Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni
Pascasarjana UIN Jakarta)
Setelah Partai Golkar dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang terjebak konflik internal, kini Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura) yang disibukkan konflik intra-party.
Di tubuh Hanura, muncul dualisme kepengurusan, pertama, kubu Ambara yang
dimotori Sarifuddin Suding yang menggelar Musyarawah Nasional Luar Biasa
(Munaslub) resmi memilih Daryatmo menggantikan Osman Sapta Odang. Kedua, kubu
Osman sendiri yang tetap mengklaim sebagai Hanura yang sah.
Konflik internal parpol telah mewarnai
narasi sejarah politik di Indonesia. Pascareformasi tercatat banyak sekali
parpol yang tak mampu mengelola konflik internal sehingga berujung pada
perpecahan dan kubu yang tak puas berbondong keluar parpol dan mendirikan
parpol baru. Contoh ini bisa dilihat misalnya dalam kasus Partai Golkar yang sesaat
pascareformasi 1998 diwarnai konflik dan perpecahan sehingga lahir bermacam-macam
partai termasuk Partai MKGR, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Hanura. Hal yang
sama juga bisa dilihat dibeberapa parpol berasas Islam, misalnya PPP yang
karena terjadi konflik internal dan perpecahan kemudian melahirkan Partai
Bintang Reformasi (PBR).
Pola konflik intra-party umumnya terjadi kesamaan antara satu parpol dengan
parpol yang lain. Hofmeister dan Grabow dalam Political Parties: Functions and Organisation in Democratic Societies
(2011: 51) misalnya menyebut konflik politik terjadi akibat adanya beberapa pihak
di dalam parpol yang berebut kekuasaan dan pengaruh. Sementara itu, Moshe Maor (1998:
144) berpendapat bahwa konflik internal parpol diakibatkan perbedaan pandangan
anggota (terutama elit) parpol dalam menentukan koalisi (terutama di parlemen)
juga dalam momentum politik seperti Pilkada dan Pemilu.
Fenomena konflik internal yang cukup
banyak terjadi dibeberapa parpol di Indonesia menunjukkan lemahnya pelembagaan
parpol sebagai institusi politik. Budi Winaryo (2008: 119) menyayangkan konflik
tersebut tidak dikelola dengan baik di dalam parpol sehingga pada akhirnya
memecah elit dan pada akhirnya berujung perpecahaan dan terbentuk parpol baru
sebagai pecahan parpol yang berkonflik.
Konflik yang terjadi di dalam sebuah
parpol bisa juga disebabkan lemahnya penanaman ideologis yang dilakukan elit
parpol terhadap kader. Ideologis sebetulnya memiliki peran penting dalam
memersatukan ide-ide kader dan menghindari konflik. Kesuksesan penanaman
ideologis akan menimbulkan soliditas antarkader sehingga memiliki rasa
kepemilikan yang kuat terhadap parpol.
Api konflik yang terjadi di Hanura
sebetulnya sangat merugikan partai tersebut. Pasalnya, momentum politik telah
diambang pintu: Pilkada serentak 2018 dan Pemilu serentak 2019. Ketika semua
parpol bersibuk melakukan konsolidasi pemenangan Pilkada dan Pemilu, Hanura
justru terjebak pada urusan konflik internal. Hanura bisa kehilangan momentum
Pemilu 2019 jika tidak segera berbenah pasalnya tahapan Pemilu 2019 terus
berjalan (termasuk yang paling berat bagi partai adalah verifikasi faktual). Konflik
internal yang terjadi juga berpotensi pada menurunnya elektabilitas partai di
Pemilu. Inilah yang seharusnya diwaspadai Hanura.
Konflik internal Hanura sebaikanya
diselesaikan di meja runding partai. Konflik yang dibawa ke Meja Hijau hanya
akan membuat larut penyelesaian. Kasus konflik Golkar dan PPP pada 2014 adalah
contoh betapa berlarutnya penyelesaian konflik ketika diselesaikan di
pengadilan. Hanura harus kembali pada spirit
dan asas parpol: parpol dibentuk atas dasar kesepakatan dan musyawarah anggota.
Oleh sebab itu, pola penyelesaian yang paling ampuh adalah musyawarah petinggi (elit)
parpol. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Thomas Mayer, bahwa konflik
internal parpol memang mustahil dihindari. Tetapi cara penyelesaiannya
sebaiknya dilakukan dengan konsensus dan kompromi.