Selasa, 29 November 2011

Pendosa Besar (Fasiq): Pendekatan Penafsiran Semantik al-Qur’an Toshihiko Izutsu


Prolog
Berbagai disiplin ilmu baru dalam pendekatan tafsir al-Quran banyak bermunculan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, zaman dan agama Islam sendiri. Selain Hermeneutic, Semiotika, tampaknya mulai akrab ditelinga para akademisi yang konsen pada kajian ilmu tafsir. Mereka berusaha mengurai makna yang terkandung dalam al-Qur’an dengan pendekatan yang relative baru tersebut. Semiotic adalah pengetahuan yang berhubungan dengan tanda. Ilmu semiotic berkembang menjadi disiplin ilmu pada abad modern, yakni dengan ditandai munculnya bapak linguistic dari Swiss, Ferdinand de Saussure dan filosof Amerika Charles Sander Pierce dan Charles W. Morris.[1]
Kajian tafsir al-Qur’an mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman. Pada abad 19 muncul berbagai metode tafsir baru, hal ini tentu bagian dari upaya menyelaraskan nilai universalitas Qur’an dengan perkembangan zaman. Berbagai corak tersebut antara lain reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.[2] Pada masa selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan Semiotika,
Semantic secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, semantikos. Yang berarti memberi tanda, penting, dari kata sema, tanda. Semantic merupakan cabang dari linguistic yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Semantic biasanya dikontraskan dengan dua aspek dari ekspresi makna: sintaksis, pementukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh agen atau komunitas pada suatu kondisi atau konteks tertentu.[3] Semantic merupakan bagian dari tradisi Semiotik. Semiotic berbicara mengenai bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya (apa yang ditunjuk tanda).[4]
Kajian semantic dalam penafsiran al-Qur’an diawali dengan munculnya tokoh Toshihiko Izutsu. Analisis semantik ia gunakan dalam menelisik kosa kata Al-Quran yang terkait dengan beberapa persoalan yang kongkrit. Maksud analisis semantik di sini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa yang mengantarkan pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Sehingga, bahasa tidak hanya sebagai alat berkomunikasi dan berfikir, tetapi lebih penting lagi sebagai pengonsep dan penafsir dunia yang melingkupinya.[5]
Bagi Izutsu, analisa semantik terhadap al-Quran dimulai dengan memilih kata kunci dari vocabulary al-Qur’an yang di anggap merupakan  struktur konseptual dari dasar makna Qurani. Kata kunci merupakan kata yang sangat menentukan dalam keseluruhan suatu sistem. Analisa terhadap kata kinci bertujuan untuk mengungkap pemahaman konseptual.[6]
Kajian tersebut–pendekatan semantic Toshihiko Izutsu dalam menafsirkan al-Qur’an- sudah banyak dibicarakan kalangan akademisi ilmu tafsir. Antara lain Semantika al-Qur’an: dalam Perspektif Toshihiko Izutsu karangan Lutfi Hamidi. Penulis juga mendapatkan beberapa tulisan mengenai ulasan semantic izutsu yang penulis dapati di internet.
Biografi Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada Mei 1914 dan meninggal tahun 1993 M. Ia lahir dari sebuah keluarga hartawan yang kaya di Jepang dan dapat dikategorikan sebagai salah seorang pemikir neo-Modernis yang paling serius dan produktif di negri Matahari. Izutsu tumbuh dan berkembang dengan latar belakang pendidikan dan keluarga beragama Budha. Bapaknya adalah seorang kaligrafer yang mempunyai tulisan tangan yang bagus serta penganut agama Budha Zen sehingga Izutsu terkenal dengan meditasi Zen. Dalam hal ini, Izutsu sering menjadi pengajar dan pembicara yang diikuti oleh para pengikut Zen sejak usia dini.
Pendidikan menengah hingga perguruan tinggi, ia habiskan waktunya pada bangku sekolah di Tokyo. Meskipun Jepang dilanda perang dingin 1914-1918 pada paruh abad 20 tetapi dunia pendidikan keluarga Izutsu itu tidak pernah mati. Pada awalnya, ia masuk di Fakultas Ekonomi Keio University tetapi dialihkan  kejurusan Literatur Inggris dan ia berharap supaya dibimbing oleh Prof. Junzo Nishiwaki. Pada tahun 1937 , ia menjadi asisten peneliti setelah mengikuti wisuda dengan mendapatkan gelar BA.[7]
Dilihat dari kondisi yang mengitarinya pada waktu menuliskan ide-idenya mengenai semantik al-Qur’an, Izutsu agaknya ingin memberi sumbangan dalam dinamika penafsiran yang dilakukan para ulama, mufassir al-Qur’an abad 20. Karena pada abad tersebut ilmu tafsir sedang mengalami perkembangan dengan menyelaraskan zaman.
Pendosa Besar (Fasiq): Kajian Semantik Kufr Izutsu
