Masih
lekat dalam ingatan masyarakat Indonesia, sejak pertengahan bulan maret lalu, hampir
semua media elektronik maupun cetak gencar dengan pemberitaan seputar kenaikan
harga BBM. Hingga pasca sidang paripurna yang memutuskan naik atau tidaknya
harga BBM, masyarakat tetap larut dalam isu kencang tersebut. Ditambah lagi
sidang yang diwarnai kericuhan para anggota dewan perwakilan rakyat. Persoalan
kenaikan harga BBM juga berkaitan erat dengan soliditas hubungan antar partai
koalisi pendukung pemerintah SBY. Karena terdapat anggota partai koalisi yang
tidak sejalan dengan ide pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Fakta diatas
barangkali menjadi konsumsi publik belakangan kemarin.
Berbeda dengan pemberitaan media sebelumnya, kali ini masyarakat Indonesia di buat resah dengan beberapa kasus anarkis geng motor. Anggota yang tergabung geng motor rata-rata usia pelajar setingkat SMA atau bahkan SMP. Hal ini tentu sangat disayangkan. Karena pada saat ini seharusnya mereka konsentrasi menghadapi ujian nasional.
Di Ibu Kota Jakarta para geng motor kerap melakukan balap liar di malam hari. Lebih dari itu, kali ini mereka juga melakukan tindakan anarkis dan criminal dengan merampok disebuah mini market. Selain merampok, para anggota geng tersebut tidak segan-segan menganiaya penjaga mini market. Selain di Jakarta, kasus serupa juga terjadi di Tangerang Selatan, Bandung dan Makassar. Aksi anarkis dan tawuran antara dua kelompok geng motor yang terjadi di Makassar pun menelan korban jiwa.
Penulis mengamati, bahwa aksi tawuran yang kerap terjadi biasanya dipicu dendam lama atau yang pernah menimpa sebelumnya. Sehingga tawuran kemudian menjadi tradisi bagi mereka. Keamanan yang diberikan oleh pihak penegak hukum juga dirasa kurang. Karena beberapa aksi balap liar atau perampokan tidak terjadi belakangan ini. Selain itu, tidak jarang dari aksi tawuran yang terjadi akibat perbedaan pendapat antar satu kelompok dengan lainnya. Para pelaku tawuran juga iresponsif terhadap somasi dari aparat keamanan.
Sungguh sebuah ironi. Bangsa Indonesia harus menerima kenyataan prilaku negatif yang dilakukan anak muda penerus bangsa; kericuhan akibat disparitas pendapat dalam sidang DPR; serta melihat nyawa melayang akibat ulah tak bertanggung jawab kelompok tertentu. Inilah problem dan fakta lapangan yang harus segera diakhiri. Jika dibiarkan demikian, maka sebutan “Republik Anarki” layak disandang Indonesia.
Melihat
disharmoni yang terjadi dikalangan masyarakat, sudah semestinya masyarakat
Indonesia memahami kembali nilai-nilai kebangsaan. Pancasila ketiga yang
berbunyi Persatuan Indonesia, harus diaplikasikan dalam perbuatan, bukan
sekedar dihapal. Keragaman dan heterogenitas masyarakat bukan alasan untuk
saling berpecah belah. Seharusnya hal ini menjadi titik pijakan dalam merajut
satu kesatuan.