Oleh: Ali Thaufan
DS
Menjelang
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, terdapat isu menarik yang
menyita perhatian banyak pengamat, terutama politik. Isu tersebut bernama
deparpolisasi. Singkatnya, deparpolisasi adalah gerakan menafikan peran partai
politik dalam pemilihan umum, dalam konteks ini Pilgub.
Parpol tidak bisa
mengelak atas beberapa realita yang terjadi dalam beberapa tahun ke belakangan.
Realita tersebut antara lain adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap
parpol. Perilaku elit parpol yang jauh dari harapan publik, dinilai memberi
sumbangan besar terhadap menurunnya kepercayaan terhadap parpol.
Kasus sengketa
kepengurusan parpol –seperti yang terjadi pada Partai Golkar dan PPP- membuat
masyarakat “jengah”. Kegaduhan parpol kerap membuat publik bingung. Parpol yang
seharusnya menjadi penyambung keinginan publik menjelma menjadi sesuatu yang
“dibenci” publik. Kondisi ini sangat jauh dari idealnya sebuah parpol.
Dalam Pilkada
serentak 9 Desember 2015 lalu, beberapa kader parpol harus menempuh jalur
independen untuk mencalonkan diri. Dan, mereka yang mencalonkan diri dari jalur
independen ternyata mendulang kemenangan, sebut saja Neni Moerniaeni (Walikota
Bontang) dan Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara). Kedua pemimpin daerah
ini punya basis massa dan relawan non partai yang kuat sehingga dapat memenangi
Pilkada. Hasil Pilkada ini semakin menguatkan bahwa calon independen –tanpa
jalur partai- punya kans untuk
memenangi setiap pemilihan (baik Gubernur, Bupati dan Walikota).
Dalam konteks
Pilgub Jakarta, kita bisa melihat masifnya gerakan para relawan. Calon gubernur
Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok) memiliki basis relawan yang begitu kuat.
Mereka menamakan dirinya dengan “Teman Ahok”. Sebuah nama komunitas relawan
yang “akrab disapa”. Di beberapa pusat keramaian (pusat perbelanjaan), relawan
ini bekerja mengumpulkan KTP warga Jakarta untuk menjadi syarat pencalonan Ahok
melalui jalur independen. Meski sadar mendapat tantangan dari parpol, mereka tak
gentar, bahkan semakin “pede” untuk mengusung Ahok. Kandidat calon Gubernur
lainnya, Adhiyaksa Dault pun demikian, pendukungnya menggalang dukungan melalui
relawan “Relawan Muda Adhiyaksa” yang disingkat “Ramah”. Sama seperti Teman
Ahok, relawan ini menggalang dukungan begitu masif.
Soliditas relawan
sangat mungkin melebihi soliditas kader partai. Dalam waktu yang relatif
singkat, para relawan baik Teman Ahok dan Ramah, mengklaim telah mengumpulkan
ratusan ribu KTP warga DKI sebagai komitmen dan bentuk dukungan. Penulis
mencermati situs resmi Teman Ahok, progres pengumpulan KTP begitu cepat. Jika
diasumsikan daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilgub Jakarta adalah delapan juta,
maka dengan mengumpulkan 4 juta KTP, berarti “setengah kemenangan” telah
diraih.
Satu hal yang
penulis perhatikan dari fenomena kegigihan para relawan, adalah tamparan bagi
parpol. Keberadaan parpol seakan dinafikan oleh publik. Mereka lebih akrab
dengan komunitas relawan. Sifat parpol yang sangat “oligarkis” dan kurang transparan
–terutama sumber pendanaan- membuat publik enggan bergabung dengan parpol.
Berbeda dengan para relawan yang mengemas kerja mereka secara transparan yang
penuh kreativitas.
Tamparan bagi
parpol ini harus disikapi serius para elit parpol. Parpol adalah alat untuk
mengusung calon, baik pemimpin daerah dan bahkan Presiden. Ia merupakan
instrument penting dalam demokrasi. Tetapi Undang-Undang negara juga mengatur
adanya calon independen, tanpa menggunakan kendaraan partai sebagai bagian dari
demokrasi. Jika parpol tidak mengimprovisasi kreatifitasnya dalam menjaring
massa, masa depan parpol akan tinggal nama dan logo, ditinggal sejarah. Kini,
saatnya bagi parpol untuk mengasah kreatifitas. Kemajuan teknologi (internet)
dapat digunakan untuk melakukan berbagai inovasi kreatif. Patut diingat, yang
kreatif bukan saja karya tangan, tetapi juga cara merebut kekuasaan.