Oleh: Ali Thaufan DS
Sebelumnya saya –selanjutnya penulis- berasumsi bahwa kejadian pada
tahun 2014 yang melekat diingatan masyarakat adalah hiruk pikuk pemilihan
presiden. Bagaimana tidak, pilpres menyisakan kisah suka, duka, riang, gembira,
sedih dan sebagainya. Ternyata apa yang penulis asumsikan tidak sepenuhnya
tepat.
Tahun 2015 tinggal menunggu beberapa hari, jam, menit dan detik
lagi. Penulis sangat yakin bahwa setiap orang punya harapan agar tahun tersebut
menjadi tahun yang lebih baik dari sebelumnya, tahun 2014. Pun demikin dengan
kondisi bangsa ini, bangsa besar Indonesia Raya. Tahun 2014 adalah tangga
menuju cita-cita negara Indonesia. Seperti diketahui, tahun 2014 Indonesia
telah “menakdirkan” presiden dan wakil presiden yang baru, Joko Widodo dan
Jusuf Kalla. Dipundak keduanya cita-cita bangsa ini dipikulkan. “Tahun politik
2014” menyisahkan kisah yang penuh warna-warni seputar pemilu legislatif dan
presiden; kasus hukum (korupsi) yang menyeret sederet pejabat dan elit politik;
serta kebijakan ekonomi –salah satunya menaikkan harga BBM bersubsidi. Diantara
tiga rentetan kisah tersebut, ternyata masyarakat sangat menyoroti kasus hukum,
korupsi.
Dua hari terakhir ini penulis “mantengin” hasil jajak
pendapat yang dirilis harian Kompas, yakni pada 29 dan 30 Desember 2014. Penulis
mencermati bahwa kasus korupsi telah menjadi “Top Of Mind” bagi
masyarakat. Pasalnya, korupsi menjadi sorotan tajam. Hal ini ditandai, pertama adalah
bahwa kasus korupsi lebih banyak dibicarakan. Kedua, masyarakat sangat berharap
agar di tahun 2015 esok pemerintah dapat memberantas kasus korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia telah melukai hati
masyarakat. Hal ini tidak bisa dibantah lagi. Ketika angka kemiskinan –seperti disebutkan
data BPS- terus meningkat, pada saat yang sama tidak sedikit pejabat yang
terlibat kasus korupsi. Seperti sering diberitakan, bahwa para pejabat publik
yang terlibat kasus korupsi memiliki harta yang “never last”. Maka sangat
wajar jika masyarakat marah akibat perilaku korup yang dilakukan koruptor. Setidaknya
hal ini menjadi dasar untuk mengatakan bahwa perilaku korupsi secara tidak
langsung membuat ketimpangan kesejahteraan dan kesenjangan sosial. Uang rakyat
yang seharusnya dinikmati rakyat baik dalam bentuk bantuan atau pembangunan infrastruktur
telah dijarah oleh mereka, para koruptor.
Beragam tawaran hukuman bagi koruptor pun bermunculan. Sebagian orang
menawarkan hukum mati koruptor; miskinkan koruptor; cabut hak politik koruptor;
hukum seumur hidup koruptor, bahkan tembak mati koruptor, serta lain sebagainya.
Hal ini semakin menguatkan bahwa perilaku korupsi adalah benar-benar merugikan
masyarakat, serta melukai mereka.
Sebelumnya, harian Kompas merilis jajak pendapat Kompas yang menyebutkan
bahwa hukuman yang diberikan bagi koruptor 89,3 persen tidak membuat jera; 7,9
persen memberikan efek jera dan 2,8 persen tidak mengetahui. Terkait bentuk
hukuman yang dapat membuat jera, jajak pendapat Kompas menyebut 45,4 persen
dipenjara dan dimiskinkan; 25,7 persen hukum mati; 22 persen penjara seumur
hidup; 5 persen tidak tahu; dan 1,9 persen lain-lain (Kompas 8/12/2014).
Jajak pendapat di
atas juga menginformasikan persepsi perilaku koruptif di masyarakat. Perilaku
menyontek di kalangan pelajar, 77,3 persen tersebar luas; 15,2 persen belum
tersebar luas dan 7,5 persen tidak tahu. Korupsi waktu dikalangan pegawai 81,9
persen tersebar luas; 12 persen belum tersebar dan 6,1 persen tidak tahu.
Hukuman yang tidak
membuat jera ini yang disinyalir terus memunculkan koruptor-koruptor baru.
Ibarat pepatah “Patah tumbuh hilang berganti”, pun demikian dengan korupsi.
Satu kasus terungkap, muncul kemudian kasus berikutnya. Karena hukuman dianggap
tidak membuat jera, maka jumlah koruptornya terus bertambah. Indonesia
Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama semester pertama tahun 2014, telah
terjadi 308 kasus korupsi. Sebagian besar kasus tersebut menjerat pejabat dan
pegawai pemerintahan daerah dan kementerian.
Harian Jawa Pos pada 10 Desember 2014 mengabarkan selama
berdirinya KPK selama 10 tahun, jumlah korupsi yang dilakukan anggota DPR dan
DPRD sebanyak 75; Wali Kota/Bupati dan
Wakilnya 42; kepala lembaga/kementerian 19; Gubernur 12; Komisioner 7; Duta
Besar 4; PNS I,II,III 115; Hakim 10; Swasta 106 dan lain-lain 48. Hal tersebut
yang tentunya menjadi “pekerjaan rumah” bagi KPK.
Pada tahun 2015 esok masyarakat tidak ingin lagi
mendapati kasus korupsi terjadi di Indonesia. Tidak boleh adalah lagi pejabat
negara, elit politik serta pengusaha yang terlibat korupsi dan suap menyuap. Aparat
penegak hukum perlu mengambil tindakan preemtif, bukan melulu tindakan
represif yang dikedepankan dalam penanganan korupsi. Dibawah “nahkoda”
Jokowi-JK masyarakat berharap pula agar Indonesia ini menjadi Indonesia Raya.