Oleh: Ali Thaufan DS
Pada tanggal 11-12 Agustus 2015 lalu, penulis sempat
membaca berita ramainya pameran Job Fair
di Senayan Jakarta. Saat melewati jalan sekita kawasan Senayan, penulis
memerhatikan betul keramain tersebut. Ratusan ribu orang silih berganti mengantri,
berusaha melamar pekerjaan di stand perusahaan yang tergelar di kawasan
tersebut. Beragam latar belakang pendidikan mereka, mulai lulus SMP hingga
perguruan tinggi. Semua antusias dengan acara Job Fair. Suasana ramai tersebut jelas menunjukkan betapa banyaknya
masyarakat yang “ngaggur” tidak atau belum punya pekerjaan.
Pekerjaan yang sesuai tentu menjadi dambaan setiap orang. Orientasi
utama bekerja bukan sekedar mencari pengalaman, tetapi juga uang. Tidak jarang,
orang melakukan suap-menyuap demi mendapat sebuah pekerjaan. Dan, ini lazim
terjadi dibanyak institusi. Kini, persaingan mendapat pekerjaan semakin berat
saja. Kehadiran pekerja berkewarganegaraan asing membuat persaingan pencari
pekerjaan semakin kompetitif. Tulisan ini hadir dari pembacaan mengenai
perdebatan kehadiran pekerja asing di Indonesia yang kian banyak. Tentu saja
ini menjadi mimpi buruk para pengangguran yang sudah sulit mencari pekerjaan,
ditambah pula persaingan yang ketat.
Di pusat kota Jakarta, penulis kerap kali melihat bule-bule berjalan dipinggir jalan. Mereka
bukan tamu yang sedang berlibur, tetapi karyawan di perusahaan yang berkantor
di pusat Jakarta. Pada suatu kesempatan saat penulis berkunjung ke sebuah
apartemen seorang rekan di bilangan Kuningan Jakarta Selatan, penulis melihat
banyak sekali penghuni apartemen yang berkewarganegaraan “Londo”. Menurut rekan penulis, mereka juga karyawan bawahan di
beberapa perusahaan di Jakarta. Dulu, pemandangan seperti itu –melihat orang bule-bule- merupakan hal yang jarang. Kini
sudah bukan hal aneh lagi. Orang asing tersebut bukan direktur, manajer atau
kepala bagian di perusahaannya, mereka juga karyawan biasa. Keberadaan pekerja
asing bukan saja di Jakarta, tetapi juga kota-kota lain seperti Buleleng (Bali),
Lebak (Banten) dan Manokwari (Papua).
Indonesia yang “unik” ini ternyata menjadi destinasi
tersendiri bagi para pekerja asing. Majalah Tempo mencatat ada sebanyak 16.328 orang
pekerja asal Cina, 10.838 asal Jepang, 8.172 asal Korea Selatan, 4.981 asal
India, 4.022 Malaysia, 2.658 asal Amerika Serikat, 1.002 asal Thailand, 2.664
asal Australia, 2.670 asal Filipina, 2.227 asal Inggris dan 13.200 berasal dari
berbagai negara. Tempo juga mencatat bahwa pekerja asing tersebut sebanyak
36.702 orang bekerja di sektor perdagangan dan jasa; 24.041 di sektor industri;
dan 8.019 di sektor pertanian. (Majalah Tempo 6/9/2015).
Kebijakan pemerintah yang membiarkan orang asing bekerja di
Indonesia menuai berbagai kritik. Sebagian berpendapat bahwa tenaga kerja asing
hanya boleh menduduki jabatan strategis di sebuah perusahaan dengan keahlian
khusus. Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 247 Tahun 2011. Tenaga kerja asing kini tak lagi duduk dikursi nyaman. Mereka
juga bekerja dilapangan seperti kuli angkat besi, penggali tanah, tukang sapu,
tukang potong rumput dan sebagainya.
Negara perlu hadir menyikapi fenomena ini. Desakan agar
pemerintah mengeluarkan aturan baru perihal pekerja asing terus disuarakan. Bagi
penulis, pekerja asing mungkin dibutuhkan pada sektor tertentu. Tetapi perlu
pula melihat angka pengangguran rakyat Indonesia yang kian meningkat. Negara harus
membuat aturan jelas untuk mengatur jumlah dan kualitas pekerja asing disebuah
perusahaan. Tidak elok jika sebuah perusahaan memerkerjakan pekerja asing,
tetapi warga disekitar lokasi perusahaan masih banyak yang nganggur tak punya kerja. Hal tersebut sangat mungkin memicu
konflik akibat kecemburuan sosial. Namun begitu, menyalahkan pekerja asing saja
tidak bijak rasanya. Pekerja lokal juga perlu membekali diri dengan
keterampilan yang handal. Kedepan, tantangan generasi penerus bangsa ini
semakin berat. Globalisasi telah menggulirkan aturan yang kian kompleks. Generasi
penerus dituntut untuk mampu bertarung, seperti dalam hal urusan mencari
pekerjaan.
Apakah ada yang perlu di perhatikan dan di utamakan sebagai penulis apapun selain emosi yang di tumpahkan di setiap kata maupun kalimat?
BalasHapusSebelum nya aku memberi hormat dan kagum kepada kanda.