Dalam keyakinan seorang
Muslim, al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang tak perlu diragukan lagi, ia
dipandang para ulama memiliki kebenaran yang mutlak.
Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam
yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga
menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Dalam posisi
yang demikian, kajian terhadap al-Qur’an secara alami bermuara pada bagaimana
membuka dan menjelaskan kadungan ayat-ayat al-Qur’an. Maka ilmu tafsir dan
ta’wil yang harus dijadikan pegangan.
Para pakar ilmu
tafsir banyak memberi pengertian baik bahasa atau istilah terhadap term tafsir.
Penulis akan mengulas beberapa pendapat ulama mengenai term tersebut. Menurut
al-Zarqanî, tafsir secara bahasa sesuatu yang menerangkan dan menjelaskan. Hal
ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
وَلَا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”
Sedang
menurut istilah, tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an dengan menjelaskan
makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Menurut Abû
Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai
ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri maupun tersusun dan makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.
Sedangkan ta’wil
secara bahasa berasal dari kata ‘aul yang berarti kembali ke asal.
Dengan merujuk pada kalimat “أول الكلام تأويلاً”, maka ta’wil berarti memikirkan, memperkirakan dan
menafsirkan. Terdapat dua makna mengenai istilah ta’wil kalam, pertama,
ta’wil dengan pengertian suatu makna pembicara (orang pertama) mengembalikan
perkataannya. Kedua, ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan
makna. Inilah yang dimaksudkan oleh al-Thabari dalam kitab tafsirnya.
Ulama muta’akhkhirîn
memberi pengertian ta’wil dengan “Memalingkan makna lafaz yang kuat kepada
makna yang lemah karena ada dalil yang menyertainya”. Tentu saja definisi ini
sangat tidak sesuai dengan tradisi ulama klasik, sebagaimana ta’wil menurut
al-Thabâri.
Kalangan filosof
dan teolog pada umumnya diketahui sebagai kelompok yang fokus penta’wilan al-Qur’an
dengan menggunakan akal sebagai tolok ukur dalam menilai hasilnya. Beberapa
filosof memandang bahwa ungkapan kebahasaan teks keagamaan adalah bersifat
metaforis (majazi). Artinya, maksud yang dikehendaki teks adalah bukan
seperti yang tertera dalam teks. Maka dalam rangka menangkap arti sebenarnya
diperlukan disiplin ilmu dan latihan berfikir yang tinggi.
Sebagian teolog
juga menggunakan akal sebagai tolok ukur diterima atau ditolaknya sebuah ta’wil.
Menurut aliran mu’tazilah, jika ayat yang dita’wilkan terdapat ketidaksesuaian
dengan pendapatnya, maka dicari segala kemungkinan ta’wil sehingga tidak
terjadi pertentangan. Mereka memandang bahwa akal harus didahulukan dari sumber
lain dalam menta’wilkan al-Qur’an. Sedangkan kalangan sufi memandang bahwa ta’wil
tidak cukup menggunakan akal saja, tetapi dengan intuisi guna mengalihkan makna
zahir kepada batin. Bahwa dalam al-qur’an terdapat makna yang
tersembunyi. Ta’wil dalam konteks ini dipahami sebagai upaya menyingkap makna
tersembunyi di balik teks al-Qur’an.
Demikian ulasan
mengenai definisi tafsir ataupun ta’wil. Hal ini menjadi penting untuk
diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan
perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat
“tafsir” dengan ulama terdahulu. Dibawah ini akan kami paparkan ulasan mengenai
perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.
A. Tafsir pada Masa Klasik
Agar mempermudah
pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada masa klasik, penulis akan memetakan
dalam tiga pembahasan, yakni (1). Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat. (2).
Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuaan)
1. Tafsir
pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan
penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi pun menjadi
sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui
makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan
dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih
mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan
pada Nabi.
Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan
yang dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44
bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
“Dan
Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Sedikit
sekali kalangan sahabat yang menggunakan penafsiran bil ra’yî dalam
menafsirkan al-Qur’an. Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan
akal dalam penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah
berkata:
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَ أَيُّ سَمَاءٍ
تُظِلُّنِي
إِذَا
قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ مَالاَ أَعْلَمُ
“Bumi
manakah yang menampung aku dan langit manakah yang menaungi aku, apabila aku
mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia
mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang makna Abbân.
Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu
mengenai kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada
pula beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî
selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs.
Karena
penafsiran para sahabat sangat tergantung dengan pentokohan atau bersandar
kepada Nabi dan sahabat lain, maka penafsiran seperti ini kurang memaksimalkan
penggunaan rasio dan mengemukakan budaya kritisisme.
Inilah yang disebut dengan nalar quasi-kritis
oleh Abdul Mustaqim. Maka tidaklah heran jika tafsir era tersebut didominasi tafsîr
bi al-riwâyah, sedangkan tafsîr bi al ra’yî cenderung dihindari
bahkan dicurigai.
2. Tafsir
pada masa tabi’in
Setelah
generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada
masa tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa
sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat
sendiri), maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai banyak bersandar
pada berita-berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain itu
penafsiran tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan
ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat
menyebar ke berbagai daerah.
Ada
tiga aliran besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran Makkah, Sa’îd ibn
Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722).
Mereka berguru pada Ibn Abbâs. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb
(w. 735 M), Zaîd ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M).
Mereka berguru pada Ubay ibn Ka’âb. Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs
(w. 720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah
ibn Daimah al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.
Menurut
Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah
sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn
Aslâm dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa Mujâhid
adalah mufassir yang besar. Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang
padanya.
Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan
bahwa Mujâhid banyak bertanya pada ahli kitab.
Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal
sebagai mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan
al-Qur’an.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang berasal dari tabi’in jika
tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka
meragukan apakah pendapat tabi’in tersebut dapat dipegangi atau tidak. Mereka
yang menolak penafsiran tabi’in berargumen bahwa para tabi’in tidak menyaksikan
peristiwa dan kondisi pada saat ayat al-Qur’an diturunkan. Sedangkan kalangan
yang mendukung penafsiran tabi’in dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa
para tabi’in meriwayatkan dari sahabat.
Jika
penafsiran bil ijtihâd pada masa sahabat mengundang pro-kontra, yang
demikian juga terjadi pada masa tabi’in. Sebagian menolak akal dalam
penafsiran, sebagian lainya membolehkan. Diantara tabi’in yang menolak
penggunaan ijtihad akal dalam penafsiran adalah Sa’îd ibn Musaiyâb dan Ibn Sirîn.
Sa’îd ibn
Musaiyâb berkata:
إِنِّى لاَ نَقُوْلُ فِي اْلقُرْاَنِ شَيْئًا
“Sesungguhnya aku tiada mau mengeluarkan pendapatku sedikit pun
dalam menafsirkan al-Qur’an”
Al-Sya’bî dan
Ubaidillah ibn Abdullâh ibn Umar juga mengungkapkan keberatan penggunaan akal
dalam menafsirkan al-Qur’an. Al-Sya’bî berkata:
ثَلاَثٌ لاَ أَقُوْلُ فِيْهِنَّ حَتَى أَمُوْتُ:
اْلقُرْاَنَ, اْلرُوْحَ, اْلرَأْيَ
“Tiga perkara, aku tidak mengatakan apa-apa terhadapnya sampai
wafat: al-Qur’an, ruh dan ijtihad.”
Sementara
Ubaidillah ibn Abdullâh ibn Umar berkata:
لَقَدْأَدْرَكْتُ فُقَهَاءَ اْلمَدِيْنَةِ
يُعَظِّمُوْنَ اْلقَوْلَ فِي اْلقُرْاَنِ مِنْهُمْ سَالِمُ بْنُ عَبْدُ اللهِ, اْلقَاسِمُ
بْنُ مُحَمَّدٍ وَسَعِيْدٌ.
“Aku menjumpai fuqaha-fuqaha Madinah. Mereka tidak menafsirkan
al-Qur’an dengan dasar ijtihad. Diantaranya Salim ibn Abdullâh, al-Qasîm ibn
Muhammad dan Sa’îd.”
Sedangkan
diantara tabi’in yang membolehkan ialah, Mujâhid dan Ikrimah. Golongan yang
tidak membolehkan ijtihad dalam penafsiran mengkritik dan mencela golongan yang
membolehkan. Hal tersebut mereka dasarkan pada hadis
مَنْ تَكَلََّمَ فِي اْلقُرْاَنِ فَأَصَابَ
فَأَخْطَأَ.
“Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an dengan pikiran dan ijtihadnya,
walaupun betul ijtihadnya, namun dipandang salah juga.”
Pendirian
Mujâhid dan golongannya yang menggunakan ijtihad dalam penafsiran mendapat
sambutan dari ulama Irak, kelompok Mu’tazilah dan ulama kalam. Diantara tokoh
Mu’tazilah yang menggunakan rasio dalam penafsiran adalah al-Jâhidh (255 H),
an-Nadhâm (231 H) dan al-Allâf (266 H).
Maka
dari sini timbul perbedaan tafsir dan ta’wil. Tafsir ialah menjelaskan
ayat al-Qur’an dengan dasar naql yang diterima dari rasul dan para
sahabat. Sedangkan ta’wil adalah penafsiran al-Qur’an dengan dasar
ijtihad melalui pengertian yang dalam terhadap makna kata-kata tunggal dan
petunjuk bahasa.
3. Tafsir
pada masa kodifikasi (pembukuaan)
Pasca
generasi tabi’in,
tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan). Menurut al-Dzahabî, masa pembukuan tafsir
dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar
abad 2 H).
Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan
mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan
sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang
berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih
menjadi bagian dari kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna
mendapat tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah
ibn Hajjâj (160 H), Ishâq ibn Rahawaih (238 H).
Setelah
ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab
hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara
sistematis sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini
adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w.
327 H), Abusyî Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar
ibn Mardawaih (w. 410 H).
Beberapa
perbedaan pendapat mengemuka tentang siapa yang pertama kali menulis tafsir
dalam satu kitab tersendiri setelah dipisahkan dari kitab hadis. Pendapat
pertama menyebut Ibn Juraîj (80-150 H) adalah yang pertama kali menulis kitab
tafsir. Namun pendapat itu dibantah oleh beberapa ulama. Karena terdapat
riwayat lain yang menyebut bahwa Ibn Abbâs pernah mendiktekan tafsir pada
muridnya, Mujâhid. Pendapat lain menyatakan bahwa yang pertama kali menulis
kita tafsir adalah Sa’îd ibn Jubair yang diminta oleh khalifah Abdul Malik ibn
Marwan (w. 86 H) untuk mengumpulkan lembaran-lembaran tafsir.
Riwayat lain menyebut bahwa al-Farrâ’ yang pertama kali menulis kitab tafsir,
dan kitab tersebut dapat kita temukan sekarang.
Sementara
al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan ciri
dan karakteristik. Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan
hadis. Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab tersendiri di dalamnya.
Kedua, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari kitab hadis. Namun
penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang disandarkan pada Nabi,
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran bil ma’tsur). Ketiga,
tahap ini penulisan tafsir tetap mencantumkan riwayat-riwayat. Namun ada
perbedaan yang sangat signifikan, riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi
sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir adanya pemalsuan tafsir dan
permualan awal masuknya kisah-kisah isrâiliyyât dalam tafsir. Keempat,
sumber tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik,
tetapi juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.
B. Tafsir pada Masa Abad Pertengahan
Perkembangan
tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada
abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa keemasan (the
golden age). Perkembangan
penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir
tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang
mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an
pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan
mazhab/aliran tertentu.
Diantara
kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan Islam/abad pertengahan
antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî
(w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû al-Qasîm
Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih al-Ghaib karya
Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya
Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).
Bersamaan
dengan itu, muncul tafsir dengan corak Syi’i, seperti Tafsîr al-Qur’ân
karya Alî Ibrahim al-Qummî (w. 939 M), al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur’ân
karya Muhammad ibn Hasan al-Thûsî (w. 1067 M), Majmâ’ al-Bayân fî Ulûm al-Qur’ân
karya Abû Ali Fadl al-Thabarsî (w. 1153 M) dan al-Shâfi fî Tafsîr al-Qur’ân
karya Muhammad Murtadhâ al-Kasyî (w. 1505 M).
