Oleh:
Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)
Kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia sepertinya
menjadi magnet tersendiri oleh sebagian peneliti Barat. Ketertarikan para
peneliti tersebut tidak begitu sulit dibuktikan, salah satunya dapat dilihat
dalam karya M.C. Ricklefs (2001), A History of Modern Indonesia. Dalam buku
tersebut, Ricklefs memulai tulisannya dengan the coming of Islam (kedatangan
Islam).
Apa yang ditulis Ricklefs menandakan betapa pentingnya
Islam bagi Indonesia. Bahkan, ia menjadikan era kedatangan Islam sebagai permulaan
sejarah modern Indonesia. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia sangat sulit
dipisahkan dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Membicarakan Islam dalam
konteks sejarah Indonesia secara tidak langsung membicarakan akar kemerdekaan
Indonesia.
Umat Islam di Indonesia termasuk para santri dan kyai
turut menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan. Peran mereka dalam mewujudkan
kemerdekaan tak perlu diragukan lagi. Oleh karena itu, santri dan pesantren
dapat dimasukkan sebagai bagian terpenting dari perjuangan melawan penjajah dan
merebut kemerdekaan.
Santri dan Pesantren
Kata
santri bukanlah istilah yang terdapat dalam terminologi peperangan dan
perjuangan. Kata santri juga bukan merupakan kata yang berasal dari bahasa
Arab. Ditinjau dari segi bahasa, “santri” memiliki dua pengertian, yaitu:
pertama, santri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti melek huruf, dan kedua
santri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang mengikuti
seorang guru, baik ketika guru itu pergi atau menetap disebuah tempat,
pesantren (Madjid 1997:20).
Dalam
pemahaman masyarakat luas, santri dikenal sebagai siswa pondok pesantren yang
meninggalkan rumah dan secara khusus belajar ilmu agama. Penjelasan tentang
pesantren diuraikan oleh pelopor pondok pesantren modern, K.H. Imam Zarkasyi
yang mendefinisikan pesantren sebagai “lembaga pendidikan Islam dengan sistem
asrama (pondok) yang menjadikan kyai sebagai figur utama, masjid sebagai pusat
kegiatan yang menjiwai, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang
diikuti santri sebagai kegiatan utamanya”.
Sementara Junaedi (2007:48) memaparkan pesantren sebagai
lembaga yang amat penting dalam perkembangan Islam di Indonesia. Pesantren
merupakan tempat menempa santri untuk menjadi ulama dan kyai. Setamat dari
pesantren pada umumnya para santri kembali ke daerah masing-masing dan
bertanggung jawab atas agama (Islam), baik mendirikan masjid, pesantren maupun
madrasah.
Dengan begitu, Islam terus berkembang di berbagai polosok
Tanah Air. Abdurrahman Wahid (2001:4) dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-esai
Pesantren menggambarkan pesantren sebagai sebuah komplek yang di dalamnya terdapat
rumah kyai, masjid dan asrama (tempat tinggal santri).
Keberadaan
pesantren di Indonesia memiliki akar sejarah yang sangat panjang Perihal
sejarah munculnya pesantren, para peneliti banyak berbeda pandangan. H.J. De
Graff menyebut pesantren telah ada sejak abad ke-16. Sedangkan Martin Van
Bruinessen menyebut kehadiran pesantren dimulai abad ke-18. Pendapat Martin
merujuk pada berdirinya pesantren Tegal Rejo di Ponogoro pada 1742. Pada masa
penjajahan, banyak para kyai yang mendirikan pesantren. Pada tahun 1860-an,
jumlah pesantren di Pulau Jawa diperkirakan 300 pesantren.
