Oleh: Ali Thaufan DS (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta;
Kader HMI Cabang Ciputat)
Hari ini, 5 Februari 2018, Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) merayakan hari ulang tahunnya yang ke-71 tahun. Sebuah usia yang
terbilang “matang”, dan hampir sama dengan usia bangsa Indonesia. HMI didirikan
oleh beberapa aktivis mahasiswa kala itu di sebuah perguruan tinggi di
Yogyakarta. Dalam perjalanannya, HMI menjelma menjadi organisasi yang banyak
memberi kontribusi bagi Indonesia. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia memberi
penghargaan Pahlawan bagi salah satu pendiri HMI, Lafran Pane. Sebuah penghargaan
yang memberi makna penting eksistensi HMI di Indonesia.
Meski lahir sebagai organisasi mahasiswa yang bersifat
independen, dalam perkembangannya, HMI terlibat pula dalam politik praktis. HMI
oleh Deliar Noer (1987: 57) disebut sebagai organisasi mahasiswa yang memiliki
kedekatan dengan Partai Masyumi. Pada Pemilu 1955 misalnya, menurut Deliar,
banyak kader dan aktivis HMI menjadi penyokong suara Masyumi. Selain itu, HMI
juga turut serta dalam “ganyang PKI” di awal hingga pertengahan 1960-an.
Sesaat setelah Partai Masyumi dibubarkan oleh Pemerintahan
Orde Lama, dan Masyumi juga tidak diperkenankan berdiri di era Pemerintah Orde
Baru Suharto, kader-kader HMI banyak mengembangkan kecakapan politik pada
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan kini, kader HMI mampir berada pada
semua partai politik. Itulah sebabnya HMI dianggap sebagai “Kawah Condrodimuko”
calon politisi.
Selain terlibat politik praktis, HMI melahirkan
beberapa tokoh intelektual yang banyak memberi sumbangan terhadap Indonesia. Beberapa
yang bisa penulis sebut antara lain: Nurcholish Madjid dan Azyumardy
Azra dan lainnya. Kultur intelektual yang ditumbuhkembangkan di HMI mampu
melahirkan kader-kader politik-intelektual tersebut. Hingga kini, meski pola
pengaderan yang dilakukan masih sangat “tradisional”, HMI tetap eksis mencetak
kader-kader terbaik.
Di tengah arus globalisasi dalam berbagai aspek, HMI
mendapat tantangan yang cukup berat. Karena HMI mencirikan organisasi Islam,
maka paling tidak HMI mendapat tantangan dari aspek Islam itu sendiri. Harus diakui,
dalam beberapa tahun belakang ini, muncul aksi teror atas nama agama, kelompok
yang ingin mengganti ideologi bangsa, serta kelompok literalis (yang malas
membaca makna dibalik teks).
Tantangan paling besar saat ini adalah munculnya arus
gerakan transnasional yang mulai menjalar ke Indonesia. Pengaruhnya dapat
segera dirasakan sepertinya maraknya teror atas nama agama yang dalam dua
dasawarsa terakhir kerap terjadi. Bahkan di daerah tertentu, kelompok separatis
Islam kian menunjukkan eksistensinya dikhalayak publik.
HMI yang bercirikan Islam inklusif juga mendapat
tantanganya dari maraknya pemikiran Islam yang ekslusif (menutup diri dari
upaya ijtihad). Kelompok ini umumnya menolak sistem demokrasi dan ingin
menegakkan bentuk pemerintahan model khilafah.
Tak jarang, kelompok model ini memberikan label kafir pada atribut-atribut
demokrasi. Tolok ukur keberislaman model “Arab
Minded”, oleh kelompok tersebut coba dikembangkan di Indonesia dan seolah
dianggap sebagai model yang purna. Maka tidak heran, atribut-atribut berbau
Arab dibentangkan dalam banyak kesempatan.
Maraknya kelompok literalis Islam sebagai efek dari
momentum politik belakangan juga harus disikapi serius. Sebagian kelompok
melegitimasi pilihan politik dengan dalil agama tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah tafsir yang seharusnya dipedomani dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Ayat al-Qur’an hanya dipahami pada satu sisi sebagai alat mengkafirkan orang
lain sementara ayat lain dinafikan begitu saja. Minimnya pemahaman terhadap
kaidah tafsir inilah yang menyebabkan orang tak terkendali ketika berbicara
al-Qur’an dihadapan publik. Universalitas al-Qur’an seolah direduksi untuk
kepentingan sesaat (politik). Kelompok-kelompok literalis semacam ini
seharusnya menjadi titik tembak HMI.
Kini, HMI kembali berada dalam pusaran perdebatan yang
mengemuka: formalisasi negara Islam (formalist
Islamic state). Kondisi ini menguat terutama akibat munculnya “politik
identitas” di dalam kampanye-kampanye Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 mendatang. Munculnya
kembali politik identitas ini berpotensi memecah integritas Indonesia yang
sudah ditakdirkan kebhinekaanya. Tentu saja, kita berharap hadirnya
pikiran-pikiran jernih seperti di era Cak Nur dalam menjawab tantangan model
saat ini.
Kader HMI saat ini sebetulnya hanya menjadi “intelektual-praktis”
melanjutkan estafet pemikiran pendahulunya. Tak perlu repot-repot mencari “tesis”
baru tentang Islam dan tantangannya seperti tersebut di atas. Kita hanya butuh
meminjam pola pemikiran pendahulu untuk memecahnya problem saat ini, dengan meminjam
konsep double movement Fazlur Rahman.
Ke depan, HMI harus mampu men-counter paham-paham radikal yang menjurus pada terorisme;
kelompok-kelompok eksklusif yang hendak merubah Indonesia menjadi Khilafah;
serta kelompok literalis yang minim budaya membaca. Tentu kita berharap
munculnya kader-kader HMI yang mampu menjawab persoalan keumatan dan
kebangsaan.