Dalam
sejarah perkembangan Islam, abad pertengahan merupakan abad menerjemahan karya
Yunani klasik ke dalam bahasa Arab. Terjadi akulturasi budaya Arab-Yunani.
Sehingga penafsiran terhadap al-Qur’an juga mendapat pengaruh, yakni tafsir corak
sufi-falsafi. Diantara tafsir dengan corak demikian adalah Tafsîr al-Qur’ân
karya Sahl ibn Abdillâh al-Tustâri dan Haqâ’iq
al-Tafsîr karya Abû Abdurrahman al-Sulamî (w. 412 H). Kitab Haqâ’iq
al-Tafsîr menurut Ibn Shalâh merupakan kitab tafsir yang cacat, berbau
Syi’a dan di dalamnya banyak hadis mawdhû’. Ibn Shalâh mengatakan “Saya
temukan pendapat dari Imam Wahidî bahwa Abû Abdurrahman telah menulis kitab Haqâ’iq
al-Tafsîr, apabila ia berkeyakinan bahwa kitabnya adalah kitab tafsir, maka
ia telah kufr.”
Komentar
Ibn Shalâh di atas menjadi bukti bahwa pada abad pertengahan klaim-klaim kafir
terhadap penafsiran yang tidak sesuai dengan mazhab tertentu telah muncul. Pada
perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H) yang juga kerap
mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk
mendukung pahamnya, wahdatul wujud.
Kelahiran
Imâduddîn Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan
bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang
terdiri sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang
ia tulis. Pada
abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah
al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama
Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi pada
ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-Qur’an
secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asbâb nuzûl,
macam qira’at, I’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.
Selain
nama mufassir di atas, muncul pula Alî ibn Muhammad al-Baghdadî (678-741 H)
dengan karya tafsirnya Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau
yang sering disebut dengan Tafsir al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran
dalam tafsir tersebut adalah bil ma’tsûr. Al-Khâzin menaruh perhatian
cukup besar banyak terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada beberapa
penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein al-Dzahabî.
Pada
tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû Hayyân al-Andalusî.
Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak mencurahkan
perhatiannya dalam masalah I’rab dan Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar
dalam masalah Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok
disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat Zamakhsyari
dalam hal ilmu Nahwu. Namun Abû Hayyan seringkali tidak sependapat dengan
Zamakhsyari, terlebih mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.
Selain
nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada
abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis
tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad
pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia,
maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan
mazhab dan tempat.
C. Tafsir pada Masa Modern
Akulturasi
budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an
abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh
pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir era ini.
Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama penafsir dalam
memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas era modern
kemudian menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini bahwa umat
Islam belum memahami spirit al-Qur’an, karenanya mereka gagal menangkap spirit
rasional al-Qur’an.
Atas
dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim
modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan jargon
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an. Kemudian
mereka menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.
Menurut Baljon dalam bukunya yang
berjudul Modern Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa
yang disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir dalam
menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan tuntunan zaman. Karenanya segala
pemikiran yang terkandung dalam al-Qur’an segera dirasakan membutuhkan
penafsiran ulang. Lebih lanjut Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan
perlu akibat persentuhan dengan peradaban asing kian lebih intensif.
Pada tahun 1880 dianggap era baru
sebagai kemunculan tafsir al-Qur’an muslim modern. Hal ini ditandai ketika
Ahmad khan
mencurahkan minat mempelajari al-Qur’an ditengah hiruk pikuk terjadi ketegangan
antara India dengan Inggris kala itu. Khan memberi pandangan baru terhadap
masyarakat India bahwa kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dapat
bersesuaian dengan semangat zaman kapan pun.
