Oleh: Ali Thaufan DS
Akhir-akhir pekan ini (pada September
2017) marak sekali pembicaraan dan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Sebagian orang menuding PKI masih hidup dan bersembunyi, dan sebagain
lainnya berkeyakinan bahwa PKI telah mati. Sebagai sebuah lembaga politik
(parpol), PKI jelas telah mati, dibubarkan sejak era Orde Baru melalui Keputusan
Presiden Nomor 1/3/1966 perihal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak
hanya partainya, seluruh organisasi yang berafiliasi dengannya juga “diberendel”.
Bahkan paham yang kerap dikait-kaitkan dengan PKI seperti Marxsis pun dilarang
karena bertentangan dengan Pancasila.
PKI bukan bahan perbincangan
baru dalam peta politik Indonesia. Sebagai partai dengan ideologi komunis, ia tercatat
pernah mewarnai konstalasi politik nasional, sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sejarah
politik Indonesia mencatat jika PKI lahir dari perseteruan yang terjadi di
dalam tubuh Sarekat Islam (SI). Para tokoh SI yang pro terhadap komunis membentuk
barisan baru dengan istilah “SI Merah” yang konon dianggap sebagai pioneer PKI.
Setelah berhasil membentuk
parpol, PKI mengambil simpati dari rakyat kelas bawah seperti buruh dan tani. PKI
merupakan partai yang diperhitungkan pada Pemilu pertama Indonesia tahun 1955. Terbukti,
pada Pemilu itu, PKI menduduki urutan ke empat di bawah Partai Nasionalis
Indinesia (PNI), Partai Masyumi, dan Partai NU
Herbert Feith (1988) dalam Indonesian Political Thinking, menggambarkan
pertarungan ideologi yang menjadi platform parpol di awal masa kemerdekaan. Salah
satu ideologi politik yang cukup berpengaruh adalah ideologi komunis. Pada masa
pra kemerdekaan sekitar tahun 1920-an, Feith mencatat saat itu para tokoh
intelektual Islam dan komunis terlibat pergolakan pemikiran tentang cara
terbaik untuk merdeka dari kolonialisme. Tak hanya dengan kelompok intelektual
Islam saja, kolompok intelektual komunis juga berhadapan dengan kelompok
nasionalisme radikal.
Uraian Feith tentang ideologi
parpol dalam rentan waktu 1945 hingga 1965 kemudian melahirkan lima ideologi
besar, yaitu: Islam, sosialisme demokrat; nasionalisme radikal, tradisionalisme
Jawa, dan komunisme. Ideologi ini kemudian menjelma dalam bentuk parpol dan
diindoktrinasi ke dalam pikiran para anggotanya. Kelima ideologi ini kemudian terus
menerus melakukan “tarik-menarik” kepentingan politik parpol mereka.
Pada tahun 1957, para tokoh
intelektual parpol berdebat sengit di sidang Dewan Konstituente. Mereka mengemukan
ideologi apa yang seharusnya dijadikan asas negara Indonesia. Tokoh Islam yang
melegenda, Muhammad Natsir dalam kesempatan pidatonya, mengkritik paham komunis
yang hendak dijadikan ideologi negara. Natsir mengemukakan ketidakmampuan
komunisme merawat bangsa ketika cita-cita bangsa tercapai.
Puncak dari aktivitas
politik PKI dalam narasi sejarah Indonesia adalah ketika ia dianggap oleh
banyak penulis sejarah ingin melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Meski
kemudian anggapan ini juga banyak ditolak oleh sejarawan yang berusaha
meluruskan sejarah. Pada titik inilah berdebatan tentang PKI itu muncul.
Membongkar masalah PKI tidak
pernah selesai karena setiap sejarawan punya interpretasi sendiri atas roman
PKI. Dalam buku-buku sejarah Indonesia, kita disajikan informasi bahwa PKI
telah melakukan pembantaian kyai di berbagai daerah, PKI juga anti terhadap
Islam, PKI melakukan kudeta, dan sebagainya. Ketika menyampaikan bahwa PKI
melakukan pembantaian terhadap Islam (para kyai), ada saja sanggahan jika cerita
itu adalah manipulasi rezim penguasa. Cerita kejamnya PKI bahkan sebagai konspirasi
kelompok anti PKI yang mengatasnamakan PKI. Sejarah aktivitas politik PKI pun
menjadi semakin rumit.
Dalam konteks sejarah
politik Indonesia, satu hal yang pasti tentang PKI, yaitu: PKI tidak bisa
dihapuskan dari sejarah. Menulis sejarah politik Indonesia rasanya sulit untuk
tidak mengulas PKI.