Saat
ini orang sangat mudah memberi label orang lain atau bahkan kelompok
lain
“tersesat” baik secara toelogis maupun praktis. Terlebih apabila
stereotip
didasarkan karena perbedaan penafsiran teks-teks keagamaan dan “theological
believe”. Barangkali masih teringat dibenak kita beberapa tindak
kekerasan
terhadap Jamaat Gereja Yasmin, menyerbuan Ma’had Syi’ah di Madura dan
akhir-akhir ini rusuh ormas Islam. Kejadian ini sarat dengan motif-motif
agama
dan kekuasaan.
Pasca
dibukanya “kran” demokrasi dengan diawali gerakan reformasi
besar-besaran tahun
1998, orang semakin mudah berekspresi. Atas nama kebebasan yang dijamin
oleh
demokrasi dan HAM, mereka rela melakukan hal-hal yang dapat merugikan
orang
atau kelompok lainnya. Kemudian muncul istilah “demokrasi kekecawaan”.
Jika
pada era presiden Suharto –yang dikatakan sebagai rezim otoriter- orang
sangat
dibatasi ruang geraknya, maka setelah runtuhnya rezim tersebut hal ini
berubah,
berbalik keadaan. Muncul ormas-ormas yang sebelumnya tidur atau
“dipenjarakan” oleh
orde lama.
Munculnya
ormas Islam di Indonesia bukan hal baru. Mereka ada sejak masa orde lama
dan
baru atau jauh sebelumnya. Sebut saja Muhammadiyah (1912), al-Irsyad
(1920),
Persis (1926), Persatuan Ulama Indonesia (1917) dan Nahdhatul Ulama
(1926), mereka
lahir sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dan namanya tidak asing
ditelinga kita. Namun sekarang kita mengenal nama-nama lainnya yang tak
kalah
asing, seperti FPI, MMI, HTI dan lain-lain. Keberadaan mereka juga telah
lama,
hanya mungkin tidak banyak dikenal orang karena terbatas pada beberapa
daerah
tertentu.
Kini,
beberapa ormas terakhir tersebut kerap mewarnai media pemberitaan. FPI
yang
kerap melakukan tindak sweeping atas nama amar’ ma’ruf nahi
munkar;
MMI yang sering dikaitkan dengan terror bom atas seruan jihad; dan HTI
yang menolak
demokrasi karena al-Qur’an hanya menyeru syura serta gencar
menyuarakan “Demokrasi
sistem kafir”. Tampak sekali bahwa apa yang menjadi action mereka
didasarkan atas teks-teks keagamaan. Sehingga orang atau kelompok yang
berseberangan paham dengan mereka menjadi “musuh”. Kemudian muncul
spekulasi-spekulasi atas perlakuan dan tindak mereka. Bahwa mereka
mendapat
suntikan dana asing; mereka merupakan antek-antek jaringan radikal
asing.
Benarkah hal ini?. Mereka yang tertuduh lantas melakukan preventive.
Jika
dikaji lebih dalam, tindak-tindakan mereka tidak terbatas pada persoalan
politik, kekuasaan dan ekonomi. Lebih dari itu, dalam benak mereka
–ormas
radikal- muncul kultur ketakutan, direndahkan dan harapan. Kultur
ketakutan
lahir ketika Islam dalam ancaman dan bahaya lawan; kultur direndahkan
lahir
tatkala Islam sebagai agama direndahkan, serta kultur harapan lahir dari
ide
Islam adalah solusi, sehingga segala cita-cita mereka dasarkan pada
sendi-sendi
Islam. Kemudian dengan mencoba menghidupkan nuansa keIslaman yang
didasarkan
pada al-Qur’an, mereka tentang keadilan Islam dan kedaulatan.
Cara-cara
yang ditempuh dalam menyebaran fahamnya pun bisa dibilang cukup
bervariasi.
Dakwah melalui halaqah-halaqah terkadang mereka galakkan dengan menyusup
keberbagai perguruan tinggi. Namun tidak jarang mereka muncul sebagai
“momok”
dengan gerakan anarkis.
Dalam
posisi yang demikian, Negara mestinya memberi perhatian atas kasus
tersebut. Pasalnya
bukan tidak mungkin, ini menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI kita.
Melalui
Kementerian dalam negeri, pemerintah telah mengatur UU ormas. Dalam
Pasal 1 UU
No 8/1985 tentang Ormas disebutkan, Ormas adalah organisasi yang
dibentuk oleh
anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas
dasar
kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang
Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan; dalam rangka mencapai
tujuan
nasional; dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan
Pancasila. Pada pasal 50 dijelaskan bahwa ormas dilarang melakukan
kekerasan
dan menggangu ketertipan bersama. Dan bagi ormas yang melakukan
pemerintah
dapat menindak.
Jika mengacu pada UU tersebut,
seharusnya
ormas-ormas mengedepankan sifat dan sikap persaudaran dan saling
membantu demi
cita-cita bangsa, Bukan saling mengintimidasi kelompok lain. Karena hal
itu
dapat merusak semangat kebhinekaan Negara RI.
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus