Melekat
kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia, memori ketuk palu pemutusan
kenaikan
harga BBM dalam sidang paripurna DPR akhir Maret lalu. Berita hangat
seputar
kenaikan harga BBM santer dijadikan bahan obrolan di setiap penjuru
publik.
Mulai dari beberapa stasiun televisi, media cetak, hingga forum-forum
diskusi
mahasiswa. Walhasil, semua elemen masyarakat pun larut dalam hiruk-pikuk
pro
dan kontra kenaikan harga BBM.
Kabar
serta wacana kenaikan harga BBM memang telah lama terdengar, jauh
sebelum
sidang paripurna dilaksanakan. Jauh hari pula, masyarakat telah aktif
menyuarakan aspirasinya. Terlihat bagaimana ribuan massa turun ke jalan
melakukan aksi demonstrasi, menolak kenaikan harga BBM. Bukan hanya para
oposan
pemerintah, kalangan koalisi pun ikut andil dalam menyuarakan
aspirasinya
dengan turun ke jalan. Tidak jarang
aksi
tersebut berujung dengan tindak anarkis yang memakan korban. Pengamat
ekonomi
dan politik juga tidak ketinggalan. Mereka kerap mewarnai layar kaca dan
ruang
opini media cetak, menyoal dan mengamati keputusan yang akan diambil
pemerintah
dalam menaikkan harga BBM.
Pernyataan
kenaikan BBM di awal tahun ini, sebagaimana di sampaikan oleh Arif
Budimanta,
salah seorang Koordinator Kaukus Ekonomi Konstitusi, memiliki dua alasan
utama.
Pertama, dinamika krisis keuangan global yang tak kunjung surut. Kedua,
kenaikan harga minyak dunia yang memberi dampak pada rencana kenaikan
BBM
bersubsidi. Maka, tanpa adanya kenaikan harga BBM, kian berat beban yang
akan dipikul
pemerintah.
Lebih
lanjut Arif Budimanta mengkritisi bahwa RAPBNP 2012 terjadi ketimpangan
alpha
(ongkos distribusi dan pajak Perusahaan Pertamina) yang cukup besar,
yakni 11
persen, yang seharusnya 25 persen (Sebagaimana yang menjadi standar
komponen
alpha) menjadi 36 persen. Pemerintah mematok harga BBM per tahun 2012
jika
tidak disubsidi mencapai kisaran Rp 9.325, apabila harga BBM bersubsidi
dinaikkan Rp 6000, maka pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp 3.325.
Ongkos
produksi Rp 5.947/liter. Sehingga ada selisih Rp 3.378/liter (harga
nonsubsidi
dikurangi harga ongkos produksi). Maka terdapat perbedaan 11 persen dari
yang
dikemukakan di awal. Jika di rupiahkan jumlah tersebut berkisar Rp
1.025.
Seharusnya harga BBM nonsubsidi seharga Rp 8.300 (jika mengacu pada
standar
komponen alpha sebesar 25 persen).
Besarnya
selisih 11 persen inilah yang mengundang pertanyaa. Tak ayal jika banyak
pihak
menuntut pemerintah untuk menjelaskan kemana besaran dana subsidi
tersebut
dialokasikan?. Padahal, jika nilai 11 persen atau setara dengan Rp
1.025/liter
dikalikan dengan total BBM yang subsidi yakni 40 miliyar liter, maka
total dana
dari selisih 11 persen melebihi Rp 40 triliun.
Memang,
kenaikan subsidi BBM yang dirancang pemerintah bukan tanpa alasan.
Menteri
Keuangan, Agus Martowardoyo memaparkan “Kenaikan BBM bersubsidi dipicu
dari
lonjakan pengguna atau konsumsi BBM.” Lebih lanjut, ia mengatakan
“Subsidi BBM
di Indonesia terbilang murah, sehingga terjadi banyak penimbunan dan
penyelundupan. Masyarakat pengguna BBM nonsubsidi pun beralih ke BBM
bersubsidi”.
Pemerintah
berpendapat bahwa kenaikan BBM bersubsidi adalah untuk menyelamatkan
APBN. Pemerintah
juga telah merencanakan bahwa dana subsidi BBM akan dialokasikan untuk
pengembangan beberapa sektor tertentu. Tidak hanya pemberian dana
Bantuan
Langsung Tunai (BLT) atau yang sekarang disebut Bantuan Langsung
Sementara
Masyarakat (BLSM), yang dinilai banyak pihak kurang efektif. Tetapi
pemerintah
juga memperhatikan pembangunan infrastruktur energi dan revitalisasi
transportasi
umum.
Jika
kenaikan harga BBM benar terjadi, pemerintah sudah pasang target untuk
memberikan dana kompensasi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM),
yakni
serupa dengan BLT. Besaran dana tersebut 150.000/bulan selama 6 bulan
(total Rp
900.000) yang diberikan kepada 18,5 juta rumah tangga.
Menyikapi
hal ini, Bambang Susatyo, salah satu anggota Badan Anggaran dari fraksi
Partai
Golkar menilai bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk menaikkan pamor
pemerintah
(SBY). Menurutnya, kenaikan harga BBM masih dapat diperdebatkan. Dengan
menaikkan harga BBM bersubsidi dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000, Negara
akan
menghemat subsidi dana sekitar Rp 53 triliun. Dari penghematan tersebut
pemerintah membagi Rp 30,6 triliun untuk kompensasi dan Rp 23 triliun
untuk
tambahan belanja pemerintah. Menurut Bambang, jika BBM tidak dinaikkan,
Rp 23
triliun untuk tambahan belanja pemerintah dapat dicari. Seperti
penghematan
pemerintah sebesar Rp 18,8 triliun pada tahun 2011 dan tambahan
pemasukan pajak
Rp 5 triliun.
Bambang
menambahkan bahwa pemberian BLSM dinilai sarat dengan kepentingan
politik
menjelang pilpres 2014. Terlebih dari anggaran Rp 30,6 triliun hanya Rp 5
triliun untuk subsidi tranportasi. Dan sisanya Rp 25,6 triliun untuk
BLSM.
Maka
dalam hal ini, agaknya hipotesa penulis dapat dijadikan bahan
pertimbangan.
Bahwa untuk memakmurkan rakyat, bagian Rp 23 triliun dari dana Rp 53
triliun
tidak perlu dialokasikan untuk tambahan belanja pemerintah. Cukup lah
dana tersebut
diperuntukkan bagi rakyat secara keseluruhan. Baik untuk subsidi
transportasi,
ataupun BLSM. Sehingga, harapan rakyat untuk makmur pun akan semakin
jelas
terlihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar