Oleh: Ali Thaufan DS
Tulisan ini hadir dari pembacaan penulis terhadap dinamika
politik-ekonomi yang ramai dibincangkan, terlebih di tahun 2014, tahun Pemilu. Penulis
mengamati perdebatan dua kutub yang berseteru akibat kebijakan pemerintah yang
dinilai penuh kejanggalan dan bersifat parsial. Masyarakat dibuat kebingungan
arah kebijakan politik-ekonomi. Padahal, keduanya saling memiliki keterkaitan
yang saling mendukung satu sama lain. Karenanya, pengambilan kebijakan politik yang
salah, akan berdampak pada kegagalan pembangunan ekonomi.
Saat ini masyarakat merasakan progam kebijakan menyangkut masalah
ekonomi pemerintah SBY-JK dan SBY-Budiono belum cukup berhasil. Progam Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan
Lansung Tunai Sementara (BLSM) dinilai belum maksimal dalam sumbangsih
menyejahterakan rakyat. Selain itu, hasil dari Asia-Pasific Economic
Cooperation (APEC) di Bali 2013 lalu disinyalir akan memperparah ekonomi
dimasa yang akan datang. Perdagangan bebas diperkirakan akan memperparah posisi
Indonesia, karena Indonesia hanya menjadi “pelayan” negara berkepentingan,
Amerika dan Cina.
Menjelang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Presiden 2014, masyarakat disodori dengan berbagai macam progam kebijakan
ekonomi yang akan datang. Terlebih dari calon presiden yang akan bertarung pada
pemilihan presiden. Mereka telah merumuskan langkah strategis yang akan menjadi
pilihan guna meningkatkan kualitas ekonomi; meningkatkan mutu penghasilan
masyarakat; mengelolah SDA-SDM; dan mengentaskan kemiskinan. Baik partai
politik ataupun capres, semuanya mempunyai visi menatap ekonomi mendatang. Sebut
saja: Golkar dengan Negara Kesejahteraan 2045; NasDem dengan Reformasi Ekonomi
Menuju Kemakmuran dan Kesejahteraan; PDI-P dengan Indonesia Hebat “Kedaulatan
Pangan”; Prabowo Subianto dengan Ekonomi Kerakyatan; dan tentu masih banyak
lainnya. Konsep dan rumusan kebijakan tersebut merupakan kepedulian melihat
kenyataan kebijakan ekonomi saat ini yang dirasa hopeless. Semua sah
saja merumuskan kebijakan yang akan datang demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, tugas berat penerapan kebijakan tersebut adalah
benturan dengan gelombang globalisasi, terlebih disektor ekonomi. Seperti diketahui,
Indonesia telah tergabung dalam beberapa kerjasama bilateral dan multilateral
dengan berbagai negara. Sri Hartati mencatat bahwa pada Juli 2011, Indonesia melakukan
kerjasama perdagangan bebas (dalam tulisan Sri Hartati disebut FTA) di berbagai
sektor hingga 19 kesepakatan. Pada saat bersamaan, Indonesia juga telah
mempersiapkan diri menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 serta
ASEAN-China (ACFTA) yang aromanya sudah terendus saat ini. Ini artinya,
Indonesia nyemplung dalam percaturan perdagangan bebas dunia. Jika pruduksi
dalam negeri tidak mampu bersaing, maka bisa dipastikan UKM-UKM akan tergilas
laju liberalisasi perdagangan tersebut.
Dalam menanggapi keikutsertaan Indonesia dalam pasar bebas, ada dua
kutub berseberangan: Pro dan Kontra. Kutub pendukung pasar bebas yang dianggap “neoliberal”
mendukung sepenuhnya dibukanya pasar bebas di Indonesia dengan alasan akan membantu
cadangan devisa. Dengan peluang dan untung yang menjanjikan, pemerintah
mengambil kebijakan FTA. Kutub lainnya yang kerap menamakan diri pengusung “ekonomi
kerakyatan” berdalih bahwa pasar bebas hanya akan menggerogoti aset negara. Negara
akan menjadi korban eksploitasi negara lain –sebut saja Amerika dan Cina- dan
menjadi pasar penjualan.
Merupakan hal wajar jika berbagai kebijakan diatas menuai
pro-kontra. Hal ini akibat dari: sisi pertama, kebijakan dinilai “mlempem”
tanpa hasil dan tidak memberi implikasi signifikan dalam pengembangan ekonomi. Sisi
kedua, pemerintah tetap optimis bahwa FTA dan paket hasil APEC akan
meningkatkan ekonomi Indonesia. Menurut Sri Hartati, perdangan bebas yang
diharapkan mampu mengangkat industri dalam negeri ternyata hanya harapan semu. Alih-alih
membantu mengembangkan, pasar bebas telah membuat tak berdaya industri
regional. Para pengamat ekonomi menyayangkan sikap Indonesia yang terkesan “memaksakan
diri” dengan ketidaksiapan dalam partisipasinya di meja ASEAN.
Penulis mencermati dialektika yang sangat menarik antarkedua kutub
di atas. Meski memiliki kelebihan, keduanya sama-sama memiliki kelemahan. Pertama
kutub “neoliberal”, bahwa sudah menjadi rahasia umum jika kutub tersebut adalah
kendaraan negara adidaya Amerika untuk menguasai peta ekonomi dunia. Sehingga tujuan
sebagai police world tetap terjaga.
Sebaliknya, perlawanan yang ditunjukkan oleh pengusung “ekonomi
kerakyatan” juga masih memiliki celah kelemahan. Saat ini, negara tidak bisa
menghindari takdir globalisasi disetiap sektor. Jika kutub “ekonomi kerakyatan”
memaksa kemandirian –yang terkenal dengan istilah berdikari- itu artinya
Indonesia akan lemah dalam hubungan internasional. Apakah Indonesia telah memiliki
SDM yang memadai? Inilah yang menjadi pertanyaan besar. Hal ini mengingatkan kembali
saat Syafruddin Prawiranegara mengkritik kebijakan Sukarno yang akan menerapkan
apa yang disebut dengan Nasionalisasi Aset. Syafruddin saat itu keberatan
dengan kebijakan Sukarno karena sadar diri bahwa Indonesia dirasa belum mampu
mengelola sektor ekonomi secara mandiri. Karenanya, bantuan asing tetap
dibutuhnya sebagai penyumbang devisa.
Harapan perbaikan ekonomi untuk mengangkat kesejahteraan rakyat ada
dipundak para capres yang sekarang gemar beriklan di televisi. Kemana kebijakan
ekonomi Indonesia pasca pilpres mendatang. Jika tekat bulat adalah “kedaulatan”
dan kemandirian, maka negara harus menyiapkan infrastruktur pembangunan ekonomi
kerakyatan dengan baik. Melakukan kalkulasi secara matang ongkos produksi dan
penjualan. Landasannya sudah termaktub dalam UUD 1945. Pengambil kebijakan
tinggal melaksanakan amanat UUD tersebut. Namun, jika romantisme pasar bebas
yang telah memanjakan masyarakat Indonesia menjadi pilihan, pemerintah harus
menyiapkan diplomat ulung untuk tetap menjaga kekayaan negara.