dalam suatu waktu, tetapi pada waktu yang lain dapat menjadi mitra. Begitulah yang terbaca dari keputusan PAN. Di bawah nahkoda Zulkifli Hasan –yang terpilih sebagai ketua umum PAN pada Mei 2015 lalu- PAN merubah peta koalisi. Sebelumya tergabung dalam KMP, lalu kemudian berpaling dan bergabung dalam KIH. Aroma bargabung PAN ke KIH memang dipredikasi oleh sebagaian pemerhati politik Indonesia. Pasalnya pasca terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai ketua umum baru menggantikan Hatta Rajasa, beberapa safari politik dilakukan, termasuk menbuka komunikasi dengan partai yang tergabung dalam KIH. 

Keputusan PAN bergabung dalam KIH menuai berbagai kritik. Sebagian menyayangkan keputusan tersebut karena dinilai akan membuat lemah pengawasan terhadap pemerintah, seperti yang saat ini dilakukan KMP. Unsur penting dalam sistem pemerintahan demokrasi Indonesia mensyaratkan adanya pengawasan yang dilakukan oleh “oposisi”. Hal ini terjadi seperti pada pemerintahan sebelumnya, pasca reformasi 1998. Bergabungnya PAN kepada pemerintah didasarkan pada keinginan PAN yang ingin berkontribusi lebih terhadap bangsanya ini melalui kebijakan pemerintah. Kita tidak bisa sewenang-wenang menganggap PAN “mengkhianati” KMP. Keputusan PAN adalah keputusan politik, sangat dinamis dan bisa berubah setiap saat. Demikian juga partai lain yang tergabung dalam KMP, bisa saja mereka bargabung dengan KIH, sebagai partai pendukung pemerintah.

Terdapat beberapa hal yang penulis baca dari melompatnya PAN dari KMP ke KIH. Pertama, menegaskan bahwa politik merupakan “tipu-tipu”. Mengapa demikian? Pada suatu kesempatan (waktu) partai politik terlihat berbeda pendapat, berdebat dan bahkan “bermusuhan”. Tetapi pada waktu lain, mereka bersatu. Penulis menggunakan term “tipu-tipu” sebagai gambaran “anekdot”, sebuah kebijakan semu yang kerap diambil para elit partai politik, baik melalui pemerintah atau anggota dewan.

Kedua, menegaskan bahwa politik selalu diwarnai dengan kesetiaan dan sebaliknya. Mungkin, bagi para fans KMP, keputusan PAN bergabung dengan KIH adalah sebuah penghianatan terhadap KMP. Keputusan PAN sama artinya mencopot pondasi bangunan bernama KMP. Tetapi pada saat yang sama, kita bisa melihat kesetiaan partai lain yang tetap tergabung dalam KMP. Artinya, politik bukan soal pragmatisme semata, tetapi juga kesetiaan (setia berada diluar pemerintah).

Ketiga, keputusan PAN bisa dimaknai dengan akan adanya tukar menukar jatah pembantu presiden (menteri). Sangat mungkin dengan bergabungnya PAN, presiden akan memberikan jatah kursi menteri, meski entah kapan hal tersebut terealisasi. Namun demikian, terlalu terburu-buru jika kita menyimpulkan bahwa PAN tergoda “iming-iming” jatah menteri.

Keputusan PAN sepertinya menjadi sesuatu yang final. Tetapi, dinamika politik akan bisa saja berubah. Di parlemen, tidak ada jaminan PAN akan selalu “satu suara” dengan pemerintah. Pengalaman dinamika parleman telah menunjukkan bahwa tidak semua partai pendukung pemerintah selalu “satu suara” untuk sebuah keputusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar