Pendahuluan
Saat ini orang sangat mudah memberi label orang lain atau bahkan kelompok lain “tersesat” baik secara teologis maupun praktis. Terlebih apabila stereotip didasarkan karena perbedaan penafsiran dalam al-Qur’an (Tafsir al-Lubab al-Ta’wîl fi Ma’ani al-Tanzîl, Tafsir al-Kasysyaf dan tafsir al-Kasyfu wal Bayân an Tafsîr Qur’ân).
Dalam keyakinan kaum Muslim, al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang tak perlu diragukan lagi, yang dipandang para ulama memiliki kebenaran yang mutlak.[1] Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.[2] Hal ini yang menjadikannya memiliki nilai-nilai yang bersifat universal, dimana setiap manusia mendapat hikmah dan pelajaran darinya.
Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atasnya, selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Oleh sebab itu, ia selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasi dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Beberapa metode tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari al-Qur’an.[3]
Secara historis, usaha-usaha untuk menginterpretasi Al-Qur’an telah ada sejak masa Nabi, hal ini ditandai dengan adanya beberapa sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang beberapa lafadz dan makna dalam ayat al-Qur’an yang tidak di mengerti, mengingat Nabi adalah sosok central yang menjadi rujukan umat,[4] dengan kata lain beliau adalah seorang Nabi sekaligus mufassir utama al-Qur’an, Sebagaimana firman Allah swt. Q.,s/ al-Nahl: 44
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan ilmu tafsir sejak 14 abad silam telah banyak menghasilkan berbagai macam kitab-kitab tafsir yang ditulis baik ulama klasik maupun kontemporer. Kenyataan ini tentunya harus diakui sebagai kekayaan khazanah ilmiah yang begitu berharga. Ratusan atau bahkan ribuan kitab tafsir membahas serta mencoba untuk mengupas kandungan dan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
Keragaman dan heterogenitas penafsiran menjadi sebuah fenomena yang lumrah, tetapi perbedaan tersebut dalam kenyataan seringkali dijadikan sebagai ajang untuk saling menjatuhkan serta memperoleh melegitimasi kebenaran tafsir, sehingga pada akhirnya, pihak-pihak yang dekat dan mendapat dukungan atau legitimasi dari sebuah pemerintahan akan memenangkan persaingan tersebut, oleh sebab itu objektivitas kebenaran sebuah penafsiran ditentukan oleh sejauh mana ia memberikan dukungan kepada rezim, sebaliknya penafsiran-penafsiran yang jauh serta cenderung bertentangan dengan kemauan penguasa dianggap sebagai sebuah penyimpangan penafsiran. Nasr Hamid Abu Zaid menambahkan, bahwa dalam era sekarang, pemikiran keagamaan tunduk pada nafsu penguasa, peran ahli fiqh berubah dari mementingkan kepentingan umum menjadi peran melegitimasi dan memperhatikan kepentingan kelas-kelas penguasa.[5]
Muhammad Husein al-Dzahabi, seorang pakar dalam bidang ilmu tafsir, memaparkan bahwa dengan berbagai sistem, orientasi dan berbagai metode, terdapat banyak distorsi dalam memahami nash-nash Qur’an. Juga banyak deviasi makna yang bukan saja dengan bahasa (Arab) yang benar, tetapi juga menghilangkan keindahan Al-Qur’an itu sendiri, bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran pokok Islam.[6] Dalam hal ini penulis berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyebabkan Dzahabi mengeluarkan statement yang demikian. Karena dalam bukunya yang berjudul Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, ia banyak melakukan kritik-kritik beberapa kitab tafsir. Lebih dari sekedar mengkritik ia juga menganggap tafsir itu menyimpang “sesat”. Kritik tersebut sebagai kelanjutan dari ketidaksamaan penafsiran baik Dzahabi dengan mufassir, atau dengan mayoritas mufassir umumnya
Upaya untuk menyelaraskan al-Qur’an dengan zaman menjadi tuntutan Muslim. Sehingga aka nada harmonisasi antara keduanya. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam, dan seluruh ajaran Islam telah termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis. Tidak menutup kemungkinan pada era yang akan datang akan terus bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai metode dan corak penafsiran yang berbeda.
Metode Tafsir: Garis Kebebasan dan Pembatasan Penafsiran
Segala sesuatu (amal perbuatan) yang diperintahkan Allah, seluruhnya terkandung dalam al-Qur’an. Jika diperhatihan serta dihayati, al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk merenungkan dan berpikir terhadap ayat-ayat Allah. Serta melarang sekedar mengikuti tradisi lama tanpa dasar. Inilah barangkali yang mendorong setiap manusia untuk berpikir, menggunakan akal pikiran untuk memahami sebuah realitas dan ayat-ayat Allah (al-Qur’an).
Setiap hasil perenungan dan pemikiran seseorang tidak hanya dipengaruhi dari kecerdasannya saja, tetapi juga disiplin ilmu yang ia tekuni dan keadaan sosial-politik yang terjadi. Maka pemikiran seseorang akan berbeda antara satu dengan yang lain, sesuai dengan ilmu yang menjadi bidang keahlian dan keadaan yang mengitarinya. Setiap Muslim yang membaca al-Qur’an pasti ingin mendapatkan makna yang terkandung didalamnya. Dan cara yang efektif adalah dengan membaca serta memahami kitab-kitab tafsir. Pembacaan dan pemahaman tersebut tentulah berbeda-beda, karena masing-masing kitab tafsir tersebut memiliki metode dan corak yang berbeda. Dari sini, seseorang tidak ada yang menghalangi untuk membaca dan kemudian memahami al-Qur’an. Karena itu sudah diperintahkan al-Qur’an sendiri. Ini merupakan konsekuensi logis dari perintah di atas. Sehingga perbedaan pendapat atas pemahaman dan penafsiran pun harus kita terima selama itu masih dilakukan dengan penuh tanggung jawab.[7]
Menurut Ibn Abbas sebagaimana diriwayatkan al-Tsauri, ia menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian, pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. Kedua, yang dapat dimengerti oleh semua orang. Ketiga, yang dimengerti oleh orang tertentu saja (ulama). Keempat, hanya Allah yang mengetahui.[8]
Apa yang dinyatakan oleh Ibn Abbas di atas mengandaikan bahwa di tengah-tengah kebebasan yang penuh tanggung jawab, setiap Muslim yang memahami atau bahkan menafsiri al-Qur’an juga ada batasan-batasannya. Atas dasar ini, para ulama menetapkan persyaratan bagi mufassir, diantaranya adalah, memiliki akidah yang benar; bersih dari hawa nafsu; terlebih dahulu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, jika tidak didapati maka menafsirkan dengan hadis, kemudian dengan penjelasan sahabat dan tabi’in; memiliki pengetahuan bahasa Arab; memiliki pengetahuan ilmu-ilmu al-Qur’an; dan memiliki pemahaman yang cermat.[9]
Para ulama klasik telah banyak membicarakan tentang ilmu-ilmu yang menjadi perangkat untuk menafsirkan al-Qur’an, yaitu: ilmu Bahasa, ilm Nahwu, ilm Sharaf, ilm Balagha -yang mencakup ma’ani, bayan, badi’-, ilm Qirâ’at, ilm Ushûluddîn, ilm Ushul al-fiqh, ilm Asbâb al-Nuzul, ilm Naskh wa Mansûkh dan ilm Mauhabah.[10] Singkatnya, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an harus memiliki pengetahuan serta menguasai kaidah-kaidah ulum al-Qur’an. Disamping itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan menyangkut penafsiran yang dilakukan para mufassir, khususnya dalam tiga bidang yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan bahasa.[11]
Seorang penafsir al-Qur’an memiliki tugas yang amat berat. Karena yang ia tafsirkan bukanlah kata atau kalimat-kalimat manusia, melainkan Kalamullah. Maka, bagi seorang yang hendak menafsirkan al-Qur’an untuk menguasai dengan baik kaidah tersebut di atas. Karena tidak bisa dibayangkan jika setiap orang mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tanpa pengetahuan yang baik, maka yang terjadi adalah kerancuan-kerancuan.[12]
Menyikapi Fenomena Perbedaan dan Penyimpangan Tafsir al-Qur’an
al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Namun apa yang terkandung didalamnya juga menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Hal ini terbukti dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menyeru pada sekalian manusia “Wahai manusia”. Menurut penulis, kalimat ini mengandaikan bahwa setiap orang (seluruh manusia) akan senantiasa mendapat petunjuk, peringatan, pengetahuan yang kesemuanya bersumber dari al-Qur’an. Petunjuk, peringatan dan juga pengetahuan itu akan didapati dengan membaca dan merenungkannya isi al-Qur’an. Hasil pembacaan dan perenungan atas al-Qur’an dari sekian banyak manusia ini tentu tidaklah sama. Pesan yang ditangkap dari al-Qur’an berbeda-beda. Tidak hanya agama lain yang memandang perbedaan, namun antara umat Islam sendiri juga terdapat banyak perbedaan-perbedaan dari pembacaan yang kemudian menjadi pemahaman.
Perbedaan menafsirkan al-Qur’an sudah muncul sejak awal perkembangan Islam (abad pertama, kedua dan ketiga). Kitab-kitab tafsir yang muncul pada waktu itu mengacu pada inti kandungan al-Qur’an. Tidak ada perhatian khusus tentang ilmu Nahwu, I’rab dan tidak ada pula kajian mengenai lafazh, susunan kalimat, majaz, itnab. Apa yang dilakukan para mufassir pada masa itu adalah tidak lepas dari perkembangan ilmiah tentang tafsir pada masa itu. Kemudian kondisi yang demikian berubah pada masa-masa berikutnya. Semakin bertambah dan meluasnya interaksi umat Islam dengan non Muslim (perluasan daerah), maka para mufassir memerlukan ilmu tentang bahasa yang telah dibukukan sebagai perangkat bantu dalam menafsirkan al-Qur’an.[13]
Kitab-kitab tafsir dengan berbagai ilmu penopangnya –cabang ilmu interdisipliner yang menjadi perangkat dalam tafsir- akan terus berkembang sejalan dengan berkembangnya ilmu ilmu pengetahuan modern dan perkembangan kualitas keilmuan para mufassir.
Perbedaan-perbedaan penafsiran sejak awal perkembangan Islam hingga sekarang harus dipahami sebagai usaha positif para mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Namun pada kenyataannya, banyak kalangan Muslim yang memberikan klaim-klaim benar atau salah terhadap kitab-kitab tafsir. Sebagian kelompok mengatakan bahwa “tafsir fulan” adalah benar, sedangkan yang lain salah dan menyimpang. Atau dalam bahasa yang “ekstrem” mereka mengatakan “tafsir sesat”.
Adalah sebuah kewajiban bagi umat Islam meyakini sesungguhnya ajaran yang tertulis dalam kitab sucinya adalah kebenaran yang bersifat absolute dan harus diyakini secara utuh. Namun hal tersebut menjadi sebuah masalah tatkala suatu penafsiran terhadap kitab suci dikatakan menyimpang dan keluar dari koridor ketentuan. Bahkan banyak pengkaji yang secara despotik melakukan kritik atas penafsiran yang sudah kanonik, tanpa mengetahui kaidah ilmu tafsir. Inilah yang kemudian mendorong justifikasi-justifikasi yang bersifat parsial.
Dalam teori sosiologi, penyimpangan dapat didefinisikan sebagai tindakan yang tidak sesuai atau berlainan dari norma-norma sosial. Melalui norma-norma sosiallah masyarakat mendefinisikan penyimpangan, dan karenanya penyimpangan muncul dari perspektif masyarakat. Akan tetapi keliru pula untuk melihat penyimpangan semata-mata sebagai ketidakpatuhan terhadap norma-norma. Boleh jadi, orang yang dikatakan sebagai penyimpang adalah mereka yang memilih standar bagi dirinya sendiri yang berbeda dengan standar orang lain.[14]
Jika kita tarik dalam wilayah penafsiran, penyimpangan tafsir adalah sebuah upaya penafsiran terhadap nash al-Qur’an yang tidak sesuai atau berlainan dari norma-norma penafsiran para mufassir pada umumnya. Namun penyimpangan-penyimpangan yang dituduhkan kepada seorang mufassir tertentu tidak menentukan ia (mufassir) tersebut menyimpang bagi dirinya sendiri atau bahkan orang lain.
M. Anwar Syarifuddin, dosen Ulum al-Qur’an Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta menjelaskan bahwa kata “penyimpangan” pada hakekatnya cenderung provokatif, mengandaikan pembacanya untuk menjadi seorang juri yang memiliki otoritas dalam menetapkan sebagian tafsir sebagai objek “yang benar” dan sebaliknya. Kenyataan ini didasarkan pada realita, bahwa paham keagamaan yang diikuti kelompok mayoritas dalam hal ini “ahlu sunnah” diposisikan sebagai pemegang otoritas “kebenaran” atas nama jumhur ulama yang mempunyai kesamaan pendapat. Dari sinilah, jumhur ulama diberikan hak untuk menetapkan prinsip-prinsip standar yang menjadi ukuran “ortodoksi”, akibatnya, pandangan yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh mereka dianggap sebagai bentuk “penyimpangan”.[15]
Sebagaimana yang penulis singgung di atas, bahwa perbedaan atas penafsiran tidak dapat terelakkan. Ini tidak lepas dari konteks pada masa sekarang. Ketika banyak hal yang tidak terjadi pada masa Nabi, dan hal itu terjadi pada masa sekarang, maka perlu menafsiri ulang kitab-kitab tafsir yang telah ada.
Husain al-Dzahabi, melalui karyanya Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm: Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, memaparkan beberapa kekeliruan dan penyimpangan para mufassir. Hal ini terkesan menghakimi, karena beberapa kitab tafsir (Tafsir al-Lubab al-Ta’wîl fi Ma’ani al-Tanzîl, Tafsir al-Kasysyaf dan Tafsir al-Kasyfu wal Bayân an Tafsîr Qur’ân) ia anggap menyimpang. Namun kitab-kitab tafsir tersebut banyak menjadi rujukan para mufassir sesudahnya,[16] dan sudah semestinya jika kitab tafsir itu dianggapnya menyimpang dan menyesatkan maka ia tidak layak berada di rak-rak perpustakaan karena nantinya dapat membahayakan pada pembacanya. Namun, kitab-kitab tersebut masih terdapat di beberapa perpustakaan pesantren, perguruan tinggi dan perpustakaan umum.
Ada beberapa poin yang ingin penulis garis bawahi mengenai penjelasan buku Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân tentang penyimpangan. Dimana pada bab penyimpangan tafsir kalangan pembaharu,[17] Dzahabi memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan kalangan pembaharu mengenai ayat hukum potong tangan bagi pencuri dalam Q,.s al-Maidah: 39
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Barangkali penulis juga sepakat atas sanggahan Dzahabi terhadap sebuah artikel berjudul al-Tasyri al-Misri wa Silatuhu bi al-Fiqh al-Islami,[18] dimana penulis artikel tersebut menyebutkan bahwa kata (فَاقْطَعُوا ) fi’il amar (kata kerja perintah) yang terdapat pada ayat hukum potong tangan dipahami dan diartikan sebagai sebuah kebolehan. Hal ini akan menjadi keganjalan.
Dalam menyikapi masalah hukum potong tangan ini, penulis mengacu pada kitab-kitab tafsir kontemporer dan beberapa riwayat. Sebagaimana menurut Wahbah Zuhaili, bahwa hukum potong tangan mesti ditegakkan demi tercapainya kemaslahatan. Namun perlu diperhatikan juga kadar barang yang dicuri, sehingga kapan seorang pencuri layak mendapat hukum potong tangan sebagaimana yang diperintahkan Allah pada surat di atas. Karena banyak hadis yang menyebutkan batasan/kadar barang yang dicuri, sehingga si pencuri harus dihukum potong tangan.[19] Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim
عن أبي هريرة قال قال رسول الله )صلى الله عليه وسلم( لعن الله السارق يسرق البيضه فتقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده
Hadis di atas menyebutkan bahwa sedikit atau banyak barang yang dicuri, hukum potong tangan harus ditegakkan. Sedangkan dalam riwayat yang lain menyebutkan hukum potong tangan berlaku bagi pencuri yang telah mencuri pada batasan seperempat dinar atau tiga dirham.
عن عائشة قالت كان رسول الله يقطع السارق في ربع دينار فصاعداً
Sementara menurut Quraish Shihab, perlu memahami dulu kata السارق as-sâriq/pencuri, kata tersebut memberi kesan bahwa yang bersangkutan telah berulang-ulang kali mencuri, sehingga wajar dinamai pencuri. Jika dipahami demikian, maka seseorang yang baru sekali atau dua kali mencuri belum wajar dimanai pencuri, dan dengan demikian ia belum atau tidak dikenai sanksi yang disebut pada ayat ini. Lebih lanjut Quraish menjelaskan bahwa perlu dilihat juga keadaan si pencuri pada saat melakukan pencurian. Jika ia dalam keadaan terdesak seperti keadaan pada musim-musim paceklik, maka hukuman potong tangan dapat diganti dengan hukuman yang lebih ringan. Karena apa yang dijelaskan ayat ini dipahami sebagian ulama sebagai hukuman yang paling tinggi. Sahabat Umar juga tidak pernah menghukum orang pencuri dengan hukum potong tangan ketika dalam keadaan paceklik atau pada masa krisis.[20] Dan perlu penulis tegaskan bahwa bukan hukuman atas pencuri yang dihilangkan, melainkan adanya keringanan.
Selain penafsiran dikalangan pembaharu yang dianggap oleh Dzahabi menunjukkan banyak penyimpangan, penafsiran kalangan sejarahwan pun juga demikian. Ia menilai bahwa kisah-kisah israiliyat yang dikutip oleh Abu Ishaq Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Tsa’labi dalam bukunya al-Kasyfu wal Bayân an Tafsîr Qur’ân banyak terdapat penyimpangan. Yang demikian juga terdapat dalam Tafsir al-Lubab al-Ta’wîl fi Ma’ani al-Tanzîl karya Alaudin Abdul Hasan Ali ibn Muhammad ibn Umar ibn Khalil al-Syaihi al-Baghdadi atau yang terkenal dengan sebutan al-Khazin.
Penyimpangan kedua mufassir tersebut didasarkan pada jumlah kisah israiliyat sangat banyak yang mereka kutip, sehingga berpengaruh amat jelek terhadap tafsir. Dzahabi juga memaparkan bahwa terdapat disorientasi dalam pengutipan kisah-kisah israiliyat, hal ini tidak seperti apa yang dilakukan para sahabat ketika mengutip kisah-kisah tersebut. Yakni para sahabat senantiasa memperhatikan batas kebolehan yang ditentukan Nabi.[21]
Setidaknya dalam menyikapi kisah israiliyat agar tidak mempercayai sepenuhnya dan menganggapnya bohong belaka. Sebagaimana sabda Nabi “Jangan kamu percaya sepenuhnya informasi dari ahlu kitab, dan jangan pula menyalahkan mereka. Tetapi katakanlah kami beriman kepada Allah dan apa yang diwahyukan kepada kami.”[22] Dalam penjelasan akhirnya, Dzahabi menginginkan adanya kitab tafsir yang benar-benar bersih dari kisah israiliyat yang mengandung kebohongan. Pernyataan Dzahabi barangkali perlu dikaji ulang, yakni tentang status kisah israiliyat dalam penafsiran al-Qur’an. Bahwa tidak semua kisah-kisah israiliyat adalah kebohongan begitu juga sebaliknya. Apa yang tertera dalam kitab-kitab sebelum al-Qur’an (injil dan taurat) juga terdapat dalam al-Qur’an. Karenanya, al-Qur’an disebut kitab yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya.
Penutup
Beragam kitab tafsir telah ada pada masa sekarang. Dengan berbagai metode dan corak yang digunakan para mufassirnya. Heterogenitas ini meniscayakan adanya perbedaan dalam kitab-kitab tersebut. Respon sarjana Muslim atas keragaman pun juga bermacam-macam. Kritik dan saran saling melengkapi. Dzahabi barangkali satu dari sekian banyak ahli tafsir yang menyikapi masalah keragaman ini. Maka, diperlukan sikap saling terbuka, menghargai dan tidak saling menjatuhkan.
Teori kerangka yang digunakan Dzahabi juga tidak semua dapat dibenarkan dan disalahkan. Namun dapat terlihat bahwa adanya cita-cita untuk memunculkan tafsir yang dapat diterima setiap golongan. Bagaimanapun juga mufassir yang dianggap meyimpang oleh Dzahabi telah berusaha (ijtihad) untuk menjelaskan serta mengungkap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Sehingga karya tersebut patut mendapat apresiasi, yakni dalam bentuk kritik kontruktif sehingga kekayaan ilmiah tetap terjaga dan berkembang.
Wallahu a’lam bi shawab
Daftar Pustaka
Al-Syirbashi. Ahmad. Sejarah Tafsir Qur’an. Pustaka Firdaus. 1994
Al-Aridl. Ali Hasan. Târikh Ilm Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn. pent Ahmad Arkom. Jakarta: Raja Grafindo Persada 1994
Al-Zarkasy. Badruddin Muhammad ibn Abdullah. al-Burhân Fi Ulûm al-Qur’ân. Kairo: Dar al-Hadis. 2006
Baljon, J,M,S. Tafsir Qur’an Muslim Modern. Pen.t A. Ni’amullah Mu’iz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991
Departemen Agama RI. Mushaf al-Qur’an Terjemah. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2002
Al-Barry. Dahlan. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Arkola. 1994
Al-Banna, Gamal. Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern. Pent. Novriantoni Kahar. Jakarta: Qisthi Press, 2004
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Dâr al-Hadîtsah, 2005.
____________. Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an. Pent. Hamim Ilyas-Machnun Husain. Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993
____________. Israiliyat Dalam Tafsir dan Hadis. Pent. Didin Hafidhuddin. Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa
Hamid, Nasr Abu Zaid. Mafhûm al-Nash Dirasah fi Ulûm al-Qur’ân. Pent. Khoiran Nahdliyyin, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005
Al-Qaththan. Manna al-Khallil. Mabahis fi Ulum al-Qur’an. pent Muzakris AS. Bogor: Lintera AntarNusa. 1992
Razak, Yusran. Sosiologi Sebuah Pengantar, tinjauan pemikiran sosiologi perspektif Islam. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama
Shihab, Muhammad Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994
____________. Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Shihab, Umar, MA. Kontekstualitas Al-Qur’an, kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: Penamadani 2003
Ushama, Thameem, Methodologies of the Qur’anic Exegesis Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Kajian Kritis Objektif & Komprehensif, pent Hasan Basri-Amroeni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000)
Zuhaili. Wahbah. Tafsîr al-Munîr, Fi al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Beirut-Libanon: Dâr al-Fikri. dan Damaskus-Suriah: Dâr al-Fikr. 1991 M/1411 H [1] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm1
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 172
[3] Prof. Dr. Umar Shihab, MA, Kontekstualitas Al-Qur’an, kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2003), hlm 3
[4] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Dâr al-Hadîs, Kairo, 2005), hlm. 46-7
[5] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûm al-Nash Dirasah fi Ulûm al-Qur’ân, pent Khoiran Nahdliyyin, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 304
[7] M. Quraish Shihab, hlm 76
[8] Badruddin Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasy, al-Burhân Fi Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Hadis, 2006) hml 426-7
[9] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fi Ulûm al-Qur’ân, pent Muzakris AS, (Bogor: Lintera AntarNusa, 1992), hlm 457
[10] Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, (Pustaka Firdaus, 1994) hlm 25
[11] M. Quraish Shihab, hlm 80
[12] Ahmad al-Syirbashi, hlm 23-30
[13] Ali Hasan al-Aridl, Tarikh Ilm Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, pent Ahmad Arkom, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) hml 23
[14] Dr. Yusran Razak, MA, Sosiologi Sebuah Pengantar, tinjauan pemikiran sosiologi perspektif Islam, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama) hlm. 204-5
[15]http://muslihfatnyhoni.blogspot.com/2009/12/penyimpangan-dalam-tafsir.html. diunduh pada 22 Desember 2010
[16] Hal ini banyak diakui para mufassir, seperti apa yang dikemukakan Wahbah Zuhaili dalam muqaddimah kitab tafsirnya “Tafsîr al-Munîr, Fi al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj”. Ia banyak merujuk pada beberapa kitab tafsir sebelumnya, diantaranya adalah tafsir al-Kasysaf karya Zamakhsyari. Ia banyak mengutip dari sisi-sisi kebahasaan Zamakhsyari.
[17] Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, hlm 125
[18] Artikel mingguan al-Siyasah yang terbit pada 20 Februari 1937, halaman 6. Namun Dzahabi tidak menyebutkan nama penulis artikel tersebut.
[19] Wahbah az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, Fi al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj (Beirut-Libanon: Dâr al-Fikri, dan Damaskus-Suriah: Dâr al-Fikr, 1991 M/1411 H ) Juz 6, hlm 177-182
[20] M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati) hlm 92-94
[21] Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Ittijâhu al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, hlm 21-37
[22] Thameem Ushama, Methodologies of the Qur’anic Exegesis, pent Hasan Basri-Amroeni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000) hlm 36. Lihat Sahih Bukhari, bab Ma Yajuzu min Tafsir al-Taurat wa Ghairaha. No 7103