Kamis, 30 Juli 2015

Menggugat Masa Orientasi Siswa (MOS)



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Tahun ajaran baru bagi para siswa bisa menjadi momentum yang membahagiakan. Sebagian siswa mungkin merasakan kebahagiaan karena mendapat perlengkapan baru untuk bersekolah seperti: sepatu, tas, buku, sepeda dan lainnya. Alat-alat sekolah yang baru tersebut menjadi cambuk semangat bagi mereka dalam bersekolah. Para wali murid menyambut tahun ajaran baru dengan kesibukan memilih perlengkapan yang akan dikenakan putra dan putrinya. Beberapa toko perlengkapan sekolah “banting harga” guna meraup untung besar di masa tahun ajaran baru. Suasana penuh dengan semangat untuk kembali ke sekolah. Tetapi, suasana tahun ajaran baru juga diwarnai hal-hal yang tidak diinginkan, yakni masa orientasi siswa (MOS) yang melanggar aturan. Tulisan ini berangkat dari pemberitaan berbagai media seputar MOS yang diwarnai pelanggaran. Hal tersebut menuai kritik dari banyak kalangan seperti pakar pendidikan dan juga orang tua siswa.

MOS memang menjadi sesuatu yang menyita perhatian guru dan murid setiap kali pembukaan tahun ajaran baru. Para siswa terutama yang lebih senior ambil bagian untuk “mengembleng” adik kelas mereka yang baru masuk sekolah. Mereka yang menjadi panitia MOS memberikan ragam peraturan khas (bukan peraturan pemerintah) bagi para siswa baru. Diberbagai media cetak dan elektronik, penulis mendapati gambar suasana MOS dibeberapa sekolah yang menampilkan pakaian siswa dengan macam atribut. Pakaian yang digunakan cukup unik tetapi juga aneh. Warna-warni kertas menghiasi pakaian mereka, sepatu yang diikat dengan tali rafia serta kaos kaki “belang-belang”, tak jarang menghiasi pakaian khas MOS dibeberapa sekolah. Keadaan tersebut yang dinilai tidak mencerminkan esensi dari tujuan diadakannya MOS. Atribut yang bermacam-macam tersebut cukup menyibukkan para wali murid.

Di Kota Bandung, MOS diwarnai dengan aksi perpeloncoan siswa baru. Para orang tua murid yang tergabung dalam Forum Orang Tua Siswa Kota Bandung mencatat terdapat dua sekolah tingkat menengah atas yang melakukan perpeloncoan. MOS yang dilakukan diwarnai dengan aksi hukuman fisik bagi siswa. Tindakan tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan pamangku jabatan di Kota Kembang tersebut, termasuk juga Wali Kota, Ridwan Kamil. Hukuman fisik bagi para peserta MOS dapat mengarah pada tindak kekerasan di sekolah. Perilaku kekerasan yang sering kali mewarnai MOS oleh pengamat pendidikan disebut sebagai aksi balas dendam. Para siswa yang melanggar peraturan MOS kerap mendapat hukuman fisik dari senior mereka. Itulah sebabnya MOS selalu sulit dihindarkan dari aksi kekerasan.

Penyelenggaraan MOS sebetulnya telah diatur melalui Permendikbud No. 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru di Sekolah. Dalam pasal 2 peraturan tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa tujuan dari MOS adalah untuk memberikan pengenalan kepada siswa baru tentang lingkungan sekolah, progam-progam di sekolah, cara belajar dan sebagaiannya. Jika dicermati, Permendikbud tersebut memberi garis koridor tentang melaksanaan MOS yang mengarah pada hal-hal positif bagi siswa didik. Bahwa peraturan tersebut melarang keras segala bentuk kekerasan fisik, pelecehan seksual dan kegiatan yang merugikan di dalam MOS.

