oleh Ali Topan DS
Sebagai Negara hukum, Indonesia telah
mengatur segala hal-hal yang berkaitan dalam lini kehidupan dalam bentuk undang-undang. Salah
satunya adalah undang-undang yang mengatur masalah perburuhan. Waktu atau jam
kerja, upah dan tunjangan hari raya, pemutusan hubungan kerja dan lain-lain
telah diatur dalam undang-undang tersebut.
Undang-undang yang mengatur perburuhan
tidak selamanya dipatuhi baik oleh pengusaha, buruh atau bahkan pemerintah.
Sebagai contoh gaji buruh yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KPSI) pada tahun 2012, bahwa upah buruh di Indonesia
termasuk paling rendah diantara negara-negara ASEAN. Upah, sebagaimana tertera
dalam UU Nomer 13 tentang Ketenagakerjaan 2003 adalah merupakan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan hidup layak bagi para buruh/pekerja. Penetapan upah yang diatur oleh
Pemerintah dan Dewan pengupahan terkadang tidak memihak posisi buruh.
Persoalan yang kerap muncul dalam dunia
perburuhan antaranya adalah
kekerasan. Kekerasan pada buruh merupakan tindakan di luar moral kemanusiaan.
Bahkan pelakunya dapat dipidanakan. Pada Mei 2013 terjadi kasus kekerasan pada
buruh pabrik di Tangerang yang cukup memprihatinkan. Penyiksaan terhadap 36
buruh menambah rapot merah perburuhan di Indonesia serta pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM). Selain itu, perlakuan yang mengekang buruh juga terjadi di
Perusahaan Garmen di Cakung, Jakarta. Salah seorang karyawan yang hendak
beribadah dilarang oleh Direkturnya. Tidak hanya melarang beribadah, sang
Direktur juga tiba-tiba mengambil keputusan untuk memberhentikan karyawan
tersebut. Persoalan pernah terjadi di sebuah perusahaan Garmen di Koja Jakarta
Utara, ratusan buruh berdemo kantor Sudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Mereka
mununtut agar memerintah menindak tegas perusahaan yang tidak membayar
Tunjangan Hari Raya tersebut. Persoalan lainnya yang kerap menjadi tuntutan buruh adalah
penghapusan sistem out sourcing.
Sistem ini dinilai merugikan posisi buruh, terutama pemotongan gaji buruh.
Dari beberapa persoalan mendasar pada
buruh adalah masalah gaji yang tidak sebanding dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Peryataan
KPSI sepertinya benar adanya. Bahwa gaji yang diterima buruh terlalu kecil. Hampir setiap peringatan
hari buruh, para buruh melakukan aksi demonstrasi menuntut kenaikkan upah
mereka. Mereka –para buruh- berdalih bahwa kenaikkan harga kebutuhan
bahan pokok
telah membuat upah mereka tidak berarti. Jumlah gaji yang mereka terima tidak
sebanding dengan kebutuhan hidup yang semakin mahal
Berkaitan dengan kenaikkan gaji sebesar
50 persen yang diusulkan buruh sepertinya akan menjadi tuntutan utopi. Pasalnya tuntutan tidak
terrealisasi secara utuh. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenkertans)
hanya merekomendasikan kenaikkan dengan kisaran 20 persen. Menanggapi hal
tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Yusuf Wanadi hanya menyampaikan
bahwa pembahasan tersebut akan dilakukan oleh pihak terkait, yakni pemerintah,
pengusaha dan buruh.
Terkait tuntutan buruh, semestinya
pemerintah dan pengusaha memberi perhatian lebih dalam hal upah buruh. Kenaikan
harga kebutuhan pokok pasca kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) salah satu
faktor yang tidak bisa dielakkan. Sehingga KHL buruh tidak sebanding dengan
pendapatan. Lantaran hal ini, banyak aksi mogok kerja yang dilakukan buruh,
yang sebetulnya dapat merugikan perusahan sendiri. Pendapatan buruh yang
relatif rendah tersebut menutup mimpi indah buruh –memiliki rumah/tempat
tinggal. Dalam kamus buruh pabrik, “memiliki rumah adalah hal yang mustahil”,
karena fakta menunjukkan kebanyakan buruh hanya bertempat tinggal di kontrakan
dan berpindah-pindah. Perlaukan tidak senonoh terhadap buruh juga harus
dihilangkan, karena buruh bisa saja melakukan pemberontakan. Jen Bremen,
sosiolog Belanda dalam tesisnya mendorong perlakuan yang manusiawi kepada para
buruh agar “kuli-kuli” tersebut mendapatkan hak dari keringatnya. Pada saat
bersamaan, buruh harus menunjukkan dedikasi kerja dengan baik kepada perusahaan
bersangkutan. Sehingga antara perusahaan dan buruh terjadi hubungan simbiosis mutualisme –saling
menguntungkan.
Pada hari kemerdekaan –meski bukan di hari buruh-
pemerintah sepatutnya memperhatikan kelayakan pendapatan dan hidup para buruh. Spirit
kemerdekaan Republik Indonesia adalah spirit kemerdekaan bagi buruh. Buruh
bukanlah budak-budak negara layaknya era kolonialisme. Bagaimanapun jasa buruh
yang telah bekerja turut serta menyumbang pembangunan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar