Kamis, 01 Maret 2018

Politik Uang Penyelenggara Pemilu


Oleh: Ali Thaufan DS (Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) seorang anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Garut atas dugaan suap menunjukan buruknya integritas penyelenggara Pemilu. KPU RI dan Bawaslu RI serta Polri diharapkan untuk mengungkap kasus ini secara terang. Bahkan, jika perlu melakukan operasi serupa di daerah lain yang terbuka kemungkinan melakukan praktik-praktik “politik uang” tersebut.

Praktik suap yang terjadi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Garut bermula dari upaya salah satu pasangan calon agar dapat lolos dan ditetapkan sebagai paslon Pilkada. Untuk kepentingan itu, paslon menyuap penyelenggara Pemilu dengan uang dan mobil. Praktik kotor Pilkada ini tercium oleh Satgas Anti Politik Uang yang dibentuk Polri. Oknum KPU dan Panwaslu itu akhirnya diberhentikan sementara (Koran Jakarta 26/2/2018). Tentu saja, kasus suap tersebut semakin memperburuk reputasi penyelenggara Pemilu dan kualitas Pilkada 2018.

Praktik “politik uang” dalam proses pencalonan seperti tersebut di atas disinyalir beberapa pengamat kerap terjadi dalam Pilkada dan Pemilu. Hasil riset beberapa lembaga yang menaruh minat kepemiluan menunjukkan bahwa “politik uang” tidak hanya diberikan paslon kepada pemilih, tetapi juga paslon kepada penyelenggara Pemilu. Sementara itu, Ramlan Surbakti (2005) menilai “politik uang” terjadi karena paslon membutuhkan kendaraan politik (parpol) dalam pencalonan sehingga “politik uang” dapat diberikan paslon kepada parpol pengusung.

Regulasi kepemiluan sejatinya telah mengatur ketentuan larangan “politik uang” itu. Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada pasal 73 ayat (1) misalnya, diatur ketentuan larangan bagi paslon atau tim kampanye memberikan uang atau materi untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu) maupun pemilih. Jika paslon atau timnya tertangkap memberikan uang atau materi lainnya, maka KPU berdasarkan putusan Bawaslu, dapat membatalkan pencalonannya.

Selain pembatalan sebagai calon peserta Pilkada, paslon yang melakukan praktik “politik uang”, dan terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap melakukan pelanggaran yang dimaksud, maka yang bersangkutan dikenai hukuman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal ini memberi sanksi berat pelaku politik uang, yakni sanksi pembatalan dan pidana sekaligus.

Pengaturan tentang penyelenggara Pemilu diatur dalam UU No. 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada pasal yang menjelaskan tentang pemberhentian KPU dan Bawaslu (lihat pasal 37 dan 135), disebutkan bahwa pemberhentian dapat dilakukan apabila anggota KPU-Bawaslu melanggar sumpah jabatan dan kode etik penyelenggara Pemilu. Kasus suap terhadap penyelenggara Pemilu adalah bentuk nyata pelanggaran Pemilu.

Jika dicermati pengaturan dalam UU Pilkada dan Pemilu, semangat UU tersebut adalah menolak politik uang baik terhadap penyelenggara dan pemilih. Namun demikian, pengaturan itu ternyata menyisahkan celah bagi penyelenggara Pemilu untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Di UU Pilkada misalnya, belum diatur secara rinci terkait sanksi terhadap politik uang yang dilakukan paslon terhadap penyelenggara Pemilu.

Pelanggaran penyelenggara Pemilu bukan kali ini saja terjadi. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mencatat banyaknya aduan yang disampaikan oleh peserta Pemilu atas dugaan pelanggaran penyelenggara Pemilu. Pada proses tahapan hingga pelaksanaan Pilkada 2015 misalnya, DKPP menerima pengaduan dugaan pelanggaran sebanyak 247 aduan (Outlook DKPP, 2016: 126). Sedangkan pada Pilkada 2017 lalu, DKPP menerima sebanyak 167 pengaduan.

Modus pelanggaran penyelenggara Pemilu memang dilakukan dalam beragam bentuk. DKPP membagi jenis pelanggaran yang lazim dilakukan penyelenggara Pemilu, yaitu: mengubah sertifikat hasil penghitungan suara, menambah suara paslon tertentu, politik uang (suap) dan lain-lain. Kasus di Garut (yaitu politik uang) adalah satu diantara sekian modus pelanggaran yang dilakukan oknum penyelenggara Pemilu. Pelanggaran hukum tersebut dapat dipastikan sebagai pelanggaran kode etik pula.

Kasus OTT terhadap oknum penyelenggara Pemilu di Garut ini secara langsung dapat meruntuhkan kredibilitas dan wibawa penyelenggara Pemilu. Kejadian itu semakin menunjukkan bahwa sistem politik kita masih sangat transaksional, dan uang masih menjadi penentu keputusan. Jika tak segera dibenahi, hajatan demokrasi (seperti Pilkada dan Pemilu) akan kehilangan legitimasi masyarakat.

Dari sisi kelembagaan pengawas Pemilu, kasus ini sungguh mencederai Bawaslu. Pasalnya, baik UU Pilkada dan Pemilu telah berupaya memperkuat kelembagaan Bawaslu sebagai pengawas Pemilu. Bahkan, Kelembagaan Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota telah dipermanenkan (pasal 128 UU Pemilu). Selain itu, dibeberapa daerah tertentu, UU Pemilu mengatur bahwa jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Kabupten/Kota juga ditambah (lihat dalam lampiran UU Pemilu). Penambahan ini diperuntukkan memperkuat kewenangan Bawaslu, bukan untuk “memangsa” paslon menjadi objek sumber uang haram dalam proses pencalonan.

Tidak ada pilihan lain, KPU RI dan Bawaslu RI harus segera berbenah. Proses rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu di daerah menjadi titik perbaikan kualitas personil mereka. Penerimaan anggota KPU dan Bawaslu tidak boleh mengabaikan aspek etika dan moral. Publik tidak menginginkan kasus seperti di Garut terjadi lagi di kemudian hari.

Tantangan

Memberantas “politik uang” merupakan tantangan berat bagi penyelenggara Pemilu karena “politik uang” dalam persepsi publik dianggap sebagai sebuah rezeki. Hal ini sebagaimana terungkap dari hasil penelitian Dian Permata (2016: 19) di Jakarta dan Mojokerto, bahwa pemberian berupa “politik uang” dianggap rezeki yang tidak boleh ditolak penerima.

Pilihan untuk meredam masifnya “politik uang” adalah melalui pendidikan politik yang menjadi kewajiban parpol. Sayangnya, parpol yang berkewajiban melakukan pendidikan politik sering diidentikan sebagai lembaga yang korup sehingga ketika memberikan pendidikan politik dianggap sebagai “anomali”. Oleh sebab itu, setiap dari kita adalah bertanggung jawab untuk memberantas “politik uang” itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar