Oleh: Ali
Thaufan DS
“Kemerdekaan
ini milik koruptor. Rakyat belum sejahtera.” Begitu statemant seorang
teman saya dalam status BlackBerry Masangger (BBM). Bagi saya, tidak ada yang
salah dari pernyataan di atas. Rakyat memang jauh dari kesejahteraan. Kemerdekaan
NKRI hanya dimiliki oleh segelitir orang. Kemerdekaan negara ini milik Hakim
yang menjual-membeli kasus; konglomerat yang memonopoli pasar; pembuat
kebijakan yang memainkan undang-undang; dan elit partai yang terus menyambung
garis politiknya baik dipartai dan pemerintahan. Adalah tantangan besar bagi
siapapun pemimpin negara ini untuk menuntaskan kemerdekaan rakyat yang
tertunda, jauh dari cita-cita kemerdekaan sesungguhnya.
Pada 17
Agustus 2014, negara ini kembali merayakan hari ulang tahunnya, kali ini yang
ke-69. Rakyat bersuka ria dalam pesta perayaan kemerdekaan NKRI. Pada bulan
Juni lalu pemandangan jalan penuh dengan spanduk caleg, capres dan partai. Kemudian
pada bulan Juli pemandangan jalan dipenuhi dengan spanduk Ramadhan dan Idul
Fitri. Kini, bulan Agustus, pemandangan jalan dihiasi dengan warna bendera
merah putih. Pepohonan dihiasi dengan gemerlap lampu yang memberi cahaya indah
di malam hari. Berbagai arena perlombaan digelar untuk memeriahkan HUT NKRI. Rakyat
Indonesia larut dalam suka cita dan suka ria pesta perayaan kemerdekaan.
Tetapi,
kemeriahan HUT NKRI kali ini dihiasi pula dengan sebuah suasana ketegangan,
ketegangan politik. Pasca pemilihan presiden 9 Juli lalu, harus disadari masih
banyak “pesakitan” berkelanjutan. Fanatisme terhadap capres terlanjur menggurita
dibenak pendukungnya. Hal ini kemudian diperparah oleh sikap para petinggi
partai pendukung capres yang terkadang menyulut api permusuhan. Ditambah lagi
kubu capres yang kalah menggugat hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi MK. Suasana
ketegangan politik ini menodai suka ria pesta perayaan kemerdekaan. Sungguh
sebuah pesta demokrasi (pemilu) yang seharusnya tidak menghasilkan suasana yang
merusak pesta kemerdekaan. Suasana ketengan politik ini begitu menjenuhkan. Surat
kabar, televisi, media online larut memberitakannya.
Ketegangan
politik setidaknya dapat dilihat dari situasi ketegangan sidang gugatan hasil
pilpres yang diajukan capres Prabowo-Hatta dan timnya di MK. Ada tiga elemen
yang terlibat aktif dalam ketegangan ini, kubu Prabowo-Hatta, Komisi Pemilihan
Umum dan Kubu Jokowi-JK. Ketegangan tiga elemen ini berimplikasi pada ketegangan
banyak elemen, seperti para relawan dan pendukung, pengamat politik, TNI dan
Polri. Ketegangan tersebut dapat menjadi ancaman perpecahan bangsa,
disigtegrasi.
Ancaman disintegrasi
semakin nyata dengan digerakkannya pendukung “abal-abal” untuk berdemontrasi di
depan gedung MK dan beberapa kantor KPU di daerah; fanatisme buta terhadap
capres; serta DPR memaksa membentuk Pansus Pilpres. Hal ini yang cukup
disayangkan. Sebuah kelakuan yang seharusnya jauh dari adab orang Indonesia. Capres
dan tim pemenangnya ternyata cukup berambisi menjadi pemenang. Siap menang dan
tak siap kalah. Pihak yang kalah seharusnya mengaca diri sendiri atas
kekalahan. Sungguh sangat disayangkan, peringatan HUT NKRI kali ini mendapat
bayang-bayang dan ancaman disintegrasi akibat ketegangan politik.
Bogor, 17
Agustus 2014