Namun perlu menjadi catatan bahwa
kemunculan tafsir muslim modern tidak dimulai oleh Khan, karena pada tahun 1703
telah hadir tokoh di India yakni Syah Waliyullah al-Dahlawi (inilah yang
disinyalir sebagai tokoh embrio pembaruan Islam). Syah Waliyullah al-Dahlawi
adalah seorang intelektual Muslim India. Ia lahir pada 04 Syawwal 1214 H/ 21
Februari 1703.
Ia yang memberi reaksi positif atas perubahan situasi yang ada, yaitu melalui
karyanya Hujjah Allah al-Bâligha dan Taqwîl al-Hadîth fî Rumûz Qisâs
al-Anbiya. Karya yang kedua, menegaskan mengenai kemukjizatan hukum yang
terkandung dalam al-Qur’an.
Pada masa berikutnya muncullah
Muhammad Abduh (1849-1905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal, yang
disebut-sebut rekan satu pemahaman dengan Ahmad Khan. Berbeda dengan Ahmad Khan,
dalam merespon situasi sosial-politik yang terjadi, Abduh tidak memulainya
dengan menulis tafsir al-Qur’an, namun menulis “Teologi Muslim”, atau yang disebut
Risâlah al-Tauhid (1897). Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas
saran muridnya, Rasyid Ridha.
Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian
Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J.
Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang
berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan
ajaran moral dari sebuah ayat.
Selain Abduh, kaum modernis Arab
lainnya juga banyak yang menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama
konservatifnya. Sampai kemudian muncul metode dan cara baru dalam penafsiran
al-Qur’an. Adalah Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak memberi
komentar, tetapi ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan
pegangan ilmu Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga
kitab tafsirnya, Tafsîr Jawâhir digadang-gadang sebagai tafsir bercorak
ilmi (santifik).
Pada masa berikutnya muncul pakar
dalam bidang tafsir di Mesir. Dua orang pengarang independen yang menjadi
terkenal dalam bidangnya, yaitu Muhammad Ahmad Khalafullah dan Mohammad Kamil
Husain. Khalafullah menampilkan sebuah master piece yakni al-Fann
al-Qasasi fî al-Qur’ân al-Karîm.
Pada tahun 1930, terdapat karya
tafsir, Tarjuman al-Qur’ân karya Abu Kalam ‘Azad (1888-1958). Ia lahir
di Mekkah dari orang tua kebangsaan India. Melalui karyanya tersebut ia
mengatakan bahwa al-Qur’an menunjukkan kecemerlangan kebenaran universal yang
menjadi kebutuhan umat.
Azad juga tercatat sebagai aktivis politik. Ia juga mengkritik Inggris atas
diskriminasi ras yang dilakukan.
Menurut Azad, sebuah penafsiran
seorang mufassir tidak dapat dipisahkan dari lingkungan, masa atau zaman si
mufassir. Ia berpendapat bahwa sebuah pemikiran merupakan produk dari
lingkungan dan zamannya. Tetapi pandangan ini tidak berlaku bagi para sahabat
nabi, ada pengecualian. Karena, menurut Azad, pemahaman para sahabat adalah
pemahaman yang jelas dan sesuai hakikat yang dikandung al-Qur’an. pendapatnya
yang demikian ia dasarkan atas kedekatan sahabat dengan nabi.
Selain ‘Azad, muncul nama Muhammad
Inayatullah Khan, yang lebih dikenal dengan al-Masyriqi (Sang
Orientalis). Ia menulis buku dengan judul Hadîth al-Qur’ân (ditulis dari
30 Mei-20 Juni 1951). Dalam bukunya itu, ia ingin menunjukkan betapa tingginya
peran al-Qur’an dalam bidang ilmu evolusi dan unifikasi umat manusia
(persatuan/kesatuan umat manusia).
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul
Mun’în al-Marâghi juga mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern
dengan karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang sering dikenal
dengan sebutan Tafsîr al-Marâghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia
menulis tafsirnya selama sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950.
Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia
merasa ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang
terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.
Di Indonesia juga muncul beberapa
mufassir dan kitab tafsirnya. Antara lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm
karya Mahmud Yunus(1899)dan Kasim Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad
Hasan (w. 1887-1958), Tafsîr al-Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan
Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-Majîd karya Hasbi al-Siddiqi
(1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981).