Kufr merupakan istilah yang paling komprehensif  untuk semua nilai etika religius yang negative yang dikenal dalam al-Qur’an. Kufr juga mempunyai posisi inti dari sitem nilai negative tersebut. Apa yang dimaksud semantik kufr oleh Izutsu adalah, bahwa kufr tidak dapat berdiri sendiri, namun ditopang dengan beberapa kata kunci yang mengitarinya. Artinya, kita tidak akan dapat memahami sifat kufr, jika tidak memahami dasar unsur yang membentuk keseluruhan sistem itu sendiri. Unsur-unsur semantik tersebut adalah: fasiq, fajr, zulm, I’tida’ dan israf. Dalam hal ini penulis mengkhususkan ulasan mengenai fasiq.
Fasiq mempunyai makna penting dan khusus dari titik pijak pemikiran Islam. Kata ini mempunyai peran yang signifikan dalam teologi Islam, sebagai istilah kunci yang bermakna definitive murtakib kabiran atau seseorang yang telah melakukan dosa besar.
Bagi Izutsu, fasiq memiliki banyak kesamaaan dengan kufr, atau sinonim. Sehingga dalam banyak hal, tampak kesulitan membedakan antara keduanya. Izutsu mencontohkan tentang cerita Abu Amir seorang rahib yang berpengaruh di Madinah, ia secara tegas menolak mempercayai Tuhan Muhammad. Walaupun beberapa suku telah menerima keyakinan Islam. Lalu dengan kejadian ini Nabi Muhammad memerintahkan agar menyebutnya fasiq.
“selanjutnya jangan sebut dia rahib, sebutlah dia fasiq”.
Nabi Muhammad menganti istilah kufr dengan mamakai istilah fasiq.
Pandangan paling umum adalah bahwa fasiq adalah khurujan al-ta’ah (tidak taat). Yakni tidak mematuhi perintah Tuhan, sehingga fasiq merupakan istilah yang aplikasinya lebih luas dari kufr. Bagi siapapun yang tidak menaati Tuhan dalam pengertian apapun dapat disebut fasiq, sedangkan kafir mempunyai pengertian yang jauh lebih terbatas.
Selanjutnya Izutsu mengutip ayat untuk menegaskan persamaan antara kafir dan fasiq.
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tidak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasiq.” (Q.,s/ al-Baqarah: 99)
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (Q.,s/ al-Taubah: 84)
Izutsu menegaskan bahwa fasiq disini merupakan suatu keadaan yang merupakan hasil perbuatan seseorang yang dilakukan dengan cara kafir kepada Allah dan RasulNya. Lebih lanjut, bagi Izutsu, bahwa fasiq biasanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki semangat religiusitas tinggi sebagai Muslim yang baik, yang mengkhianati diri mereka sendiri dengan berbagai alasan. Prinsip berbicara tanpa tindakan, berbicara pura-pura yang diikuti dengna pengkhianatan tingkah laku, merupakan unsur yang memainkan peran menentukan ayat al-Qur’an dalam menetapkan sifat khas dari fasiq.[8]
Sementara menurut M. Quraish Shibab, bahwa kata fasiq pada ayat tersebut (Q.,s/ al-Baqarah: 99) adalah dimaksudkan untuk orang-orang Yahudi yang ingkar kepada Nabi Muhammad serta kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an. Kendati demikian ia bersifat umum, mencakup orang-orang Yahudi dan siapa saja yang berbuat fasiq.[9]
Epilog
Pada penutup ini, penulis ingin memberikan kesimpulan atas pembacaan semantik kufr, teori penafsiran dengan menggunakan pendekatan semantik yang diusung oleh Toshihiko Izutsu. Kepiawaian Izutsu dalam mengupas makna yang terkandung setiap kata dalam al-Qur’an membuat munculnya makna baru. Dengan pendekatan semantikanya, ia mengurai makna suatu kata dengan mengaitkan relasi-relasi makna yang sesuai, yang terdapat dalam al-Qur’an. Izutsu terkesan membiarkan al-Qur’an untuk memaknai dirinya sendiri dengan menggunakan makna lain dalam al-Qur’an sendiri. Metode yang demikian ini dapat terlihat ketika Izutsu menghubungankan pengertian fasiq dan kufr yang menurutnya terdapat persamaan, sinonim.


[1] Robert Beard ed. al, Philipp Strazny (editor),  Encyclopedia of Linguistics, (New York: An Imprint of the Taylor-Francis Group, 2005) vol II, hlm 949
[2] Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001) vol II,  hlm 126-132
[3] Id. Wikipedia. Org/wiki/Semantik. Diunduh pada 12 November 2011
[4] Stephen W. Littlejohn- Karen A. Foss, Theories of Human Communication 9, pent Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009) hlm 55
[5] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-Quran, pent. Supriyanto Abdullad, et.all., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997) hlm 1
[6] Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, hlm. 75
[7] Artikel dari http://www.ibtbooks.com/author.php.
[8] Toshihiko Izutsu, Ethico Religius Concepts in the Qur’an, pent. Agus Fahri ad. all., (Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Qur’an). (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993) hlm 187-189
[9] M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol 1, hlm 274

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus