Pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 20 Mei sebagai Hari
Kebangkitan Nasional. Disusul tanggal 21 Mei sebagai Hari Reformasi. Kedua
tanggal di atas menjadi bagian sejarah Indonesia, terlebih bagi para pelaku,
actor gerakan reformasi 1998. Kini, 14 tahun sudah reformasi bergulir. Pasca
reformasi, banyak pihak yang merasa diuntungkan dengan tumbangnya rezim
otoriterianisme ala Pak Harto. Demikian juga sebaliknya, tidak sedikit yang
mengecewakan reformasi karena Indonesia tetap “gini-gini aja”, jauh dari cita-cita
reformasi.
Agenda reformasi 1998 sangat erat dengan upaya melengserkan
Presiden Suharto dari tahta nya, sebagai orang nomor wahid di Indonesia.
Menurut Ali Yafi, definisi reformasi cukup sederhana, Pak Harto turun.
Nurchalis Majid, Abdurrahman Wahid dan Amin Rais adalah bagian dari kalangan
tokoh bangsa yang turut mendesak turun Pak Harto. Hampir semua orang pintar
–cendekiawan- bangsa ini pada waktu mengamini dan menginginkan hal itu.
Proyek reformasi 98 memang focus pada upaya penurunan Pak Harto dari
jabatannya sebagai Presiden. Akan tetapi agenda atau proyek reformasi 14 tahun
silam tidak sesederhana itu. Karena, jika dikatakan bahwa reformasi adalah
upaya untuk menurunkan Pak Harto, maka agenda reformasi telah usai pasca 21 Mei
1998. Dimana kala itu ia (Pak Harto) secara resmi dan terbuka mengundurkan
diri.
Beragam alasan dalam tuntutan turunnya Pak Harto. Praktik KKN
barangkali yang menjadi alasan utama. Selain juga isu tentang kejahatan HAM,
hanya, tampaknya kurang banyak disentuh. Kasus ini menjadi bagian dari proyek
reformasi 98 yang harusnya diselesaikan pemerintah. Akan tetapi, mengenai
praktik KKN, Pak Harto beserta seluruh keluarganya, kroni dan pengikutnya
dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh Presiden periode SBY-JK.
Jika dilihat satu dari dua kasus diatas (korupsi dan kejahatan
HAM), maka hari ini bangsa Indonesia agaknya berat untuk mengatakan “Reformasi
telah selesai”. Mungkin yang ada adalah “Reformasi kita tak terselesaikan”.
Persoalan atau kasus korupsi tidak kunjung lenyap dari mata dan telinga kita.
Berita terkait kasus tersebut selalu saja dapat kita lihat dan dengar. Korupsi
hampir meliputi aspek pemerintahan, tidak hanyak di pusat, tetapi di daerah pun
demikian. Pejabat Negara yang terjerat kasus korupsi masih dapat tersenyum
didepan public sambil berdalih ia terjebak dalam scenario politik; tidak tahu
menahu tentang uang dan berbagai alasan lainnya. Apakah para pejabat Negara ini
sudah tidak bisa membedakan mana uang “terima kasih” dan uang korupsi?. Mana
uang rakyat dan uang upahnya?.
Selama
kasus korupsi masih menjangkit para pejabat Negara ini dan persoalan kejahatan
HAM, maka selama itu pula bangsa ini gagal mewujudkan cita-cita reformasi 1998.