Oleh:
Ali Thaufan Dwi Saputra (Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Narasi
perjalanan partai politik Islam di Indonesia tidak pernah luput dari dinamika
konflik internal parpol. Era Orde Lama, konflik internal terjadi di Partai
Masyumi dan di era Orde Baru, konflik internal terjadi di Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Konflik
internal parpol Islam juga mewarnai pentas politik nasional di era reformasi.
Saat itu, pada 1998-1999 muncul banyak sekali parpol Islam, namun pada saat
yang sama, konflik internal juga kerap menghiasi. Bahkan konflik internal
parpol pada titik klimaks membuat parpol terfregmentasi dan muncul parpol Islam
baru. Konflik internal yang diterjadi di PPP pada 2003 melahirkan parpol baru
yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR). Ciri konflik internal pada dekade pertama
adalah perpecahan, dan muncul parpol baru.
Lili
Romli memetakan hal-hal yang menyebabkan konflik internal. Pertama, konflik terjadi akibat perebutan kekuasaan di dalam
parpol. Sebagai contoh, konflik internal muncul pascapemilihan ketua umum.
Biasanya, pihak yang kalah dalam kompetisi pemilihan ketua umum keluar parpol
dan mendirikan parpol baru. Kedua,
konflik internal lahir akibat perbedaan dukungan koalisi pada saat pancalonan
presiden dalam Pemilihan Umum.[1]
Konflik
internal akibat wacana ataupun dukungan pencapresan juga melanda Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) menjelang Pemilu 2019. Pada 13-14 Januari 2018 PKS
menggelar Musyawarah Majelis Syuro VI. Musyawarah itu menetapkan sembilan
kadernya untuk diusung menjadi capres Sembilan nama-nama capres yang
dimunculkan PKS adalah Ahmad Heryawan, Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Irwan
Prayitno, Sohibul Iman, Salim Segaf Al-Jufrie, Tifatul Sembiring, Al-Muzammil
Yusuf, dan Mardani Ali Sera. Sembilan nama ini merupakan hasil penjaringan
internal PKS.[2]
Setelah
menetapkan capres dari kadernya, PKS mulai mengonsolidasi kekuatan internal
untuk meningkatkan elektabilitas partai. Selain itu, DPP PKS juga akan
menjajaki kemungkinan koalisi dengan parpol lain karena syarat presidential threshold (ambang batas
pencapresan) tak memenuhi syarat.
Nama-nama
yang dimunculkan tersebut kemudian menggalang dukungan, baik dari internal
parpol maupun masyarakat. Diantara capres yang dimunculkan PKS tersebut, nama
Anis Matta cukup menyita perhatian. Pasalnya, mantan Presiden PKS itu cukup
masif melakukan sosialisasi melalui pemasangan spanduk bertuliskan “Anis Matta
Calon Presiden Indonesia 2019”. Ia bahkan sudah mempunyai relawan bernama Anis
Matta Pemimpin Muda (AMPM).
Di
internal PKS sendiri, nama Anis Matta bukan “pemain” baru. Ia dipandang sebagai
anak muda yang cerdas sehingga menjadi magnet bagi kader-kader muda PKS. Ia
menjadi idola para kader muda. Wawasannya luas dan banyak sekali tulisannya
sehingga memberi kesan sebagai seorang “intelektual PKS”. Dengan bahasa memuji,
rekan Anis yang menjabat Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menyebut Anis sebagai
seorang pintar yang mampu menyelamatkan PKS di Pemilu 2014.
Akan
tetapi, Anis harus menghadapi sengitnya persaingan internal PKS sendiri. Kesuksesan
Anis di PKS seperti dikatakan Fahri tidak membuat ia berada dalam zona nyaman
ssbagai elit PKS. Sekalipun sukses menjaga suara PKS pada Pemilu 2014, ia
“tersingkirkan” dan tidak lagi dipilih menjadi ketua umum PKS. Bergantinya
rezim di PKS dari Anis kepada Sohibul Iman berkonsekuensi pada “dibersihkannya”
kelompok Anis.