Dalam menghadapi MOS pada tahun ajaran 2015 ini, Menteri Pendidikan, Anis Baswedan juga secara khusus menghimbau agar penyelenggaraan MOS dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Anis menghimbau kepala daerah dan masyarakat –khususnya orang tua murid- untuk turut serta mengawasi pelaksanaan MOS. Kementerian Pendidikan juga menghimbau agar pelanggaran yang terjadi pada pelaksanaan MOS dapat disampaikan kepada Dinas Pendidikan terkait. Semua itu adalah upaya agar MOS dapat diselenggarakan dengan baik, jauh dari kesan perilaku primitif.

Pada masa yang akan datang, pemerintah perlu merumuskan dan memberlakukan peraturan penyelenggaraan MOS yang lebih baik. Ada banyak hal yang dapat dilakukan para siswa baru di MOS untuk mendorong kreativitas, mentalitas dan bakat mereka. Kegiatan yang bersinggungan dengan lingkungan sekitar sekolah seperti kerja bakti dan bakti sosial sepertinya perlu dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan MOS. Hal tersebut secara tidak langsung mendorong para murid untuk peka terhadap realitas sekitar lingkungan sekolah. Pemerintah harus menetapkan tujuan yang harus dicapai dalam setiap pelaksanaan MOS di sekolah, bukan hanya peraturan semata.

Senin, 27 Juli 2015

“Kemesraan” KIH-KMP Menjelang Pemilihan Kepala Daerah

Oleh: Ali Thaufan DS

Sejak awal pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), masyarakat dipertontonkan dengan perseteruan antarpartai koalisi di DPR. Partai pendukung pemerintah tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan partai “oposisi” pemerintah tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Buntut dari perseteruan tersebut cukup hebat, memengaruhi kinerja anggota dewan; penyusunan alat kelengkapan dewan; serta molornya pengesahan anggaran belanja negara. Bahkan, minimnya undang-undang yang dibuat DPR pada tahun pertamanya dianggap sebagai ekses dari perseteruan KIH dan KMP di dewan.

Perseteruan KIH dan KMP di parlemen sempat menimbulkan gejolak politik. Hal tersebut menghasilkan sikap sentimen parlemen pada pemerintah. Setiap keputusan pemerintah selalu mendapat “ganjalan” di DPR. Pada perjalanannya, muncul kemudian upaya untuk membubarkan KMP demi mulusnya kerja pemerintah. Fakta tersebut dapat dilihat pada konflik internal partai Golkar dan PPP. Dalam internal partai tersebut, terdapat faksi yang mendukung pemerintah begitu juga sebaliknya.

Menghadapi pemilihan kepala daerah yang akan digelar serentak pada 9 Desember 2015, partai politik menjalin koalisi yang tidak terbatas pada KIH dan KMP saja. Ada banyak calon kepala daerah yang didukung baik oleh partai politik dari KIH maupun KMP. Adagium “Dalam politik tidak ada musuh abadi, yang ada kepentingan abadi” sepertinya ada benarnya. Ini terbukti pada partai-partai politik memersiapkan pilkada serentak 2015. Partai politik yang “bermusuhan” di DPR –dengan terbentuknya KIH dan KMP- sepertinya tidak berimplikasi secara signifikan ditingkat daerah. Beberapa partai politik ditingkat daerah justru menjalin kerja sama mereka menjelang pilkada.

Dalam beberapa pencalonan calon kepala daerah, terdapat beberapa partai dari KIH dan KMP bersatu mendukung calon yang diinginkan. Sebagai contoh: pencalonan Airin Rahmi Diani-Benyamin Davnie pada pilkada Kota Tangerang Selatan, didukung oleh partai Golkar, PKS, PAN dan PPP (dari KMP) dan Partai Nasdem dan PKB (dari KIH). Contoh lain juga dapat dilihat pada pencalonan Saan Mutopa sebagai calon Bupati Karawang. Diketahui, Saan merupakan politisi partai Demokrat. Pada pencalonannya, ia didukung partai Golkar dan Gerindra (dari KMP) dan partai Nadem (dari KIH). Anehnya, Saan justru tidak didukung oleh partai yang membesarkannya, Demokrat. Selain kedua contoh di atas, pada pilkada Surabaya, Tri Rismaharini yang menjadi calon dari PDI-P (dari KIH) justru harus berhadapan dengan PKB (dari KIH) yang memilih bergabung mendukung calon lain.

Alasan KIH dan KMP bersatu dibeberapa daerah menjelang pilkada cukup sederhana. Keduanya ingin memenangkan calon yang diusung. Janji yang diobral adalah keinginan memajukan da memerbaiki daerah akan dipimpin kelak. Kemesraan KIH dan KMP ini menurut penulis telah “mengorbankan” rakyat sebagai pemilih. Idealisme partai ditingkat pusat mereka kesampingkan demi kepentingan memenangkan calon kepala daerah. Kemenangan adalah tujuan utama.


Mencermati adanya persatuan KIH dan KMP di beberapa daerah demi menyukseskan pilkada, paling tidak menegaskan bahwa koalisi tersebut dapat berubah, hingga ditingkat pusat sekalipun. Ketika semua kepentingan terakomodir dan tidak ada belenggu yang saling menjerat, bentuk diplomasi akan menjadi pemenang. Contoh nyata akan hal itu mungkin bisa kita dapati pada momentum pilkada serentak Desember 2015. Tentu, masyarakat mengharap “kemesraan” KIH dan KMP di pilkada benar-benar untuk kepentingan rakyat banyak.

Jumat, 17 Juli 2015

Idul Fitri Istana, Ada Yang Beda (Ikhtiar Membaca Political Meaning Idul Fitri Presiden Joko Widodo di Tanah Aceh)



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Saya –selanjutnya penulis- mengira bahwa salah satu yang menjadi daya tarik orang melaksanakan salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal adalah karena presiden Indonesia juga melaksanakan di masjid tersebut. Tetapi pada salat Idul Fitri kali ini –1 Syawwal 1436 H/17 Juni 2015 M- presiden Joko Widodo justru berlebaran atau salat Idul Fitri di Aceh. Ini menyisakan pertanyaan, kenapa presiden memilih berlebaran di Aceh? Dan, tentu saja istana kepresidenan merasakan bedanya lebaran kali ini dengan yang sebelumnya. Istana presiden tak sesibuk menggelar acara selepas salat Idul Fitri. Lebaran presiden Jokowi di tanah Aceh bukan begitu saja diputuskan, ada makna dalam yang bisa digali. 

Tulisan tentang lebaran presiden Jokowi di Aceh ini berangkat dari hasil diskusi penulis dengan Dr. M. Amin Nurdin –senior di Himpunan Mahasiswa Islam yang penulis hormati- pada Idul Fitri kali ini. Sumber-sumber penting serta analisis, penulis dapatkan pada diskusi ringan tersebut. Termasuk juga buku berjudul “Kalla dan Perdamaian Aceh” yang terdapat di rak buku, dan sempat penulis buka walau hanya beberapa halaman. 

Aceh, sebuah wilayah provinsi paling barat Indonesia dikenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”. Sebuah sebutan yang merujuk pada nama kota Mekkah yang identik dengan Islam –karena merupakan kiblat umat Islam. Para penulis sepakat bahwa sebutan tersebut dikarenakan bahwa Aceh adalah pintu masuk penyebaran Islam di Indonesia –sebagian sejarawan menyebut pada abad 15 M. Peter Riddell menulis, seperti dikutip Fachry Ali bahwa sebutan Serambi Mekkah bukan sebutan yang “main-main” bagi masyarakat Aceh. Orang-orang Melayu yang mendominasi Aceh ingin mewarnai dunia Islam. Sebutan Serambi Mekkah juga karena banyaknya ulama-ulama Islam Indonesia yang lahir di Aceh, dan sejak dahulu sudah sangat maju pendidikan Islam. Itulah sebabnya hingga saat ini Aceh dikenal punya nuansa keislaman yang kental.

Tetapi, Aceh yang menjadi tanah kelahiran pahlawan Malayati tidak saja dikenal dengan Serambi Mekkah, tetapi juga Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gerakan “anti-NKRI” tersebut telah memicu konflik berkepanjangan. Sejak rezim Orde Baru hingga Reformasi 1998, berbagai upaya dilakukan guna mendamaikan antara GAM dan NKRI. Cita-cita kedamaian tersebut akhirnya tercapai pada masa presiden Susilo Bambang Yodhoyono dan wakil presiden Jusuf Kalla. Dan, banyak kalangan beranggapan bahwa sosok diantara keduanya yang paling berperan tercapainya kesepakatan damai adalah Jusuf Kalla –yang juga wakil presiden saat ini.

Keputusan presiden Jokowi berlebaran di Tanah Rencong Aceh paling tidak dapat dipahami sebagai upaya penghormatan Jokowi pada Serambi Mekkah tersebut. Jokowi memilih Aceh karena, seperti disebutkan di atas, Aceh punya ciri khas keislaman yang kental. Bahkan, di Aceh hukum Islam coba diterapkan. Aceh memiliki hukum regional Undang-Undang, yaitu Qanun antara lain: Qanun N0. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya; Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir; serta Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat.

Berlebaran di Aceh yang dipilih Jokowi juga menunjukkan adanya upaya “tak mau kalah” dengan Kalla, sang wakil presiden. Seperti disebutkan di atas, Jusuf Kalla disebut-sebut sebagai orang yang berhasil membuat perdamaian di Aceh. Jusuf Kalla juga dianggap sebagai orang yang punya kepedulian tinggi saat bencana Tsunami Aceh. Saat itu ia membuat langkah taktis mengatasi bencana dahsyat tersebut. Dengan berlebaran Idul Fitri, Jokowi menyiratkan pesan bahwa ia punya kepedulian terhadap Aceh, ingin melebihi kepedulian Jusuf Kalla.

Paling tidak inilah ikhtiar penulis membaca political meaning Idul Fitri presiden joko widodo di tanah Aceh. Ada makna yang dalam dari kehadiran presiden di Aceh pada Idul Fitri kali ini. Dari sudut pandang agama, ini dapat berarti penghormatan presiden pada Serambi Mekkah. Sedang dari sudut pandang politis, presiden Jokowi ingin menunjukkan bahwa ia tak kalah dengan Kalla (baca: Jusuf Kalla) dalam hal perhatian terhadap Aceh. Disamping itu juga, Aceh yang masih rentan konflik tentu bisa menjadi alasan mengapa presiden harus ber-Idul Fitri di Tanah Rencong tersebut.

Rabu, 08 Juli 2015

Membaca Jihad Konstitusi Muhammadiyah

Oleh: Ali Thaufan DS

Terdapat dua organisasi masyarakat –dengan corak keislaman- besar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Selain keduanya tersebut masih banyak lagi ormas yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Sejarah kemunculan kedua ormas tersebut tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan Indonesia untuk lepas dari kolonialisme, keduanya punya andil besar dalam perjuangan bangsa. Tulisan ini berangkat dari pembacaan gerakan salah satu ormas besar tersebut di atas, Muhammadiyah. Dalam dua hari terakhir, harian nasional Kompas menyoroti Muhammadiyah sebagai gerakan dan kontribusinya terdapat bangsa.

Sejak didirikan pada 1912 oleh Ahmad Dahlan, Muhammadiyah mendapat pengucilan dari masyarakat saat itu. Tidak mudah bagi Dahlan untuk konsisten pada apa yang ia gagas. Yang ia lawan bukan sekedar penjajah Belanda, tetapi juga kemiskinan rakyat Indonesia saat itu, keterbelakangan pendidikan dan tentu saja ajaran Islam yang dianggap menyimpang –praktik tahayul, khurafat dan lainnya. Sempat dijuluki “Kyai Kafir” karena terlibat dalam sekolah Belanda dan melarang orang mengadakan tahlil karena tidak mampu (sahib al-hajat dalam keadaan miskin harta, itulah sebabnya Dahlan melarangnya mengadakan tahlilan). Rintangan berat tersebut mampu dihadapi Dahlan. Dan, terbukti dengan ketulusan dan keikhlasannya, Muhammadiyah hidup sampai dengan saat ini. Tidak sekedar hidup, Muhammadiyah memberi warna dan kontribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Muhammadiyah dikenal sebagai ormas yang memiliki perhatian di bidang pendidikan dan kesehatan. Perhatian itu terbukti dari jumlah sekolah Muhammadiyah dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan yang berjumlah lebih dari 12.000 sekolah. Untuk jumlah perguruan tinggi sebanyak 172. Perhatian pada kesehatan dibuktikan dengan kepemilikan rumah sakit Muhammadiyah, yakni sebanyak 457. (Kompas 7/7/2015). Itulah sebabnya tidak jarang mereka yang “berseberangan” dengan ideologi Muhammadiyah kerap menyebut Muhammadiyah hanya merupakan ormas pendidikan dan kesehatan. Menurut penulis agaknya terlalu sempit pikiran yang “mengerdilkan” gerakan Muhammadiyah karena perhatiannya pada pendidikan dan kesehatan.

Perhatian yang cukup besar pada bidang pendidikan dan kesehatan di Indonesia, membuat Muhammdiyah tidak diragukan lagi berkontribusi kongkrit bagi bangsa ini. Menurut Presiden Sukarno, ormas Muhammadiyah tidak banyak bicara, tetapi lebih banyak bekerja. Hal tersebut yang menurut Sukarno menjadikan Muhammadiyah semakin besar menjadi ormas. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah tak henti untuk turut mendorong Indonesia yang berkemajuan. Salah satu cara yang dilakukan, Muhammadiyah menjadi ormas kritis yang tidak tinggal diam atas penyimpangan-penyimpangan dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia. Penyimpangan yang dimaksud disini adalah adanya undang-undang yang dianggap menyimpang dari ruh Undang-Undang Dasar 1945 dan  tidak memberi keuntungan bagi rakyat banyak. Khusus dalam hal ini, Din Syamsuddin menyebutnya dengan “Jihad Konstitusi”. Jihad bukan semata-mata pergi ke medan perang. Tetapi, daya upaya, pikiran untuk mewujudkan Indonesia yang diridhai Allah adalah bagian dari jihad.

Muhammadiyah berkeyakinan bahwa tersendatnya Indonesia menjadi negara berkemajuan adalah akibat dari adanya undang-undang yang menyimpang dari ruh UUD 1945. Menurut Muhammadiyah, saat ini setidaknya terdapat 115 undang-undang yang dinilai bermasalah dan tidak berpihak untuk kepentingan rakyat, hajat orang banyak Indonesia. Diantara undang-undang yang dianggap menyimpang bagi Muhammadiyah adalah yang bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Oleh karennya, Muhammdiyah dan juga dengan ormas lainnya melakukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dari tujuh undang-undang yang didaftarkan untuk uji materi, baru empat diantaranya yang dikabulkan, yaitu: Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Migas; undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas; dan undang-undang No Tahun 2004 tentang Rumah Sakit. (Kompas 8/7/2015).

Mencermati apa yang dilakukan Muhammadiyah, Jihad Konstitusi tersebut, kita diperlihatkan undang-undang sebagai acuan pengambilan keputusan dan kerja pemerintah ternyata belum berpihak kepada rakyat sepenuhnya. Undang-undang tentang Migas tahun 2011 misalnya, masih dianggap sebagai pemicu liberalisasi dibidang migas. Demikian juga undang-undang tentang Sumber Daya Air yang ternyata membuat rakyat tetap mengalami sulit air, padahal Indonesia sebagai negara maritim (lautan membentang dan mendominasi luas negara).


Gerakan jihad konstitusi Muhammadiyah patut mendapat apresiasi. Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah menempatkan diri untuk menjadi benteng bagi umat atau rakyat Indonesia. Gerakan jihad tersebut patut pula menjadi dorongan bagi ormas lainnya agar berkontribusi secara nyata dan untuk kepentingan jangka panjang. Kedepan, diharapkan Muhammdiyah memberikan kontribusi lebih bagi bangsa ini.