Minggu, 26 Agustus 2012

Lebaran itu Bukan Bubaran


“wes bar lebarane, yo bubaran mesjid te”
Ungkapan di atas pernah disampaikan penceramah yang memberi kultum di musallah depan rumah saya beberapa tahun silam. Agaknya hal itu masih sangat relevan dengan kenyataan sekarang. Ungkapan dalam bahasa jawa tersebut berarti “Kalau sudah lebaran ‘idul fitri’, maka sudah pula keramaian masjid”. Tidak salah jika anggapan tersebut diutarakan karena kenyataan selalu demikian.

Suka cita masyarakat Muslim Indonesia dalam menyambut bulan Ramadhan terlihat dari antusias dalam menjalani sederet amalan-amalan didalamnya. Pada bulan Ramadhan kita menjumpai kemeriahan subuh. Setelah sahur, masjid dipenuhi dengan jamaah yang menunggu saat subuh tiba. Menjelang waktu buka puasa, tidak jarang jalanan sepi, karena kita menjumpai pedagang memanjakan bagi sebagian orang yang mencari dan membeli makanan ta’jil. Selepas maghrib, masjid-masjid dipenuhi jamaah yang hendak tarawih.

Menjelang lebaran –Idul Fitri- suasana berbeda. Para perantau yang mengadu nasib dikampung orang mulai berbondong-bondong pulang kehalamannya. Tradisi ini cukup unik, kita menyebutnya mudik. Dapat dipastikan para pemudik mati-matian untuk bisa sampai dikampungnya dengan selamat. Mereka rela berdesakan mulai dari pemesanan tiket, naik kendaraan bahkan saat turun ketika setibanya ditempat tujuan. Pada saat bersamaan, ibu rumah tangga mulai disibukkan dengan urusan “dapur”. Menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan perut saat hari Idul Fitri tiba. Masih pada saat yang sama, pusat perbelanjaan semakin ramai, jamaah tarawih pun berpindah ditempat tersebut. Maka jelas, posisi THR sungguh sangat berarti pada saat seperti ini. Ketika urusan sandang dan pangan semakin mendesak, uang diposisikan sebagai second god (Tuhan kedua).

Hari-hari terakhir dibulan Ramadhan memberikan nuansa yang khas dibandingkan dengan lainnya. Suasana ini yang terkadang membuat kita rindu setengah mati, berharap episode Ramadhan ini berlanjut. Saat seperti ini kita menjumpai para orang tua (lansia) berharap agar dipertemukan dengan Ramadhan tahun mendatang.
Pada 1 Syawal, umat Muslim pun dengan penuh suka citanya merayakan “kemenangan”, kemenangan setelah berpuasa bulan Ramadhan. Masih dalam fajar, mereka disibukkan mempersiapkan hajatan “akbar” yang dinanti-nanti, berkumpul di tanah lapang atau masjid, melaksanakan salat Ied. Mulai dari yang tertua sampai termuda sibuk dengan pakaian apa yang hendak mereka kenakan. Dengan berombongan serta mengumandangkan takbir, mereka meninggalkan rumah menuju tempat dilaksakannya ritual salat Ied. Riuh suara anak-anak menjadi bumbu perjalanan. Dilengkapi dengan suara letusan petasan yang membuat suasana Ied semakin kental. Seusai salat Idul Fitri, dan kembali kerumah, suasana haru menjadi pemandangan. Saling bersalaman dan bermaafan. Tidak jarang tetesan air mata melinang.

Demikian sekelumit pemandangan yang menjadi hidangan saat Ramadhan hingga tibanya Idul Fitri. Setelah itu, kita kembali kehilangan, kehilangan keramaian masjid yang tentu saja meninggalkan kerinduan Ramadhan; kehilangan suasana santap sahur yang kita nikmati dengan menahan rasa kantuk; bunyi petasan yang terkadang hingar di telinga dan banyak lagi kehilangan-kehilangan lainnya. Semoga Tuhan berkenan pertemukan kita dengan Ramadhan tahun mendatang. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar