Oleh: Ali Thaufan DS
Semarak menyambut hari ulang tahun Republik Indonesia
begitu terasa beberapa hari sebelum tanggal jatuhnya, 17 Agustus. Hampir disetiap
jalan, penulis mendapati pemasangan bendera merah putih dengan ragam bentuk. Semarak
tersebut semakin terasa ketika perlombaan peringatan HUT RI digelar. Antusias masyarakat
sangat tinggi dalam gelaran HUT Indonesia ke-70 kali ini. Tulisan ini berangkat
dari fenomena masyarakat yang antusias dalam menyambut HUT kemerdekaan
Indonesia, serta refleksi untuk mengisi kemerdekaan dengan semangat memerdekaan
berbagai persoalan yang membelenggu bangsa.
Setelah ratusan tahun bangsa Indonesia mengalami
penjajahan, tepat pada 17 Agustus 1945, para pejuang memproklamirkan
kemerdekaan. Merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan antara
lain: bebas dari penjajahan; berdiri sendiri; tidak terikat; dan tidak
tergantung. Indonesia secara fisik telah merdeka dari penjajahan Londo dan
sekutunya serta Jepang. 70 tahun sudah bangsa ini melewati era kemerdekaan. Merdeka
dari penjajahan dan perang fisik ternyata tidak diiringi dengan merdeka dari
kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, kemerosotan ekonomi, kelemahan penegak
hukum; ketahanan negara yang lemah dan sebagainya. Bangsa Indonesia masih jauh
dari cita-cita kemerdekaan hakiki yang dirumuskan para bapak bangsa. Mercemarti
hal tersebut, kita perlu mengingat kembali pernyataan presiden Sukarno yang tak
asing lagi “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu
akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
Perlawanan yang harus dituntaskan hari ini antara lain adalah
melawan kemiskinan, memerdekakan rakyat dari kemiskinan. Dari data yang penulis
himpun melalui berbagai media, para pengamat memprediksi bahwa angka kemiskinan
pada tahun 2015 diprediksi mencapai 28 hingga 30 juta jiwa. Penulis tidak menyoroti
diskursus kriteria miskin yang digunakan pemerintah. Tetapi, angka tersebut
diatas merupakan tanggung jawab bersama untuk menekan dan menguranginya. Kemiskinan
rakyat telah menjadikan mereka –para rakyat miskin- tidak menikmati kemerdekaan
sesungguhnya.
Dalam hal ketahanan negara, Indonesia masih jauh dari
harapan. Daerah-daerah darat di wilayah perbatasan dengan negara tetangga kerap
mengundang konflik teritorial. Pencaplokan wilayah seringkali membuat hubungan
Indonesia dengan negara tetangga mengalami ketegangan. Perhatian pemerintah
terhadap daerah perbatasan perlu dilalukan lebih intens. Selain wilayah darat,
pemerintah juga perlu memerhatikan wilayah maritim Indonesia. Dengan luas laut
yang sedemikian besar, butuh kerja ekstra keras mengamankan wilayah kelautan
Indonesia. Selain itu, kedaulatan udara negara juga patut mendapat perhatian. Dalam
buku yang berjudul Studi Strategi, Daoed Joesoef memaparkan bahwa sejak
pasca kemerdekaan, wilayah udara di Sumatera bagian Barat dikendalikan oleh
Singapura. Ketahanan bangsa ini harus dimerdekakan dari pelbagai persoalan yang
melilit.
Terkait kemandirian ekonomi, kita memang dihadapkan pada
realitas yang penuh dilema. Pada satu sisi bangsa ini ingin dan harus mandiri
dibidang ekonomi, tetapi serbuan pasar bebas ekses dari globalisasi tidak bisa
dihindarkan. Imbas yang dapat dilihat adalah terbukanya kran investasi
seluas-luasnya bagi asing di Indonesia. Keadaan seperti ini tentu menyulitkan tercapainya
kemandirian ekonomi. Negara butuh modal bantuan asing (foreign direct investment)
untuk pembangunan. Tetapi, disaat yang sama negara harus “menggadaikan”
kekayaan untuk para investor. Kedepan perlu ada regulasi yang mengatur hal ini,
regulasi yang menguntungkan bagi negara dan rakyatnya.
Selain ketiga hal di atas, kita sebagai pewaris kemerdekaan
harus mengisi kemerdekaan dengan memerdekakan bangsa ini dari kebodohan. Pendidikan
memiliki peran penting untuk mengisi kemerdekaan ini. Berbagai kalangan menilai
bahwa lamanya penjajahan yang dialami bangsa ini karena saat itu rakyat
dirundung kebodohan. Warisan kebodohan hari ini harus dihapuskan. Pemerintah punya
tanggung jawab menyadarkan masyarakat untuk menjadi generasi pintar, tidak
bodoh. Pun demikian dengan rakyat, tidak boleh menutup diri dari pendidikan. Pemerataan
pembangunan pendidikan mendesak dilakukan. Pembangunan pendidikan yang saat ini
masih dirasa bersifat “Jawa Sentris” harus dirubah, bahwa daerah luar Jawa juga
perlu pendidikan.
Kedepan, bangsa Indonesia melalui political will pemerintah
dan dukungan masyarakat harus memerdekaan rakyatnya dari kemiskinan dan
kemalasan; pendidikannya dari kebodohan; hutannya dari ilegal logging
dan kebakaran; lautnya dari kapal asing pencuri ikan; tenaga kerjanya dari human
traficking; pemudanya dari candu narkoba dan minuman keras; pejabatnya dari
mental feodalisme; serta masih banyak lagi yang perlu dimerdekakan. Legacy
para pendiri bangsa bernama kemerdekaan bangsa ini harus terus dirawat dan
dijaga.