Oleh:
Ali Thaufan DS (Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Kandidat
calon Presiden-Wakil Presiden dari partai politik Islam untuk Pemilu 2019 tak
mampu bersaing dengan capres-cawapres dari partai “nasionalis”. Pasalnya, dari
berbagai survei elektabilitas capres-cawapres, kandidat yang diunggulkan masih
dua figur partai nasionalis: Joko Widodo (PDI-Perjuangan) dan Prabowo Subianto
(Partai Gerindra).
Menurut
Ahmad Muqowam (2011:133) dan juga Abdul Mu’ti (2011:209), keberadaan seorang
figur dalam partai politik sangat penting. Selain dapat menjadi sosok
pemersatu, adanya figur juga dapat mendongkrak suara dalam Pemilu. Namun patut
menjadi catatan, ketergantungan terhadap figur tertentu pada satu sisi juga
tidak baik terhadap demokratisasi parpol karena bergantung pada figur membuka
ruang praktik oligarki.
Hingga
April 2018 atau satu tahun jelang Pemilu, kandidat capres-cawapres yang muncul
dari partai Islam antara lain: Muhaimin Iskandar (PKB), Zulkifli Hasan (PAN), Romahurmuzy
(PPP), Yusril Ihza Mahendra (PBB), dan PKS mengusulkan Sembilan kader mereka
sebagai capres maupun cawapres, yaitu: Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis
Matta, Irwan Prayitno, Sohibul Iman, Salim Segaf Al-Jufrie, Tifatul Sembiring,
Al-Muzammil Yusuf, dan Mardani Ali Sera.
Nama-nama
kader dan tokoh partai Islam semisal Muhaimin Iskandar (PKB), Zulkifli Hasan
(PAN), Romahurmuzy (PPP) serta Anis Matta (PKS) termasuk kader dari partai
Islam yang cukup agresif berkampanye sebagai kandidat bakal capres maupun
cawapres. Namun, kader-kader partai Islam ini sepertinya sulit bersaing dengan
Jokowi dan Prabowo. Oleh sebab itu, pertimbangan rasional politik mereka
memilih untuk menjadi cawapres Jokowi ataupun Prabowo.
Komunikasi
intensif sebagai upaya untuk menduetkan tokoh partai Islam ini baik dengan
Jokowi maupun Prabowo mulai dan akan terus dilakukan hingga waktu pendaftaran
capres 4 Agustus 2018 nanti. Muhaimin misalnya, secara terang dan tegas
menyatakan kesediaannya menjadi cawapres Jokowi. Ia telah merasa nyaman koalisi
dengan Jokowi seperti sekarang ini. Tak hanya memasang spanduk, dalam berbagai
kesempatan ia menyatakan keyakinannya akan dipinang Jokowi sebagai cawapres.
Keinginan Cak Imin –sapaan akrab Muhaiman- adalah hasil permintaan kader PKB
serta nasihat kyai-kyai Nahdatul Ulama (NU).
Selain
Cak Imin, PKS juga mulai “bermanuver” meminta Prabowo menjadikan kader PKS
sebagai cawapresnya. Sama seperti yang dinyatakan Cak Imin perihal kenyamanan
berkoalisi dengan Jokowi, PKS juga merasakan kecocokan berkoalisi dengan
Prabowo selama 3 tahun belakangan ini. Sebagai partai oposan, PKS dan Gerindra
selalu menjadi kemesraan bersama. Kuatnya permintaan PKS pada Gerindra untuk
menjadi cawapres Prabowo bukan tanpa alasan. Pasalnya, diberbagai daerah yang
menggelar Pilkada 2018, PKS juga berkoalisi dengan Gerindra dalam mengusung
calon kepala daerah. Gerindra dan PKS sudah berkoalisi di lima daerah tingkat
provinsi di Pilkada 2018 yaitu: Jawa Barat, Sumatra Utara, Kalimantan Timur,
Maluku Utara dan Jawa Tengah.
Melihat
konfigurasi peta politik jelang Pemilu 2019, kader-kader partai Islam belum
menjadi figuran utama sebagai capres di Pilpres. Parpol-parpol Islam hanya
mampu memasang target kadernya sebagai calon RI-2, cawapres. Banyak pihak-pihak
menyayangkan ketidakmampuan partai Islam memunculkan capres. Pasalnya, jumlah parpol
Islam baik yang secara azas mencantumkan Islam maupun partai Islam berbasis
massa ormas Islam tidak sedikit. Upaya membentuk poros pencapresan baru di luar
Jokowi dan Prabowo yang sempat berkembang ternyata segera layu. Setidaknya,
ketidakmampuan menghadirkan capres dari partai Islam menjadi kritik internal
partai-partai tersebut.
Meski
tak mampu bersaing memunculkan kader dilevel capres, figur atau tokoh kader partai
Islam akan sangat menentukan tingkat elektabilitas paslon capres-cawapres nanti.
Hal ini disebabkan jumlah pemilih Indonesia masih didominasi beragama Islam. Oleh
sebab itu, penulis memprediksi bahwa baik Jokowi maupun Prabowo akan memilih
kader dari partai Islam. Duet pasangan “nasionalis-Islam (religious)” akan
muncul dalam Pemilu 2019 nanti. Hal ini bukan sesuatu yang baru, beberapa
capres-cawapres Pemilu sebelumnya juga berupaya memunculkan pasangan “Nasionalis-Islam”
atau “Islam-Nasionalis”. Pada Pemilu 2004 misalnya, muncul pasangan Megawati
(nasionalis) dengan Hasyim Muzadi (Islam), Wiranto (Nasionalis) dengan
Shalahudin Wahid (Islam), dan Hamzah Haz (Islam) dengan Agum Gumelar
(Nasionalis).
Isu-isu
keagamaan yang sering dimunculkan akan menjadi pertimbangan bagi kandidat
capres untuk mengambil cawapresnya dari tokoh atau kader parpol Islam. Pada
Pemilu 2014 serta Pilkada 2017 lalu, kampanye berbasis isu agama masih marak
terjadi, dan secara elektoral sangat berpengaruh terhadap pemilih. Hadirnya
tokoh dan kader partai Islam dalam pentas Pilpres meskipun sebagai cawapres dinilai
mampu mendinginkan suasana panas kampanye yang dipenuhi polarisasi sosial
bahkan fitnah yang kejam.
Manteb... Nggu figur sperti antum indonesia tad...hehehe
BalasHapushehe. ente bisa aja sul. moga2 ada figur yang pas dan baik
BalasHapus