Sabtu, 14 Januari 2012

Mengenal Semiologi Ferdinand De Saussure


Pendahuluan
Ilmu pengetahuan selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Tuntunan untuk menghasilkan temuan-temuan baru semakin mendesak. Semiotika, tampaknya mulai akrab ditelinga para akademisi dan para mahasiswa. Pada bidang ilmu komunikasi, semiotika menjadi pembahasan sendiri “semiotika komunikasi”. Begitu juga akademisi yang konsen dibidang tafsir al-Qur’an, mereka juga mengurai makna al-Qur’an (menafsirkan al-Qur’an) dengan pendekatan semiotic. Semiotic adalah pengetahuan yang berhubungan dengan tanda. Ilmu semiotic berkembang menjadi disiplin ilmu pada abad modern, yakni dengan ditandai munculnya bapak linguistic dari Swiss, Ferdinand de Saussure dan filosof Amerika Charles Sander Pierce dan Charles W. Morris.[1]
Terdapat perbedaan pengunaan istilah semiotika atau semiologi. Namun, jika dikaji lebih dalam, sebenarnya ada kesamaan persis mengenai dua istilah tersebut, semiotika dan semiologi. Penggunaan istilah di atas lebih menunjukkan pada pemikiran tokoh nya. Istilah semiotika biasanya menunjukkan C.S. Pierce dan semiologi ditunjukkan pada Ferdinand de Saussure.[2]
Dalam tradisi semiotic, ada beberapa variasi kajian, semantic, sintaktik dan prakmatik. Semantic berbicara mengenai bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya (apa yang ditunjuk tanda). Sintaktik adalah suatu kajian hubungan diantara tanda-tanda. Dan prakmatik memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda dalam kehidupan manusia.[3]
Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan ulasan mengenai pengertian semiotika dan  mengenal semiotika Ferdinand de Saussure.
Memahami Semiotika
Semiologi/semiotic berasal dari kata semion yang berarti tanda. Semiologi adalah kajian sistematis suatu tanda-tanda. Arti harfianya adalah “Kata-kata mengenai tanda-tanda”. Semiologi kemudian berkembang untuk menganalisis tanda-tanda. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, semiotika adalah ilmu atau teori tentang lambang dan tanda.[4]
Menurut Ferdinand de Saussure dalam bukunya Course in General Linguistik, semiologi adalah “Suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat bersifat dapat dipahami. Hal itu merupakan bagian dari psikologi sosial atau berkaitan dengan psikologi umum. Semiologi akan menjelaskan unsur yang menyusun suatu tanda dan bagaimana hukum-hukumnya itu mengaturnya.”[5] Menurut C.S. Peirce, semiotika adalah hubungan antara tanda, obyek dan makna.[6]
Sementara Umberto Uco dalam bukunya A Theory of Semantics, mendefinisikan
“Semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai suatu tanda-tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat dimaknai sebagai penggantian yang signifikan untuk sesuatu yang lainnya. Segala sesuatu ini tidak begitu mengharuskan akan adanya atau untuk mengaktualisasikan adanya tempat entah dimanapun pada saat tanda memaknainya. Jadi semiotika ada dalam semua kerangka (prinsip), semua disiplin studi termasuk juga dapat digunakan untuk menipu. Bila sesuatu tidak dapat dipakai untuk menceritakan kebohongan, maka sebaliknya berarti tak dapat juga menceritakan kebenaran…”[7]
Mengenal Semiologi Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure lahir di Jenewa Swiss pada 26 November 1857 dan meninggal pada 22 Februari 1913. Ia dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika. Salah satu master piece Saussure berjudul Course in General Linguistik yang konon diterbitkan oleh muridnya tiga tahun pasca meninggalnya, tahun 1916.[8] Pemikiran semiologinya kemudian berkembang dan sering disebut dengan Mazhab Saussurean.
Berbicara semiotika, maka tidak akan lepas dari tanda dan bahasa (dalam hal ini kata-kata). Prinsip yang menyatakan bahwa “bahasa adalah suatu sistem tanda dan setiap tanda terdiri dari dua bagian, yakni penanda (singnifier) dan petanda (singnified)” adalah sebuah prinsip penting dalam menangkap hal pokok pada toeri Saussure. Bagi Saussure, bahasa adalah suatu sistem tanda (sing). Segala suara, baik manusia, hewan, atau bunyi-bunyi yang lain, akan dikatakan sebagai bahasa jika ia mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan ide-ide dan pengertian-pengertian tertentu.[9]
Mazhab Saussurean berpandangan bahwa tanda-tanda itu bekerja dengan dua elemen. Yaitu, aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. Demikian apa yang dinyatakan Saussure,
Saya menyebut kombinasi konsep dan citra bunyi sebagai tanda, namun dalam penggunaan dewasa ini, dalam istilah umum, hanya dinamakan citra-bunyi. Sebuah kata yang digunakan untuk contoh (arbor [dalam hal ini pohon] dsb), orang cenderung melupakan bahwa kata arbor dinamakan tanda hanya karena tanda tersebut mengandung konsep tentang pohon (tree), akibatnya konsep tentang ide panca indera secara tak langsung menyatakan bagian ide tentang keseluruhan.
Ambiguitas akan muncul bila ketiga makna yang tercakup disini ditandai dengan tiga makna yang masing-masing maknanya berlawanan satu sama lain. Saya bermaksud memastikan bahwa kata “tanda” (signe) itu untuk menyusun keseluruhan dan untuk menggantikan konsep dan citra bunyi masing-masing dengan “petanda” (signifie) dan “penanda” (signifian). Kedua istilah terakhir lebih menguntungkan untuk mengindikasikan oposisi keterpisahannya dari aspek yang lain dan dari aspek keseluruhan yang membangunnya. [10]
Gagasan Saussure digambarkan dalam diagram berikut:










 






Kata “pohon” atau bunyi kata pohon sebagai penanda. Sedangkan konsep “pohon” sebagai petanda. Hubungan antara keduanya ini adalah bersifar arbiter, dalam arti kata “pohon” tidak mesti selalu merujuk pada gambar pohon, tetapi bisa saja kata pohon digunakan untuk menyebut batu, anjing, kucing dll. Tergantung pada konsensus masyarakat/ manusianya.
Penutup
Semiotika merupakan sebuah disiplin ilmu yang tergolong baru, sebagaimana yang penulis kemukakan diawal, bahwa kemunculan ilmu ini pada abad modern. Sebagai sebuah disiplin ilmu, semiotika memberi sumbangan pada disiplin ilmu lainnya. Seperti adanya relasi dengan disiplin ilmu yang lain (komunikasi, tafsir). Ferdinand de Sausurre, sebagai bapak linguistic, secara tidak langsung memberi pengaruh dan mendapat apresiasi pemikir-pemikir setelahnya, khususnya bagi yang konsen dibidang bahasa/linguistic.
Dalam kajian tafsir al-Qur’an, agaknya semiotic pun telah menjadi semacam metode penafsiran.[11] Adalah Toshihiko Izutsu yang mengurai makna al-Qur’an dengan pendekatan semantik. Analisis semantik ia gunakan dalam menelisik kosa kata Al-Quran yang terkait dengan beberapa persoalan yang kongkrit. Maksud analisis semantik di sini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa yang mengantarkan pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Sehingga, bahasa tidak hanya sebagai alat berkomunikasi dan berfikir, tetapi lebih penting lagi sebagai pengonsep dan penafsir dunia yang melingkupinya.[12]
Sebagai akademisi bidang tafsir-hadis, agaknya perlu untuk membuka hal-hal baru –metode penafsiran yang digunakan para mufassir atau pemikir Muslim datang belakangan. Sehingga dapat memberi penafsiran baru yang sesuai dengan zamannya.


[1] Robert Beard ed. al, Philipp Strazny (editor),  Encyclopedia of Linguistics, (New York: An Imprint of the Taylor-Francis Group, 2005) vol II, hlm 949
[2] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) hlm 12
[3] Stephen W. Littlejohn- Karen A. Foss, Theories of Human Communication 9, (Teori Komunikasi, edisi 9) pent Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009) hlm 55-56
[4] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) hlm 1029
[5] Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture An Introduction to Semiotics, pent  Dwi Marianto (Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000) hlm 12
[6] Stephen W. Littlejohn- Karen A. Foss, Teori Komunikasi edisi 9, hlm 54. Lihat pula John Fiske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm 65
[7] Arthur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, hlm 12
[9] Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, hlm 46
[10] Arthur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, hlm 12
[11] Karena semiotic berhubungan erat dengan kebudayaan, sehingga ia juga memberi pengaruh bagi penafsiran ayat al-Qur’an. Lihat Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001) vol II,  hlm 137
[12] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-Quran, pent. Supriyanto Abdullad, et.all., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997) hlm 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar