Prinsip keselamatan dalam berkendaraan adalah saling toleransi antar pengendara. Memberikan kesempatan mendahului jika lajur depan kosong alias tidak ada kendaraan. Adapula, apa yang penulis sebut dengan prinsip “Saling Ngingetno”, yakni jika kendaraan didepan menyalakan lampu sen kanan agar yang dibelakan tidak mendahului karena di depannya ada kendaraan. Singkat kata, hal-hal yang bersifat saling menjaga keselamatan antara pengendara atau pengguna jalan penulis sebut dengan “Prinsip Toleransi Berkendara”. Mungkin tidak semua sepakat jika kata “Toleransi” penulis sandingkan dan gunakan dalam dunia berkendara atau lalu lintas. Karena selama ini kata “Toleransi” identik dengan kerukunan beragama atau mungkin juga bertetangga.
Setuju atau tidak, bahwa prinsip toleransi dalam berkendara agaknya sangat sulit kita dapati di jalan-jalan di Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya (Bekasi, Tangerang Selatan, Bogor). Pengendara motor ugal-ugalan seakan dia yang punya jalan; angutan umum berhenti mendadak tanpa lampu sen; ditambah lagi hembusan-hembusan asap hitam yang melengkapi penderitaan pengguna jalan Ibu Kota dan sekitarnya. Pemandangan seperti ini merupakan sebuah masalah. Pada titik ini, wajar jika orang yang merasa sudah kaya, berani kredit alias ngutang untuk beli mobil baru agar sedikit terhindar dari petaka angkutan umum “jahanam” yang ngawur tersebut.
Selain masalah diatas, ada hal yang penulis betul-betul ingat saat mengendarai motor di jalan-jalan utama Jakarta, yakni, pada saat lampu merah. Pengendara motor seakan tak mau mengalah. Terus bergerak maju sehingga membuat ruang jalan pengendara dari arah berlawanan menjadi sempit. Belum lagi suara klason yang sengaja dibunyikan. Entahlah apa maksudnya itu. Bener-benar “kegaduhan politik” negeri ini tertular pada keadaan lalu lintas sehingga menjadi gaduh. Kalau orang Jawa bilang, “iki dalan gak karuan, semrawut”.
Pastinya, keadaan ini seratus persen tidak nyaman. Tapi kenapa selalu terjadi dan seakan jadi “adat berkendara”.
“Wong-wong iki kok podo gupuh? Arep lapo yo”. Kalimat ini selalu spontan terucap saat berhenti di pemberhentian stopan lampu merah. Heran pastinya. Melihat betapa ngawurnya para pengguna jalan. Mereka sudah tak mengenal apa itu lalu lintas, terlebih saling pengertian dijalan. Pada saat yang sama, pak Police yang mengatur lalu lintas tak perdaya melihat serbuan motor-mobil yang jumlahnya sak arat kerat.
Sekarang, mari kita sejenak tinggalkan apa itu peraturan lalu lintas. Kita tidak perlu lagi bicara lampu merah, kuning dan hijau yang menjadi “formalitas” perempatan atau pertigaan jalan. Coba anda bayangkan jika semua kepala orang yang berhenti di stopan lampu merah berpikir ingin berjalan semua. Dan semua saling bertabrakan. Tak pelak lagi, akan menjadi kuburan mendadak jalan tersebut. Jelas, nyawa orang taruhannya.
Inilah yang penulis sebut dengan dunia gupuh pengendara motor di jalan. Saat berangkat kerja, semua ingin cepat sampai kantor. Saat pulang kerja semua ingin secepat mungkin tiba di rumah agar segera dapat ngeloni anak lan bojo. Entahlah, sampai kapan pemandangan ini akan menghiasi jalan. Jika tidak maka segeralah ciloko di jalan bertambah banyak.