Wacana
“pembersihan” kelompok Anis seperti dikemukakan beberapa pengamat terlihat dari
upaya PKS mengganti posisi Fahri Hamzah dari kursi Wakil Ketua DPR, meski Fahri
sendiri menolak dan sampai hari ini tetap menjadi wakil ketua. Selain itu,
Fahri juga mencium upaya penyingkiran kelompok Anis dibeberapa daerah, pengurus
tingkat DPW dan DPD. DPP PKS, menurut Fahri mengganti ketua pimpinan wilayah
yang dianggap “orangnya” Anis secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Ini
adalah upaya DPP PKS untuk melumpuhkan kekuatan yang telah digalang Anis jauh
sebelum munculnya nama-nama capres PKS.[3]
Pernyataan
Fahri yang menyebut DPP PKS membersihkan kelompok Anis memancing reaksi dari
elit PKS lainnya. Politisi PKS seperti Nasir Jamil menolak jika DPP PKS disebut
membersihkan kelompok Anis. Ia menyebut bahwa pencapresan kader harusnya
menjadi titik pijak konsolidasi internal PKS jelang Pemilu, bukan ajang saling
sikut antar-elit.[4]
Pencapresan
Anis Matta dari PKS kian berat karena DPP PKS membatasi ruang geraknya. Hal ini
misalnya terjadi ketika Anis menghadiri deklarasi dukungan pencapresannya di
Bandung pada Sabtu 21 April 2018 lalu tidak mendapat dukungan dari internal PKS.
Menjelang acara deklarasi, DPW PKS Jawa Barat menghimbau kader PKS melalui
surat edaran bernomor 012/D/EDR/AJ-PKS/1439 untuk tidak hadir acara tersebut. Atas
surat edaran pelarangan kader itu, Anis menanggapi dingin kebijakan PKS. Ia memahami
PKS sedang ingin mengonsolidasikan kekuatan partai menghadapi Pilkada dan tidak
berfokus pada pencapresan. Namun fakta yang terjadi, para elit PKS sendiri juga
berupaya mendorong kadernya untuk berkompetisi di pilpres sekalipun menjadi
cawapres.
Atas
sikap PKS terhadap Anis tersebut, Fahri menyebut bahwa elit PKS sedang “dendam
kesumat” kepada Anis. Menurut Fahri, elit PKS saat ini telah melupakan jasa
Anis yang sudah menyelamatkan partai pascabadai kasus dugaan korupsi yang
menimpa mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishak. Fahri bahkan menyebut oknum
internal PKS yang menjegal pencapresan Anis sebagai orang-orang yang ingin
mengubur PKS.[5]
Menurut
pengamat politik M. Qodari, sebetulnya pencapresan Anis dari PKS lebih dapat
menaikan elektabilitas dari pada kader PKS lainnya. Pasalnya, Anis yang berasal
dari Sulawesi Selatan tentu memiliki nilai tawar tersendiri untuk mengambil
suara dari luar Jawa daerah Indonesia Timur. Munurut Qodari, PKS yang
dikabarkan memilih Ahmad Heryawan akan menyulitkan PKS untuk meraih pemilih
luar Jawa karena idealnya paslon capres-cawapres biasanya mempertimbangkan
aspek kewilayahan, kombinasi Jawa-Non Jawa.[6]
Dalam
hal koalisi pencalonan presiden di pilpres 2019, PKS bermanuver akan berkoalisi
dengan Gerindra dan ingin menyodorkan kadernya menjadi cawapres Ketua Umum Gerindra
Prabowo Subianto. PKS dan Gerindra yang dalam periode pemerintah Joko Widodo
menjadi parpol oposisi pemerintah memang dikenal “mesra”. Kuatnya permintaan
PKS pada Gerindra untuk menjadi cawapres Prabowo bukan tanpa alasan karena
dibeberapa daerah yang menggelar Pilkada 2018, PKS berkoalisi dengan Gerindra
dalam mengusung calon kepala daerah seperti: Pilkada Jawa Barat, Sumatra Utara,
Kalimantan Timur, Maluku Utara dan Jawa Tengah.[7] Dengan adanya koalisi di
Pilkada, PKS dan Gerindra merasa koalisi ini bisa “permanen” hingga Pilpres
2019.
Koalisi
yang terbilang solid PKS dengan Gerindra selama ini menjadi pintu masuk PKS
untuk menyodorkan kadernya. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera bahkan bermanuver
jika Gerindra (Prabowo) tidak mengambil kader PKS sebagai cawapres, maka PKS bisa
berubah dukungan dan menjalin koalisi dengan parpol lain. Berdasarkan hasil
survei, Prabowo lebih diunggulkan jika berpasangan dengan Anis Baswedan. Pasangan
ini oleh beberapa kader PKS ditolak. PKS lebih setuju jika yang diajukan
mendampingi Prabowo adalah kader PKS sendiri.[8] Jika PKS mendukung Prabowo
tanpa berpasangan dengan kader PKS, hal ini dapat menimbulkan konflik internal
karena kecemburuan kader dan non kader. Betapapun, PKS adalah partai kader yang
sangat ketat melakukan pembinaan kader, sehingga sangat menghormati proses
pengkaderan dan kader-kader potensialnya.
Dalam
masa penjajakan koalisi PKS dengan Gerindra, tokoh PKS Nasir Djamil menyebut
bahwa partainya ragu berkoalisi dengan Prabowo karena Prabowo belum memastikan
untuk maju. Bahkan menurut Nasir, kemampuan finansial (keuangan) Prabowo semakin
kurang dan tak memungkinkan dirinya untuk maju. Nasir juga membeberkan bahwa di
internal PKS juga muncul dukungan terhadap Gatot Nurmantyo untuk dipasangkan
dengan kader PKS.[9]
Dukungan
PKS terhadap Jokowi juga sempat beredar. Hal ini ditengarai pertemuan yang
dilakukan elit PKS dengan Jokowi dan parpol pendukungnya. Namun, politisi PKS
Al Muzzammil Yusuf menolak keras jika PKS akhirnya harus berkoalisi dengan
Jokowi. Muzzammil mengakui bahwa tawaran itu disampaikan ketika elit PKS bertemu
Jokowi. Bagi Muzzammil, penolakan dukungan kepada Jokowi adalah karena
keinginan memunculkan capres alternatif.[10]
Perbedaan
dukungan capres dapat menyulut konflik internal dan berpotensi akan terus
berjalan hingga Pilpres pada 17 April 2019 nanti. Sangat memungkinkan bahwa
kebijakan dukungan pencapresan DPP PKS tidak akan dipatuhi oleh kader-kader PKS
karena pengaruh elit PKS yang terbelah. Hal ini akan menjadi kisah terulang
pada tahun 2004 lalu. Saat itu, PKS terbelah dalam dukungan pencapresan,
sebagian mendukung capres Amin Rais, dan yang lain mendukung capres Wiranto.
Saat itu bahkan muncul kabar bahwa dukungan pencapresan PKS diwarnai dengan
money politics. Hal ini seperti diakui Yusuf Supendi dalam bukunya “Replik Pengadilan: Yusuf Supendi Menggugat
Elit PKS”.
Seharusnya
PKS mengantisipasi terjadinya konflik akibat pemunculan capres internal PKS.
Dalam beberapa kasus, hal serupa sering terjadi seperti misalnya di Partai
Golkar. Pada Pemilu 2004 Golkar mencalonkan Wiranto dan 2009 Golkar memuculkan
capres Yusuf Kalla, tapi di internal Golkar terjadi konflik dan mengakibatkan
dukungan ke Wiranto dan Jusuf Kalla terpecah. Keduanya akhirnya tidak terpilih
di Pilpres.
Konflik
intra-party pada hakikatnya sangat
sulit dihindari. Bagi Thomas Mayer, konflik adalah dinamika yang selalu ada
dalam kehidupan, termasuk kehidupan parpol.[11] Meski demikian, konflik
harus dikelola dengan baik agar tidak merugikan organisasi (parpol). Dan jalan
utama penyelesaian adalah dengan musyawarah. Oleh sebab itu, tak ada pilihan
lain bagi PKS selain “syura bainahum” untuk menyelesaikan masalah. Konflik
internal PKS yang dihembuskan di media hanya akan berakibat buruk pada PKS di
Pemilu. Dan, PKS harus kembali pada spirit bagaimana sebuah partai didirikan,
yaitu: kesepakatan dan musyawarah.
*) Tulisan ini adalah pengembangan artikel penulis sebelumnya yang telah dimuat di detik.com dengan judul "Pencapresan dan Konflik Internal PKS", dapat diakses: https://news.detik.com/kolom/d-3975631/pencapresan-dan-konflik-internal-pks?_ga=2.217816660.339915259.1524802207-1080089799.1523950082.
[1] Lili Romli, “Koalisi dan Konflik
Internal Partai Politik pada Era Reformasi”, dalam Jurnal Politica, Vol. 8, No. 2, November 2017, 97.
[2] “PKS Tetapkan Sembilan Nama Calon
Presiden untuk Pemilu 2019”, https://nasional.kompas.com/read/2018/01/15/14500971/pks-tetapkan-sembilan-nama-calon-presiden-untuk-pemilu-2019,
diakses pada 27/4/2018, 10.55 wib
[3] Wawancara pribadi dengan Fahri
Hamzah, Kafe Insomniak Tangerang Selatan, 4 April 2018
[4] “Loyalis Anis Guncang PKS, Nasir
Djamil: Seharusnya Semua Konsolidasi”, https://news.detik.com/berita/d-3957078/loyalis-anis-guncang-pks-nasir-djamil-seharusnya-semua-konsolidasi,
diakses pada 27/4/2018, 11.14 wib.
[5] “Diboikot Elite PKS, Anis Matta
Tetap Deklarasi Capres”, dalam Rakyat
Merdeka, 23 April 2018, 3. Lihat pula dalam: “PKS Persoalkan Deklarasi Anis
Matta”, dalam Koran Tempo, 23 April
2018, 6.
[6] “Qodari: Anis Matta Lebih Menarik
Dibanding Tokoh PKS Lainnya”, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/04/25/p7pi8l330-qodari-anis-matta-lebih-menarik-dibanding-tokoh-pks-lainnya,
diakses pada 27/4/2018, 12.55 wib
[7] “PKS, Gerindra, dan PAN Sepakat
Koalisi Pilkada 5 Provinsi, Termasuk Jabar dan Jateng”, https://nasional.kompas.com/read/2017/12/24/22545851/pks-gerindra-dan-pan-sepakat-koalisi-pilkada-5-provinsi-termasuk-jabar-dan,
diakses pada 27/4/2018, 11.31 wib.
[8] “Akankah Koalisi PKS-Gerindra Bubar
Gara-Gara Sembilan Nama?”, https://www.merdeka.com/politik/akankah-koalisi-pks-gerindra-bubar-gara-gara-sembilan-nama.html,
[9] “Ketika Elite PKS Ragukan Prabowo
dan Dukung Gatot”, https://news.detik.com/berita/d-3974662/ketika-elite-pks-ragukan-prabowo-dan-dukung-gatot/komentar,
diakses pada 27/4/2018, 12.46 wib.
[10] “PKS Tolak Tawaran Jokowi untuk
Bergabung Koalisi Pendukung Pemerintah”, https://nasional.kompas.com/read/2018/04/26/15002281/pks-tolak-tawaran-jokowi-untuk-bergabung-koalisi-pendukung-pemerintah.,
diakses pada 27/4/2018, 13.19 wib
[11] Thomas Mayer, Kompromi, Jalur Ideal Menuju Demokrasi, (Frederich Ebert Stiftung
Kantor Perwakilan Indonesia, 2017), 29