Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pasca Sarjana UIN
Jakarta)
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
serentak 2017 banyak hal yang menjadi sorotan pemerhati Pemilihan Umum (Pemilu)
seperti media sosial yang dijadikan alat kampanye calon, sumber pendanaan
kampanye, kesiapan penyelenggara Pilkada, dan potensi pemilih pemula untuk
mendulang suara para kandidat.
Di dalam Undang-undang No. 8 tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum DPRD, DPR, DPD mendefinisikan Pemilih sebagai “Warga negara
Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah
kawin.” Definisi ini memang pernah dipersoalkan karena menambahkan frasa “atau
sudah/pernah kawin”. Dari difinisi di atas ini, dapat dipahami bahwa pemilih
pemula adalah seseorang yang pada saat pemilihan baik Pileg, Pilpres maupun
Pilkada telah berusia 17 tahun atau lebih. Definisi pemilih pemula juga
dijelaskan oleh Hariyanto sebagai “Pemilih yang baru pertama kali ikut memilih
dalam pemilihan umum (Pemilu), mereka baru pertama kali mengikuti Pemilu DPRD,
DPR, DPD, dan Presiden.”
Dalam setiap gelaran Pemilu, pemilih pemula
berjumlah cukup besar. Pemilih pemula menjadi bidikan partai politik karena
selain dianggap mampu mendulang suara juga menjadi mesin kampanye parpol. Dari
data yang penulis dapatkan dari berbagai sumber, jumlah pemilih pemula terus
meningkat. Pemilu 2004, pemilih pemula diperkirakan berjumlah 27 juta orang; Pemilu
2009, pemilih pemula diperkirakan berjumlah 36 juta orang; dan Pemilu 2014, jumlah pemilih pemula diperkirakan
37,2 juta orang.
Realitas politik yang terkadang menjenuhkan
dan perilaku politisi yang bertindak di luar norma membuat kebanyakan orang
menjadi “benci” terhadap politik. Hal ini turut memengaruhi para pemilih
pemula. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi apatis terhadap Pemilu dan
Pilkada. Secara umum, pemilih pemula digambarkan sebagai pemilih yang belum
banyak memiliki pengetahuan tentang politik; cenderung didominasi oleh
komunitas tertentu; memilih calon hanya melihat aspek popularitas; bahkan
datang ke tempat pemungutan suara (TPS) hanya untuk “menggugurkan” kewajiban
memilih.
Gambaran dan anggapan miring yang ditujukan
kepada pemilih pemula seharusnya menjadi kritik bagi parpol dan politisi.
Tentang minimnya pengetahuan politik pemilih pemula, parpol punya peran besar
untuk melakukan pendidikan politik. Dalam UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai
Politik, pasal 34 yang menerangkan tentang dana bantuan untuk parpol
mengamanatkan bahwa bantuan dana tersebut diutamakan untuk pendidikan politik.
Pendidikan politik yang dimaksud adalah bagi kader parpol dan masyarakat luas.
Pada titik ini, pendidikan secara khusus dilakukan kepada pemilih pemula.
Pemilih pemula menjadi sangat penting bagi
parpol karena selain mendongkrak suara, keberadaan mereka di parpol akan
melanjutkan kaderisasi parpol. Kaderisasi parpol menjadi kritik penting di era
politik industri saat ini. Pasalnya, siapapun dapat menjadikan parpol sebagai
kendaraan meraih kekuasaan (jabatan eksekutif-legislatif). Pancalonan dari
parpol kerap menghiraukan keberadaan kader yang secara struktural sudah lama dan
berkualitas di parpol.
Kemajuan teknologi yang cukup pesat dan
kebanyakan penggunanya adalah anak muda patut menjadi perhatian bagi parpol.
Saat ini harus diakui bahwa teknologi telah memberi kemudahan dalam banyak hal,
dan telah dimanfaatkan oleh para caleg, capres dan calon kepada daerah.
Umumnya, operator teknologi ini dikerjakan oleh anak-anak muda, yang mungkin
juga termasuk dalam ketegori pemilih pemula.
Ada beragam tantangan yang saat ini dihadapi
pemilih pemula, dan kemajuan teknologi adalah salah satunya. Sejak bergulirnya
masa kampanye Pilkada serentak 2017 misalnya, berbagai berita bohong menyebar
melalui media sosial. Kebenaran dan kebohongan berita melebur menjadi satu.
Pengguna medsos sulit membedakan kebenaran dan kebohongan berita itu.
Mencermati kemajuan teknologi, pendidikan
terhadap pemilih pemula juga harus diarahkan pada pendidikan nilai dan karakter.
Ini yang perlu ditekankan. Usia muda dengan semangat dan emosi yang
meledak-ledak harus diiringi dengan etika politik dan pendidikan demokrasi era
teknologi. Pemilih pemula juga harus diarahkan pada pentingnya berertika di
media sosial di tengah maraknya penyimpangan yang terjadi di dunia maya itu.
Dengan demikian, para pemula dapat menjadi “agen” etika politik yang mewarnai
Indonesia.
Tentu saja kita berharap agar pemilih pemula
dapat menjadi pemilih-pemilih dengan pilihan yang bijak. Pilihan yang
berdasarkan pertimbangan matang, bukan ikut-ikutan.