Titik
perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19
menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.
Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan
Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi
berbagai metode penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
Potret
sejarah penafsiran yang penulis kemukakan di atas mengantarkan pada sebuah diskursus
bahwa tafsir pada periode pertama (masa Nabi dan sahabat) setidaknya memiliki
karakteristik: (1). Penafsiran didasarkan pada perkataan nabi atau sahabat
lainnya (tafsir bil ma’tsûr). (2). Tidak menafsirkan al-Qur’an secara
keseluruhan. (3). Sedikit periwayatan yang diambil dari kisah israliyyat. (4).
Minimnya perbedaan pendapat diantara sahabat dalam memahami al-Qur’an.
Pada
periode kedua (masa tabi’in), (1). Tafsir mulai dimasuki kisah-kisah isrâiliyyât.
(2). Mulai timbul perbedaan penafsiran karena sebagain penafsiran didasarkan
pada ijtihad. (3). Pembukuan tafsir mulai bertambah, tidak seperti pada masa
sahabat. Sedangkan pada periode ketiga (masa kodifikasi dan selanjutnya),
karakteristik penafsiran sudah jauh dari masa sebelumnya. Pengaruh mazhab dan
perkembangan ilmu pengetahuan menjadi faktor utama.
Ulasan
di atas juga sangat menyoroti perdebatan mengenai boleh tidaknya penggunaan ra’yi
dalam penafsiran. Apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi adalah
menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad. Ijtihad yang dimaksud di sini adalah
ketika mufassir telah menguasai dengan baik kaidah-kaidah bahasa Arab dan
segala aspek keilmuan yang digunakan menafsirkan al-Qur’an.
Menyikapi tafsir bil ra’yi juga harus diperhatikan, apakah tafsir
tersebut bil ra’yi yang mahmûd (terpuji), atau mazdmûm (tercela).
Tafsir
bil ra’yi mahmûd adalah penafsiran yang disandarkan pada
al-Qur’an, sunnah nabi, dengan pengetahuan bahasa yang baik dan mengetahui
kaidah-kaidah syar’iyah. Sedangkan tafsir bil ra’yi madzmûm, adalah
penafsiran yang didasarkan pada pemahaman sendiri dan hawa nafsu serta tanpa
dibekali pengetahuan syar’iyah yang baik. Maka tidak lain hal tersebut adalah
bid’ah.
Namun, perlu diperhatikan juga bahwa kategori terhadap tafsir ra’yi terpuji
atau tercela juga banyak perbedaan.
Jika
melihat kembali definisi ilmu tafsir, –ilmu untuk memahami al-Qur’an dengan
menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya- maka tidak
menutup kemungkinan bahwa selain mendapatkan penafsiran dari hasil periwayatan,
penggunaan ra’yi atau kisah isrâiliyyât pun dapat membantu untuk
memahami makna-makna, mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Hal ini agaknya
berseberangan dengan pendapat al-Dzahabî. Dimana ia mengemukakan keberatannya
dalam pengutipan riwayat isrâiliyyât untuk menjelaskan tafsir, penafsiran bil
ra’yi model Mu’tazilah serta kecenderungan rasionalistik para mufassir
modern.
Adanya
disparitas penafsiran sudah menjadi hal yang lumrah. Kenyataan tersebut dapat
dilihat ketika ulama saling “menyerang” satu dengan yang lain ketika berbeda
penafsiran. Hal ini berawal dari penggunaan ratio (akal) dalam
menafsirkan ataupun bias teologi/mazhab. Seharusnya hal tersebut tidak perlu
terjadi, karena jika kita berpegang pada perkataan imam Syafi’i, “Pendapatku
benar, tapi ada kemungkinan salah. Sedangkan pendapat orang lain itu salah,
tapi mungkin juga benar.” Maka kita tidak mudah terjebak dalam truth claim.
Fahd
ibn Abdu al-Rahman al-Rumi, Buhûs fî Ushû al-Tafsîr wa Manâhijuha, (Riyadh:
Maktabah Taubah, tt), h. 80.