Senin, 23 Oktober 2017

Nasionalisme Santri (Refleksi Hari Santri)

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)

Kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia sepertinya menjadi magnet tersendiri oleh sebagian peneliti Barat. Ketertarikan para peneliti tersebut tidak begitu sulit dibuktikan, salah satunya dapat dilihat dalam karya M.C. Ricklefs (2001), A History of Modern Indonesia. Dalam buku tersebut, Ricklefs memulai tulisannya dengan the coming of Islam (kedatangan Islam).

Apa yang ditulis Ricklefs menandakan betapa pentingnya Islam bagi Indonesia. Bahkan, ia menjadikan era kedatangan Islam sebagai permulaan sejarah modern Indonesia. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia sangat sulit dipisahkan dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Membicarakan Islam dalam konteks sejarah Indonesia secara tidak langsung membicarakan akar kemerdekaan Indonesia.

Umat Islam di Indonesia termasuk para santri dan kyai turut menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan. Peran mereka dalam mewujudkan kemerdekaan tak perlu diragukan lagi. Oleh karena itu, santri dan pesantren dapat dimasukkan sebagai bagian terpenting dari perjuangan melawan penjajah dan merebut kemerdekaan.

Santri dan Pesantren

Kata santri bukanlah istilah yang terdapat dalam terminologi peperangan dan perjuangan. Kata santri juga bukan merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab. Ditinjau dari segi bahasa, “santri” memiliki dua pengertian, yaitu: pertama, santri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti melek huruf, dan kedua santri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang mengikuti seorang guru, baik ketika guru itu pergi atau menetap disebuah tempat, pesantren (Madjid 1997:20).

Dalam pemahaman masyarakat luas, santri dikenal sebagai siswa pondok pesantren yang meninggalkan rumah dan secara khusus belajar ilmu agama. Penjelasan tentang pesantren diuraikan oleh pelopor pondok pesantren modern, K.H. Imam Zarkasyi yang mendefinisikan pesantren sebagai “lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama (pondok) yang menjadikan kyai sebagai figur utama, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwai, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya”.

Sementara Junaedi (2007:48) memaparkan pesantren sebagai lembaga yang amat penting dalam perkembangan Islam di Indonesia. Pesantren merupakan tempat menempa santri untuk menjadi ulama dan kyai. Setamat dari pesantren pada umumnya para santri kembali ke daerah masing-masing dan bertanggung jawab atas agama (Islam), baik mendirikan masjid, pesantren maupun madrasah.

Dengan begitu, Islam terus berkembang di berbagai polosok Tanah Air. Abdurrahman Wahid (2001:4) dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren menggambarkan pesantren sebagai sebuah komplek yang di dalamnya terdapat rumah kyai, masjid dan asrama (tempat tinggal santri).

Keberadaan pesantren di Indonesia memiliki akar sejarah yang sangat panjang Perihal sejarah munculnya pesantren, para peneliti banyak berbeda pandangan. H.J. De Graff menyebut pesantren telah ada sejak abad ke-16. Sedangkan Martin Van Bruinessen menyebut kehadiran pesantren dimulai abad ke-18. Pendapat Martin merujuk pada berdirinya pesantren Tegal Rejo di Ponogoro pada 1742. Pada masa penjajahan, banyak para kyai yang mendirikan pesantren. Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren di Pulau Jawa diperkirakan 300 pesantren.

Beberapa pesantren yang cukup terkenal saat itu antara lain: pesantren Lengkong dan Punjul di Cirebon, Tegal Sari dan Banjar Sari di Madiun, dan Sida Cerma di Surabaya (Marwati-Nugroho 2008;302). Pendapat lain mengenai asal-usul pesantren di Indonesia juga dikemukakan Zamakhsyari Dhofier yang menyatakan bahwa pesantren yang ada saat ini berakar dari tradisi Hindu-Budha. Inilah yang kemudian disebut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya sebagai “ikatan sejarah” antara dharma dengan pesantren. Istilah santri diambil dari bahasa India “shastri” yang menurut Dhofier berarti orang yang memahami kita suci agama Hindu.

Sejak kedatangan Islam di Indonesia pada abad ke-13, terjadi akulturasi budaya termasuk di dalamnya pendidikan. Pendidikan Hindu-Budha kemudian ditransformasikan dalam bentuk pesantren Islam. Hal inilah yang membuat pesantren sangat mengakar dalam kebudayaan Indonesia. Berbeda dengan Dhofier, Martin berpendapat bahwa tidak ada kaitannya antara pesantren dengan tradisi Hindu-Budha. Bagi Martin, pesantren murni berasal dari tradisi Islam.

Terlepas dari silang pendapat terkait asal usul pesantren di Indonesia, narasi di atas telah menunjukkan bahwa pesantren memiliki sejarah cukup panjang. Peran pesantren juga sedemikian penting. Kehidupan pesantren yang identik dengan santri, kyai, asrama dan masjid menunjukkan adanya kesalehan dan kekuatan sosial di tengah masyarakat. Melalui pesantren ajaran Islam terpelihara dengan baik dan berkesinambungan.

Denys Lombard (1996:135) mengemukakan peranan santri dan pesantren dalam menyebarkan Islam yang tidak hanya di kawasan pesisir Utara, tetapi juga masuk ke daerah pedalaman (kelompok agraris). Maka tidak mengherankan jika peneliti Barat menaruh perhatian lebih pada santri dan pesantren.

Pejuang Kemerdekaan-Pendidikan

Dalam buku-buku sejarah kemerdekaan Indonesia, pada umumnya menempatkan kelompok nasionalis dan tentara sebagai aktor utama perjuangan melawan penjajah. Padahal kelompok santri, dan kyai serta rakyat juga terlibat total dalam perjuangan tersebut.

Sejarah perjuangan santri dan kyai dalam perang melawan penjajah telah dimulai sejak lama. Marwan Saridjo (1982) mencatat beberapa pejuang santri telah mengusir para penjajah. Nama-nama seperti Patih Unus, Trenggono dan Fatahillah tercatat sebagai pejuang mengusir Portugis pada abad ke-15, juga pejuang lain seperti Imam Bonjol, Antasari, Cik Ditiro, Sultan Agung dan Pattimura. Semua pahlawan santri itu turut memberontak atas segala bentuk penjajahan.

Pada masa Perang Jawa, Diponegoro juga mengerahkan santri dan kyai turut serta berperang mengusir penjajah. Diponegoro yang merupakan keturunan Keraton Yogyakarta dan menghabiskan masa kecil sebagai santri merasakan penindasan penjajah. Penjajah Belanda dan Inggris secara bergantian memporak-porandakan Keraton dan meruntuhkan tatanan Jawa yang sangat menjunjung tinggi adat dan kepercayaan. Bagi Diponegoro dan pengikutnya, perang melawan Belanda adalah perang melawan kapir laknatullah, orang-orang kafir yang terlaknat.

Pada masa Perang Jawa di bawah pimpinan Diponegoro, perang tidak hanya terjadi di Jawa (khususnya Jawa Tengah), tetapi juga berkecamuk diseluruh nusantara (Carey: 2013). Upaya pejuang santri di atas dalam mengusir penjajah menjadi inspirasi perjuangan kaum santri dan kyai setelahnya. Diantara kyai yang menjadi pahlawan perjuangan kemerdekaan adalah K.H. Hasyim Asyari. Pendiri Ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang tersebut terlibat secara total dalam perjuangan kemerdekaan.

Ia juga memiliki kedekatan dengan para pejuang kemerdekaan lain seperti Bung Tomo dan Jenderal Sudirman. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Bung Tomo kerap mendatangi sang Kyai untuk membicarakan strategi pertempuran melawan penjajah Belanda dan Jepang (Samsul 2008:107). Dalam sejarah Indonesia, pekik Resolusi Jihad digelorakan oleh K.H. Hasyim Asyari.

Tiga hal penting dari Resolusi Jihad adalah, setiap orang Islam wajib berperang melawan penjajah dan menjaga kedaulatan Indonesia; santri, kyai dan rakyat yang mati di medan perang termasuk syuhada (orang yang menginggal di jalan Allah); warga Indonesia yang membelot dengan mendukung penjajah adalah pengkhianat dan boleh dibunuh.
Selain K.H. Hasyim Asyari dengan Pesantren Tebu Ireng, Kyai Abbas dan Muqayyim dari Pesantren Butet Cirebon juga turut berjuang melawan penjajah. Di Cirebon, Kyai Abbas melihat kesewenang-wenangan Belanda yang mengacaukan Kesultanan dan sendi kehidupan rakyat. Gelora perlawanan terhadap penjajah Belanda di Cirebon semakin meluas hingga Karawang, Sumedang dan Indramayu (Bambang-Dyah 2012:3).

Perjuangan fisik para kyai dan santri diwujudkan dalam pembentukan pasukan-pasukan seperti Laskar Hizbullah, Sabilillah dan beberapa laskar santri lainnya. Sejak didirikan pada 14 Oktober 1944 Hizbullah memberikan pelatihan militer kepada santri di markas pusat latihan yang terletak di Cibarusa Jawa Barat (Lombard 1995:139).

Sebanyak 500 santri dari berbagai daerah mengikuti latihan tersebut. Setelah mengikuti latihan, para santri kembali ke daerah asal untuk mengembangkan Hizbullah daerahnya. Ricklefs menggambarkan seruan perang melawan penjajah yang digelorakan oleh NU dan Masyumi sebagai seruan Perang Sabil (perintah wajib perang). Seruan ini menggerakkan hati para kyai dan santri untuk turun ke medan perang. Mereka merelakan jiwa raganya untuk Tanah Air dan agama.


Perjuangan –baik fisik dan non fisik- santri tidak terhenti pasca kemerdekaan. Lamanya durasi penjajahan membuat upaya mengusir penjajah teramat sulit. Meski pendiri bangsa telah memproklamirkan kemerdekaan, hal itu tidak serta merta membuat penjajah pergi. Bahkan, dunia belum mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Di berbagai daerah masih saja ditemui kekuatan tentara penjajah, bahkan mereka masih memegang senjata. Pada 10 November 1945 misalnya, para santri dan kyai bersatu bersama rakyat berperang melawan tentara Inggris di Surabaya. Peristiwa ini kemudian diabadikan dengan diperingatinya tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan.

Ibi dan Lanny (2014:36) juga mencatat perjuangan santri pasca kemerdekaan antara lain, pertama, memberikan solusi atas pertentangan tentang asas negara, antara agama dan sekuler, dan kelompok dari pesantren menerima asas negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa; melahirkan cendekiawan yang berwawasan kebangsaan; serta mengusulkan pembentukan lembaga pendidikan terutama bagi masyarakat pedesaan.

Kedua, pasca kemerdekaan, para santri dan kyai mendapat tantangan dengan kehadiran gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Menyikapi hal ini, pesantren mengambil posisi untuk tetap setia pada NKRI. Hingga era pembangunan Orde Baru dan reformasi, santri, kyai dan pesantren tetap mewarnai perjuangan Indonesia.

Para kyai alumni pesantren tidak bisa dilupakan begitu saja dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini. Hidayat Nur Wahid menjelaskan peran penting alumni pesantren pada awal kemerdekaan. Saat itu, dalam mempersiapkan kemerdekaan, terdapat 10 (sepuluh) orang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merupakan alumni pesantren.

Selain menjajah Indonesia dalam hal sosial, ekonomi, politik, Belanda juga menjajah pendidikan. Penindasan di bidang pendidikan sangat merugikan rakyat Indonesia. Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo adalah salah satu diantara sekian banyak pesantren yang merasakan penindasan itu. Pesantren Gontor Lama –sebelum kemudian didirikan kembali oleh K.H. Imam Zarkasyi, KH. Ahmad Sahal dan KH. Zainuddin Fannani- mengakui kemundurannya akibat masifnya penjajahan Belanda.

Menurut Malik Fajar (2004:xv), sejarah pesantren Indonesia adalah sejarah perlawanan para ulama terhadap penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Penindasan terhadap hak pendidikan yang dilakukan para penjajah kepada rakyat Indonesia adalah dalam bentuk pembagian kelas sosial yang tidak adil.

Selain “mengurung” dan membatasi pendidikan rakyat, pemerintah Belanda juga berbuat diskriminatif terhadap pendidikan pesantren. Belanda selalu mengawasi gerak-gerik pendidikan pesantren dan bahkan mengeluarkan kebijakan menutup pesantren jika mengajarkan pelajaran yang tidak dikehendaki Belanda. Hal ini yang menggerakkan santri-santri dan para kyai di pesantren-pesantren melakukan perlawanan. Oleh sebab itu peran mereka dalam perjuangan pendidikan tidak bisa diabaikan.

Tantangan Santri-Pesantren

Era penjajahan dan perang fisik telah berakhir ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan para pendiri bangsa. Namun tantangan bagi santri dan pesantren bukan tidak ada, justru semakin banyak. Zaman terus berjalan diiringi peluang dan tantangannya.

Sampai saat ini, pesantren di Indonesia tetap eksis dan jumlahnya terus bertambah. Data Kementerian Agama pada tahun 2012 menyebutkan terdapat sebanyak 27.230 pesantren yang tersebar diseluruh Indonesia. dari jumlah tersebut tercatat sebanyak 1.886.748 santri laki-laki dan 1.872.450 santri perempuan. Sistem pembelajaran pesantren pun semakin berkembang, mengkombinasikan materi pelajaran dari kitab-kitab klasik (tradisi Islam) dengan pelajaran umum. Ini merupakan satu bentuk transformasi pesantren di era modern saat ini.

Kemajuan teknologi saat ini berjalan sangat cepat dan telah memberi banyak kemudahan. Hal ini harus dimanfaatkan santri dan pesantren untuk pengembangan diri dan lembaga. Pesantren harus mengambil peran dalam membangun sumber daya manusia (SDA). Selain menjadi lembaga pendidikan Islam, pesantren harus menjadi kekuatan sosial yang menggerakkan bangsa.

Melihat realitas sosial dan dinamika kebangsaan saat ini yang penuh keprihatinan, santri dan pesantren harus hadir menjadi solusi. Perbagai persoalan kebangsaan yang mengarah pada disintegritas harus diredam. Pemahaman santri tentang keislaman harus dielaborasi dengan kebhinekaan dan persatuan Indonesia untuk terus menjadi benteng kekuatan bangsa. Jika pada masa pra kemerdekaan santri dan pesantren menjadi pejuang kemerdekaan, maka saat ini santri menjadi pengisi, penjaga dan penerus kemerdekaan. Inilah tantangan santri dan pesantren saat ini.