Oleh: Ali Thaufan DS (Peneliti Parameter Politik
Indonesia)
Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) seorang anggota
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Garut atas dugaan suap menunjukan buruknya
integritas penyelenggara Pemilu. KPU RI dan
Bawaslu RI serta Polri diharapkan untuk mengungkap kasus ini secara terang.
Bahkan, jika perlu melakukan operasi serupa di daerah lain yang terbuka
kemungkinan melakukan praktik-praktik “politik uang” tersebut.
Praktik suap yang terjadi di Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) Kabupaten Garut bermula dari upaya salah satu pasangan calon agar
dapat lolos dan ditetapkan sebagai paslon Pilkada. Untuk kepentingan itu,
paslon menyuap penyelenggara Pemilu dengan uang dan mobil. Praktik kotor Pilkada ini
tercium oleh Satgas Anti Politik Uang yang dibentuk Polri. Oknum KPU dan
Panwaslu itu akhirnya diberhentikan sementara (Koran Jakarta 26/2/2018). Tentu saja, kasus suap tersebut semakin memperburuk reputasi penyelenggara
Pemilu dan kualitas Pilkada 2018.
Praktik “politik uang” dalam
proses pencalonan seperti tersebut di atas disinyalir beberapa pengamat kerap
terjadi dalam Pilkada dan Pemilu. Hasil riset beberapa lembaga yang menaruh
minat kepemiluan menunjukkan bahwa “politik uang” tidak hanya diberikan paslon
kepada pemilih, tetapi juga paslon kepada penyelenggara Pemilu. Sementara itu,
Ramlan Surbakti (2005) menilai “politik uang” terjadi karena paslon membutuhkan
kendaraan politik (parpol) dalam pencalonan sehingga “politik uang” dapat
diberikan paslon kepada parpol pengusung.
Regulasi kepemiluan sejatinya telah mengatur ketentuan
larangan “politik uang” itu. Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada pasal 73 ayat (1) misalnya, diatur ketentuan larangan bagi paslon atau tim
kampanye memberikan uang atau materi untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu) maupun
pemilih. Jika paslon atau timnya tertangkap memberikan uang atau materi
lainnya, maka KPU berdasarkan putusan Bawaslu, dapat membatalkan pencalonannya.
Selain pembatalan sebagai calon peserta Pilkada, paslon yang melakukan praktik “politik uang”, dan terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap melakukan pelanggaran yang dimaksud, maka yang
bersangkutan dikenai hukuman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini memberi sanksi berat pelaku politik uang, yakni sanksi pembatalan dan
pidana sekaligus.
Pengaturan tentang penyelenggara Pemilu diatur dalam
UU No. 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada pasal yang menjelaskan
tentang pemberhentian KPU dan Bawaslu (lihat pasal 37 dan 135), disebutkan
bahwa pemberhentian dapat dilakukan apabila anggota KPU-Bawaslu melanggar
sumpah jabatan dan kode etik penyelenggara Pemilu. Kasus
suap terhadap penyelenggara Pemilu adalah bentuk nyata
pelanggaran Pemilu.
Jika dicermati pengaturan dalam UU Pilkada dan Pemilu,
semangat UU tersebut adalah menolak “politik uang” baik terhadap penyelenggara dan pemilih. Namun
demikian, pengaturan itu ternyata menyisahkan celah bagi
penyelenggara Pemilu untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Di UU Pilkada
misalnya, belum diatur secara rinci terkait sanksi terhadap “politik uang” yang
dilakukan paslon
terhadap penyelenggara Pemilu.
Pelanggaran penyelenggara Pemilu bukan kali ini saja
terjadi. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mencatat banyaknya aduan
yang disampaikan oleh peserta Pemilu atas dugaan pelanggaran penyelenggara
Pemilu. Pada
proses tahapan hingga pelaksanaan Pilkada
2015 misalnya, DKPP menerima pengaduan dugaan pelanggaran sebanyak 247 aduan
(Outlook DKPP, 2016: 126). Sedangkan pada Pilkada
2017 lalu, DKPP menerima sebanyak 167 pengaduan.
Modus pelanggaran penyelenggara Pemilu memang
dilakukan dalam
beragam bentuk. DKPP membagi jenis
pelanggaran yang lazim dilakukan penyelenggara Pemilu, yaitu: mengubah
sertifikat hasil penghitungan suara, menambah suara paslon tertentu, politik
uang (suap) dan lain-lain. Kasus di Garut (yaitu politik uang)
adalah satu diantara sekian modus pelanggaran yang dilakukan oknum
penyelenggara Pemilu. Pelanggaran hukum tersebut dapat dipastikan sebagai
pelanggaran kode etik pula.
Kasus OTT terhadap oknum
penyelenggara Pemilu di Garut ini secara langsung dapat meruntuhkan
kredibilitas dan wibawa penyelenggara Pemilu. Kejadian itu semakin menunjukkan
bahwa sistem politik kita masih sangat transaksional, dan uang masih menjadi
penentu keputusan. Jika tak segera dibenahi, hajatan demokrasi (seperti Pilkada
dan Pemilu) akan kehilangan legitimasi masyarakat.
Dari sisi kelembagaan pengawas
Pemilu, kasus ini sungguh mencederai Bawaslu. Pasalnya, baik UU Pilkada dan
Pemilu telah berupaya memperkuat kelembagaan Bawaslu sebagai pengawas Pemilu.
Bahkan, Kelembagaan Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota telah dipermanenkan
(pasal 128 UU Pemilu). Selain itu, dibeberapa daerah tertentu, UU Pemilu
mengatur bahwa jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Kabupten/Kota juga ditambah
(lihat dalam lampiran UU Pemilu). Penambahan ini diperuntukkan memperkuat
kewenangan Bawaslu, bukan untuk “memangsa” paslon menjadi objek sumber uang
haram dalam proses pencalonan.
Tidak ada pilihan lain, KPU RI dan
Bawaslu RI harus segera berbenah. Proses rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu di
daerah menjadi titik perbaikan kualitas personil mereka. Penerimaan anggota KPU
dan Bawaslu tidak boleh mengabaikan aspek etika dan moral. Publik tidak
menginginkan kasus seperti di Garut terjadi lagi di kemudian hari.
Tantangan
Memberantas “politik uang”
merupakan tantangan berat bagi penyelenggara Pemilu karena “politik uang” dalam
persepsi publik dianggap sebagai sebuah rezeki. Hal ini sebagaimana terungkap
dari hasil penelitian Dian Permata (2016: 19) di Jakarta dan Mojokerto, bahwa
pemberian berupa “politik uang” dianggap rezeki yang tidak boleh ditolak
penerima.
Pilihan untuk meredam masifnya
“politik uang” adalah melalui pendidikan politik yang menjadi kewajiban parpol.
Sayangnya, parpol yang berkewajiban melakukan pendidikan politik sering
diidentikan sebagai lembaga yang korup sehingga ketika memberikan pendidikan
politik dianggap sebagai “anomali”. Oleh sebab itu, setiap dari kita adalah
bertanggung jawab untuk memberantas “politik uang” itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar