Oleh:
Ali Thaufan DS
Gajat
politik Indonesia –pada awal September 2015 ini- diramaikan atas keputusan
Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH), pendukung pemerintah. Sebelumnya, PAN tergabung dalam Koalisi Merah
Putih (KMP), yang menjadi “oposisi” dan penyeimbang pemerintah. Keputusan PAN
terbilang mengejutkan karena KMP dikenal cukup solid. Tulisan ini membincang
keputusan PAN yang “melompat” ke KIH dan berbagai perdebatan atas keputusan PAN
tersebut.
Dalam
politik terdapat adagium “tidak ada musuh abadi”. Artinya, semua bisa
bermusuhan dalam suatu waktu, tetapi pada waktu yang lain dapat menjadi mitra.
Begitulah yang terbaca dari keputusan PAN. Di bawah nahkoda Zulkifli Hasan
–yang terpilih sebagai ketua umum PAN pada Mei 2015 lalu- PAN merubah peta
koalisi. Sebelumya tergabung dalam KMP, lalu kemudian berpaling dan bergabung
dalam KIH. Aroma bargabung PAN ke KIH memang dipredikasi oleh sebagaian
pemerhati politik Indonesia. Pasalnya pasca terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai
ketua umum baru menggantikan Hatta Rajasa, beberapa safari politik dilakukan,
termasuk menbuka komunikasi dengan partai yang tergabung dalam KIH.
Keputusan
PAN bergabung dalam KIH menuai berbagai kritik. Sebagian menyayangkan keputusan
tersebut karena dinilai akan membuat lemah pengawasan terhadap pemerintah,
seperti yang saat ini dilakukan KMP. Unsur penting dalam sistem pemerintahan
demokrasi Indonesia mensyaratkan adanya pengawasan yang dilakukan oleh
“oposisi”. Hal ini terjadi seperti pada pemerintahan sebelumnya, pasca
reformasi 1998. Bergabungnya PAN kepada pemerintah didasarkan pada keinginan
PAN yang ingin berkontribusi lebih terhadap bangsanya ini melalui kebijakan
pemerintah. Kita tidak bisa sewenang-wenang menganggap PAN “mengkhianati” KMP.
Keputusan PAN adalah keputusan politik, sangat dinamis dan bisa berubah setiap
saat. Demikian juga partai lain yang tergabung dalam KMP, bisa saja mereka
bargabung dengan KIH, sebagai partai pendukung pemerintah.
Terdapat
beberapa hal yang penulis baca dari melompatnya PAN dari KMP ke KIH. Pertama,
menegaskan bahwa politik merupakan “tipu-tipu”. Mengapa demikian? Pada suatu
kesempatan (waktu) partai politik terlihat berbeda pendapat, berdebat dan bahkan
“bermusuhan”. Tetapi pada waktu lain, mereka bersatu. Penulis menggunakan term
“tipu-tipu” sebagai gambaran “anekdot”, sebuah kebijakan semu yang kerap
diambil para elit partai politik, baik melalui pemerintah atau anggota dewan.
Kedua,
menegaskan bahwa politik selalu diwarnai dengan kesetiaan dan sebaliknya.
Mungkin, bagi para fans KMP,
keputusan PAN bergabung dengan KIH adalah sebuah penghianatan terhadap KMP.
Keputusan PAN sama artinya mencopot pondasi bangunan bernama KMP. Tetapi pada
saat yang sama, kita bisa melihat kesetiaan partai lain yang tetap tergabung
dalam KMP. Artinya, politik bukan soal pragmatisme semata, tetapi juga
kesetiaan (setia berada diluar pemerintah).
Ketiga,
keputusan PAN bisa dimaknai dengan akan adanya tukar menukar jatah pembantu
presiden (menteri). Sangat mungkin dengan bergabungnya PAN, presiden akan
memberikan jatah kursi menteri, meski entah kapan hal tersebut terealisasi.
Namun demikian, terlalu terburu-buru jika kita menyimpulkan bahwa PAN tergoda
“iming-iming” jatah menteri.
Keputusan
PAN sepertinya menjadi sesuatu yang final. Tetapi, dinamika politik akan bisa
saja berubah. Di parlemen, tidak ada jaminan PAN akan selalu “satu suara”
dengan pemerintah. Pengalaman dinamika parleman telah menunjukkan bahwa tidak
semua partai pendukung pemerintah selalu “satu suara” untuk sebuah keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar