Oleh: Ali Thaufan DS
Begitu tulisan singkat ini menjadi sebuah tulisan sederhana
–isinya curhatan- penulis sedikit “galau” dan diliputi sedikit ketakutan dalam memberinya
judul. Lalu, tiba-tiba saja terlintas untuk memberi judul “Indonesia Darurat.
Indonesia Maafkan Kami”. Tulisan ini bermaksud menggambarkan keadaan negara
yang “carut marut”, dan ketidakmampuan setiap elemen masyarakat untuk
memperbaiki –atau mungkin sangat sulit memperbaiki.
Hingga akhir bulan Maret 2015, Indonesia terus didera
dengan berbagai persoalan yang cukup serius. Ekspektasi masyarakat luas dengan
hadirnya pemimpin baru bernama Joko Widodo dan Jusuf Kalla kini tinggal mimpi
belaka. Janji suci yang mereka ucap saat kampanye dan pelantikannya sebagai
pemimpin negara satu demi satu diingkari. Kekesalan terus mengalir atas
berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak mendatangkan maslahat bagi
kehidupan masyarakat.
Pada awal-awal pemerintahan Jokowi JK, negara ini mengalami
kegaduhan politik di DPR; naik-turun harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi;
kenaikan harga-harga bahan pokok; dollar terus naik dan rupiah loyo;
polemik KPK dan Polri; dualisme kepemimpinan partai (PPP dan Partai Golkar);
serta sederet persoalan yang terus muncul. Hal ini menimbulkan ekses pada
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Indonesia dalam darurat lintas
sektor.
Mengenai kenaikan dan penurunan harga BBM bersubsidi, masyarakat
awam dibuat kebingungan. Kebijakan pemerintah atas naik dan turunnya harga BBM
dinilai sebagai ketidakkonsistenan dalam menciptakan stabilitas ekonomi. Iming-iming
bahwa subsidi BBM yang akan dialokasikan disektor infrastruktur belum juga
terlihat. Memang, ini bukan persoalan mudah. Ibarat seseorang yang sedang
menabung, Indonesia mungkin baru dapat menikmati tabungan itu dalam beberapa
tahun kedepan. Tetapi, masyarakat umum tentu perlu mendapat pengertian akan hal
ini. Sehingga kebijakan pemerintah –soal kenaikan BBM bersubsidi- tidak menimbulkan
gejolak ekonomi.
Safari kenegaraan yang dilakukan Presiden Jokowi dalam
beberapa waktu terakhir perlu mendapat perhatian. Pasalnya, buah tangan dari
safari tersebut adalah membawa pesan negara lain untuk berinvestasi di Indonesia.
Nilainya cukup besar, ratusan triliun. Ini, bagi penulis memaksa Indonesia
untuk terlibat aktif dalam perdangan bebas. Pertanyan yang patut diajukan
adalah: kami, rakyat Indonesia dapat apa? Apa sekedar mendapat jatah buruh,
penjaga aset asing? Memang, pada satu sisi negara ini membutuhkan investor
asing. Tetapi pada sisi lain, penulis pertegas, bahwa negara wajib menjaga
kadaulatan, terutama ekonomi.
Penguasaan sektor-sektor penting di bidang ekonomi oleh korporasi
asing cukup menjadi pengalaman berharga yang “menyakitkan”. Beberapa perusahaan
luar negeri yang menancapkan investasinya hingga “menggurita” memaksa bangsa
ini membeli hasil bumi sendiri. Tentu saja hal ini menyalahi UUD yang menjadi
rujukan otoritatif dalam mengelola bangsa. Indonesia terpaksa membeli hasil
bumi yang dikeluarkan dari dalam bumi Indonesia. Kedepan, pemerintah jangan
lagi “kecolongan” dalam pengelolaan sektor penting penunjang keberlangsungan
ekonomi.
Alasan bahwa SDM Indonesia dibawah standar terkesan
menyudutkan kapasitas dan kemampuan anak bangsa. Zaman ini berjalan, saat ini
tidak sedikit anak-anak bangsa yang menunjukkan prestasi bahkan diakui di dunia
internasional. Oleh sebab itu tidak ada alasan lagi menyerahkan aset Blok Mahakam
ke tangan asing; tidak alasan lagi untuk tidak membangun smelter PT. Freeport
Indonesia di tanah Papua; serta tidak ada alasan lagi untuk tidak membangun
kilang minyak sendiri.