Beberapa pesantren yang cukup terkenal saat itu antara
lain: pesantren Lengkong dan Punjul di Cirebon, Tegal Sari dan Banjar Sari di
Madiun, dan Sida Cerma di Surabaya (Marwati-Nugroho 2008;302). Pendapat lain
mengenai asal-usul pesantren di Indonesia juga dikemukakan Zamakhsyari Dhofier
yang menyatakan bahwa pesantren yang ada saat ini berakar dari tradisi
Hindu-Budha. Inilah yang kemudian disebut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang
Budaya sebagai “ikatan sejarah” antara dharma dengan pesantren. Istilah santri
diambil dari bahasa India “shastri” yang menurut Dhofier berarti orang yang
memahami kita suci agama Hindu.
Sejak kedatangan Islam di Indonesia pada abad ke-13,
terjadi akulturasi budaya termasuk di dalamnya pendidikan. Pendidikan
Hindu-Budha kemudian ditransformasikan dalam bentuk pesantren Islam. Hal inilah
yang membuat pesantren sangat mengakar dalam kebudayaan Indonesia. Berbeda
dengan Dhofier, Martin berpendapat bahwa tidak ada kaitannya antara pesantren
dengan tradisi Hindu-Budha. Bagi Martin, pesantren murni berasal dari tradisi
Islam.
Terlepas
dari silang pendapat terkait asal usul pesantren di Indonesia, narasi di atas
telah menunjukkan bahwa pesantren memiliki sejarah cukup panjang. Peran
pesantren juga sedemikian penting. Kehidupan pesantren yang identik dengan
santri, kyai, asrama dan masjid menunjukkan adanya kesalehan dan kekuatan
sosial di tengah masyarakat. Melalui pesantren ajaran Islam terpelihara dengan
baik dan berkesinambungan.
Denys
Lombard (1996:135) mengemukakan peranan santri dan pesantren dalam menyebarkan
Islam yang tidak hanya di kawasan pesisir Utara, tetapi juga masuk ke daerah
pedalaman (kelompok agraris). Maka tidak mengherankan jika peneliti Barat menaruh
perhatian lebih pada santri dan pesantren.
Pejuang Kemerdekaan-Pendidikan
Dalam
buku-buku sejarah kemerdekaan Indonesia, pada umumnya menempatkan kelompok
nasionalis dan tentara sebagai aktor utama perjuangan melawan penjajah. Padahal
kelompok santri, dan kyai serta rakyat juga terlibat total dalam perjuangan
tersebut.
Sejarah
perjuangan santri dan kyai dalam perang melawan penjajah telah dimulai sejak
lama. Marwan Saridjo (1982) mencatat beberapa pejuang santri telah mengusir
para penjajah. Nama-nama seperti Patih Unus, Trenggono dan Fatahillah tercatat
sebagai pejuang mengusir Portugis pada abad ke-15, juga pejuang lain seperti
Imam Bonjol, Antasari, Cik Ditiro, Sultan Agung dan Pattimura. Semua pahlawan
santri itu turut memberontak atas segala bentuk penjajahan.
Pada
masa Perang Jawa, Diponegoro juga mengerahkan santri dan kyai turut serta
berperang mengusir penjajah. Diponegoro yang merupakan keturunan Keraton
Yogyakarta dan menghabiskan masa kecil sebagai santri merasakan penindasan
penjajah. Penjajah Belanda dan Inggris secara bergantian memporak-porandakan
Keraton dan meruntuhkan tatanan Jawa yang sangat menjunjung tinggi adat dan
kepercayaan. Bagi Diponegoro dan pengikutnya, perang melawan Belanda adalah
perang melawan kapir laknatullah, orang-orang kafir yang terlaknat.
Pada masa Perang Jawa di bawah pimpinan Diponegoro,
perang tidak hanya terjadi di Jawa (khususnya Jawa Tengah), tetapi juga
berkecamuk diseluruh nusantara (Carey: 2013). Upaya pejuang santri di atas
dalam mengusir penjajah menjadi inspirasi perjuangan kaum santri dan kyai
setelahnya. Diantara kyai yang menjadi pahlawan perjuangan kemerdekaan adalah
K.H. Hasyim Asyari. Pendiri Ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama
(NU) dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang tersebut terlibat secara total
dalam perjuangan kemerdekaan.
Ia juga memiliki kedekatan dengan para pejuang
kemerdekaan lain seperti Bung Tomo dan Jenderal Sudirman. Bahkan, dalam
beberapa kesempatan, Bung Tomo kerap mendatangi sang Kyai untuk membicarakan
strategi pertempuran melawan penjajah Belanda dan Jepang (Samsul 2008:107).
Dalam sejarah Indonesia, pekik Resolusi Jihad digelorakan oleh K.H. Hasyim
Asyari.
Tiga
hal penting dari Resolusi Jihad adalah, setiap orang Islam wajib berperang
melawan penjajah dan menjaga kedaulatan Indonesia; santri, kyai dan rakyat yang
mati di medan perang termasuk syuhada (orang yang menginggal di jalan Allah);
warga Indonesia yang membelot dengan mendukung penjajah adalah pengkhianat dan
boleh dibunuh.
Selain
K.H. Hasyim Asyari dengan Pesantren Tebu Ireng, Kyai Abbas dan Muqayyim dari Pesantren
Butet Cirebon juga turut berjuang melawan penjajah. Di Cirebon, Kyai Abbas
melihat kesewenang-wenangan Belanda yang mengacaukan Kesultanan dan sendi
kehidupan rakyat. Gelora perlawanan terhadap penjajah Belanda di Cirebon
semakin meluas hingga Karawang, Sumedang dan Indramayu (Bambang-Dyah 2012:3).
Perjuangan fisik para kyai dan santri diwujudkan dalam
pembentukan pasukan-pasukan seperti Laskar Hizbullah, Sabilillah dan beberapa
laskar santri lainnya. Sejak didirikan pada 14 Oktober 1944 Hizbullah memberikan
pelatihan militer kepada santri di markas pusat latihan yang terletak di
Cibarusa Jawa Barat (Lombard 1995:139).
Sebanyak
500 santri dari berbagai daerah mengikuti latihan tersebut. Setelah mengikuti
latihan, para santri kembali ke daerah asal untuk mengembangkan Hizbullah
daerahnya. Ricklefs menggambarkan seruan perang melawan penjajah yang digelorakan oleh NU
dan Masyumi sebagai seruan Perang Sabil (perintah wajib perang). Seruan ini
menggerakkan hati para kyai dan santri untuk turun ke medan perang. Mereka
merelakan jiwa raganya untuk Tanah Air dan agama.
Perjuangan
–baik fisik dan non fisik- santri tidak terhenti pasca kemerdekaan. Lamanya
durasi penjajahan membuat upaya mengusir penjajah teramat sulit. Meski pendiri
bangsa telah memproklamirkan kemerdekaan, hal itu tidak serta merta membuat
penjajah pergi. Bahkan, dunia belum mengakui kedaulatan dan kemerdekaan
Indonesia. Di berbagai daerah masih saja ditemui kekuatan tentara penjajah,
bahkan mereka masih memegang senjata. Pada 10 November 1945 misalnya, para
santri dan kyai bersatu bersama rakyat berperang melawan tentara Inggris di
Surabaya. Peristiwa ini kemudian diabadikan dengan diperingatinya tanggal
tersebut sebagai Hari Pahlawan.
Ibi dan Lanny (2014:36) juga mencatat perjuangan santri
pasca kemerdekaan antara lain, pertama, memberikan solusi atas pertentangan
tentang asas negara, antara agama dan sekuler, dan kelompok dari pesantren
menerima asas negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa; melahirkan
cendekiawan yang berwawasan kebangsaan; serta mengusulkan pembentukan lembaga
pendidikan terutama bagi masyarakat pedesaan.
Kedua,
pasca kemerdekaan, para santri dan kyai mendapat tantangan dengan kehadiran
gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Menyikapi hal ini, pesantren
mengambil posisi untuk tetap setia pada NKRI. Hingga era pembangunan Orde Baru
dan reformasi, santri, kyai dan pesantren tetap mewarnai perjuangan Indonesia.
Para
kyai alumni pesantren tidak bisa dilupakan begitu saja dalam sejarah
kemerdekaan bangsa ini. Hidayat Nur Wahid menjelaskan peran penting alumni
pesantren pada awal kemerdekaan. Saat itu, dalam mempersiapkan kemerdekaan,
terdapat 10 (sepuluh) orang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merupakan alumni pesantren.
Selain
menjajah Indonesia dalam hal sosial, ekonomi, politik, Belanda juga menjajah
pendidikan. Penindasan di bidang pendidikan sangat merugikan rakyat Indonesia. Pondok
Pesantren Gontor di Ponorogo adalah salah satu diantara sekian banyak pesantren
yang merasakan penindasan itu. Pesantren Gontor Lama –sebelum kemudian
didirikan kembali oleh K.H. Imam Zarkasyi, KH. Ahmad Sahal dan KH. Zainuddin
Fannani- mengakui kemundurannya akibat masifnya penjajahan Belanda.
Menurut Malik Fajar (2004:xv), sejarah pesantren
Indonesia adalah sejarah perlawanan para ulama terhadap penindasan yang
dilakukan oleh penjajah. Penindasan terhadap hak pendidikan yang dilakukan para
penjajah kepada rakyat Indonesia adalah dalam bentuk pembagian kelas sosial
yang tidak adil.
Selain
“mengurung” dan membatasi pendidikan rakyat, pemerintah Belanda juga berbuat
diskriminatif terhadap pendidikan pesantren. Belanda selalu mengawasi
gerak-gerik pendidikan pesantren dan bahkan mengeluarkan kebijakan menutup
pesantren jika mengajarkan pelajaran yang tidak dikehendaki Belanda. Hal ini
yang menggerakkan santri-santri dan para kyai di pesantren-pesantren melakukan
perlawanan. Oleh sebab itu peran mereka dalam perjuangan pendidikan tidak bisa
diabaikan.
Tantangan Santri-Pesantren
Era
penjajahan dan perang fisik telah berakhir ketika kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan para pendiri bangsa. Namun tantangan bagi santri dan pesantren
bukan tidak ada, justru semakin banyak. Zaman terus berjalan diiringi peluang
dan tantangannya.
Sampai
saat ini, pesantren di Indonesia tetap eksis dan jumlahnya terus bertambah.
Data Kementerian Agama pada tahun 2012 menyebutkan terdapat sebanyak 27.230
pesantren yang tersebar diseluruh Indonesia. dari jumlah tersebut tercatat
sebanyak 1.886.748 santri laki-laki dan 1.872.450 santri perempuan. Sistem
pembelajaran pesantren pun semakin berkembang, mengkombinasikan materi
pelajaran dari kitab-kitab klasik (tradisi Islam) dengan pelajaran umum. Ini
merupakan satu bentuk transformasi pesantren di era modern saat ini.
Kemajuan
teknologi saat ini berjalan sangat cepat dan telah memberi banyak kemudahan.
Hal ini harus dimanfaatkan santri dan pesantren untuk pengembangan diri dan
lembaga. Pesantren harus mengambil peran dalam membangun sumber daya manusia
(SDA). Selain menjadi lembaga pendidikan Islam, pesantren harus menjadi
kekuatan sosial yang menggerakkan bangsa.
Melihat
realitas sosial dan dinamika kebangsaan saat ini yang penuh keprihatinan,
santri dan pesantren harus hadir menjadi solusi. Perbagai persoalan kebangsaan
yang mengarah pada disintegritas harus diredam. Pemahaman santri tentang
keislaman harus dielaborasi dengan kebhinekaan dan persatuan Indonesia untuk
terus menjadi benteng kekuatan bangsa. Jika pada masa pra kemerdekaan santri
dan pesantren menjadi pejuang kemerdekaan, maka saat ini santri menjadi
pengisi, penjaga dan penerus kemerdekaan. Inilah tantangan santri dan pesantren
saat ini.