Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra
(Peneliti Parameter Politik Indonesia)
Partai Bulan Bintang (PBB),
sempat dinyatakan tidak lolos sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum
2019. Pasalnya, ketika dilakukan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU), PBB dianggap tidak memenuhi syarat kepengurusan pada Kabupaten Manokwari
Papua. Atas dasar itu, KPU lalu tidak meloloskan partai yang diketua pakar
hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra tersebut.
Tak terima dengan putusan KPU,
PBB mengajukan sidang banding di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Walhasil, PBB
dimenangkan dan Bawaslu meminta agar KPU menjalankan putusan Bawaslu. Jika KPU
tak terima juga dengan putusan Bawaslu, KPU punya tenggat waktu tiga hari untuk
melakukan gugatan di Pengadilan Negeri (PN). Hal ini seperti diatur dalam
Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebagai sebuah partai, PBB
didirikan pada 17 Juli 1998 sebagai bagian dari suka cita reformasi 1998 dan
memilih berasas Islam. Saat itu, bersama partai Islam lainnya, PBB lahir dalam
pentas baru demokrasi Indonesia. Dari hasil penelitian penulis, pada 1999
terdapat 148 partai politik yang muncul, dan 14 parpol menegaskan berasas
Islam. PBB kemudian diasosiasikan sebagai partai penerus Masyumi, meski saat
itu muncul juga partai Masyumi dan Masyumi Baru.
Sebagai partai baru, PBB
mengidentikan diri sebagai partai Islam modern. Menurut PBB, ajaran Islam
adalah ajaran yang universal dan mencakup kehidupan seluruh umat manusia. Oleh
sebab itu, PBB memantapkan Islam sebagai asas. Sebagai partai berasas Islam,
PBB ingin menjadikan diri mereka sebagai penyalur aspirasi umat Islam. Hal ini
misalnya tercermin dari wacana menghidupkan “Piagam Jakarta” pada awal-awal
reformasi. Dalam kesempatan Sidang Istimewa MPR, PBB bersama dengan PPP mencoba
meyakinkan anggota DPR/MPR lainnya untuk menghidupkan Piagam Jakarta. Namun,
ide ini menurut Lili Romli (2004: 37) tak mendapat respon dari fraksi-fraksi
lain di DPR. Bahkan PBB hanya dianggap pencitraan semata.
Sejak berdirinya, PBB telah
mengalami beberapa kali Pemilu: 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dari hasil Pemilu,
perolehan suara PBB tidak mampu bersaing dengan partai Islam lainnya seperti
Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada Pemilu
1999, PBB meraih suara sebanyak 2.05.039 suara (2,81%) dan mendapat perolehan
13 kursi di DPR. Selanjutnya pada Pemilu 2004, PBB meraih sebanyak 2.970.487
suara (2,62%) dan mendapat perolehan 11 kursi di DPR. Kemudian pada Pemilu
2009, PBB meraih sebanyak 1.864.752 suara (1,8%). Selanjutnya pada Pemilu 2014,
PBB meraih sebanyak 1.825.750 suara (1,4%). Pada Pemilu 2009 dan 2014, PBB tak
mampu menempatkan calegnya sebagai anggota DPR karena perolehan suara PBB tak
sampai ambang batas parlemen (parliamentary
threshold).
Dilihat dari aspek kelembagaan
partai, PBB tampaknya menjadi partai yang “gagal” melakukan kaderisasi. PBB
terkesan dipimpin oleh orang “itu-itu” saja. Pada kepengurusan periode
2000-2005, ketua umum dijabat Yusril, dan Sekjen dijabat MS. Kaban. Pada
kepengurusan periode 2005-2010, ketua umum dijabat MS. Kaban dan Yusril sendiri
menjabat ketua majelis syura. Pada periode 2010-2015, ketua umum juga dijabat
MS. Kaban dan Yusril tetap menjabat ketua majelis syura. Sedangkan pada
2014-2019, ketua umum kembali dijabat Yusril dan giliran MS. Kaban berganti
menjabat ketua majelis syura (Litbang Kompas 2014). Elit PBB terkesan
didominasi oleh orang tersentu saja: antara Yusril dengan MS. Kaban.
Peta Pemilih Muslim
Jika PBB menjadi peserta Pemilu
2019, maka dapat dipastikan peta suara pemilih muslim akan semakin
terfregmentasi. Pasalnya, pemilih muslim akan dibuat galau dengan banyaknya
partai Islam lainnya: PKB, PAN, PKS dan PPP. Jika merujuk pada Pemilu 2004, terjadi
“saling bunuh” antarpartai Islam sendiri untuk meraih suara Pemilu
sebanyak-banyaknya.
Dalam kondisi pemilih yang
dihadapkan kegalauan terhadap partai Islam, partai-partai nasionalis seperti
PDI-Perjuangan, Golkar dan Demokrat rajin merekrut pemilih muslim dan
merawatnya. Berbagai kegiatan keagamaan (Islam) dilakukan partai-partai
tersebut guna meraih suara pemilih muslim. Strategi partai nasionalis ternyata
berhasil dalam beberapa kali pengalaman Pemilu. Para pemilih tidak lagi melihat
latar belakang asas partai (Islam), tetapi lebih mempertimbangkan aspek program
yang diusung partai sebagai landasan memilih.
Menjelang Pemilu 2019 nanti,
lembaga survei Poltracking merilis hasil survei periode November 2017. Sebanyak
14 parpol yang diperkirakan mengikuti Pemilu, diperkirakan hanya PKB yang masuk
lima besar partai. Hasil survei Poltracking juga menyimpulkan bahwa pemilih
cenderung memilih parpol berdasarkan kinerja dan visi-misi parpol (dengan
persentase 28,6%). Sementara itu, pemilih yang memilih atas dasar agama hanya
sebanyak 10,6%. Tak hanya Poltracking, lembaga survei Polmark juga melakukan
hal yang sama. Pada survei yang dilakukan pada September 2017 juga menunjukkan
adanya penurunan elektabilitas parpol Islam.
Kondisi ini menjadi tantangan
PBB jika benar-benar lolos dari sengketa parpol yang sedang berlangsung saat
ini. PBB harus menyiapkan tawaran menarik untuk meraih dukungan pemilih.
Strategi menarik pemilih dengan menjual asas Islam saja rasanya tidak cukup
karena partai lain seperti PKS dan PPP juga melakukan hal yang sama.
Tantangan
Tantangan PBB sejatinya bukan
saja lolos menjadi peserta Pemilu, tetapi perjuangan elektoral merebut kursi di
DPR atau lolos parliamentary threshold.
Untuk meraihnya bukan soal mudah. PBB harus bertarung dengan 14 partai lain
yang telah dinyatakaan lolos. Mereka telah melakukan konsolidasi lebih awal
sejak ditetapkan sebagai parpol peserta.
Sebagai partai Islam, PBB
menghadapi problematika laiknya parpol Islam lainnya. Partai Islam saat ini
kerap dihadapkan pada konflik internal yang selalu muncul, seperti dalam kasus
PPP dan PKS. Partai Islam juga mendapat tantangan minimnya figur yang “menjual”
secara politik sehingga mampu menjadi mendongkrak suara. Oleh sebab itu, PBB
paling tidak harus mampu merekrut tokoh nasional dan ulama untuk membantu
meningkatkan elektabilitasnya.