Kamis, 30 April 2015

Air Mata Orang Tua dan Guru



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Saya tidak habis pikir bagaimana perasaan seorang guru dan orang tua yang mengetahui dan atau yang mempunyai anaknya merupakan korban kejahatan seksual. Tentu akan berkecambuk hati dan pikirannya. Anak-anak korban kejahatan seksual –baik laki maupun perempuan- akan mengalami trauma berat yang dapat menyebabkan depresi. Merasa tak punya masa depan. Ini harus menjadi perhatian bagi orang tua untuk lebih “menjaga” anak dari “cyber free”. Juga bagi guru untuk lebih giat menanamkan nilai-nilai luruh kebaikan. Tulisan ini berangkat dari pembacaan media –baik cetak maupun elektronik- atas marak dan ramainya kasus-kasus kejahatan seksual, terlebih menimpa anak-anak terutama usia sekolah tingkat SMP dan SMA.

Para ahli mendefinisikan kejahatan seksual sebagai tindakan yang berkaitan dengan seks seperti tindakan seksual, komentar bernada seksual dan perdagangan seks. Kejahatan seks umumnya berwujud pada tindakan seperti pemerkosaan, perbudakan seks, “hamil paksa” hingga aborsi. Tetapi definisi di atas dinilai belum “jelas” manakala orang yang terlibat aktivitas seks tersebut dilandasi suka sama suka. Melakukan atas dasar cinta. Inilah yang kemudian menyulitkan untuk mendefinisikan kejahatan seks. Aparat penindak juga mengalami kesulitan. Tetapi fakta yang terjadi, kebanyakan kejahatan seks adalah merupakan tindakan seperti tersebut di atas, tanpa didasari suka sama suka. Dan, mayoritas kejahatan ini menimpa anak-anak usia sekolah SMP dan SMA.

Menurut data End Child Prostutition, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia menyebut jumlah korban kejahatan seks terhadap anak-anak sebanyak 18.474 anak. Data ini menurut koordinator ECPAT justru lebih kecil karena masih banyak data-data yang belum terungkap. Kejahatan seksual terjadi umumnya melalui media sosial. Penggunaan situs pornografi semakin hari semakin meningkat. Penelitian ECPAT pada tahun 2014 lalu menyebut bahwa lebih dari 2,5 juta situs yang dibuka setiap harinya adalah situs bermuatan pornografi. (Kompas 30/04/2015).

Media informasi seperti internet yang pada hakekatnya dapat mandatangkan kemudahan, tetapi justru diselewengkan penggunaanya. Dari keterangan dan data-data terkait modus kejahatan seks, para “juragan seks” memanfaatkan akun seperti Facebook, Twitter, Blackberry Mesengger untuk memasarkan bisnis protitusinya. Para mucikari memasang foto “gadis PSK”, sehingga pelanggan dapat segera memesan.

Peristiwa dan data-data di atas patut menjadi perhatian. Negara ini tentu tidak ingin generasi penerusnya dirusak oleh kebebasan, kebebasan seks dan informasi. Semua orang bijak di negara ini tidak ingin Indonesia, yang sedang menghadapi pasar bebas dunia, dimodal generasi muda yang “rusak” karena kejahatan seksual. Orang tua dan para guru wajar saja bila meneteskan air mata tatkala menghadapi kenyataan demikian. Ini bukan soal sepele. Semua pihak harus turut andil tidak hanya urun pikiran, tetapi juga turun tangan. 

Pengawasan atas akses internet mutlak dilakukan. Tidak hanya akun situs “kelompok radikal” saja yang diblokir, tetapi situs-situs dan akun berbau pornografi. Bagi orang tua perlu memberikan pemahaman terhadap anak terkait sejatinya seks secara utuh. Guru juga tak boleh abai. Laboratorium sekolah yang menggunakan fasilitas internet perlu filterisasi atas situs-situs membahayakan.

Selasa, 28 April 2015

Peringatan Konferensi Asia-Afrika, Apa Untungnya Indonesia?

Oleh: Ali Thaufan DS
 

Bulan April 2015 ini akan selalu diingat dalam sejarah bangsa dunia. Pasalnya negara-negara yang tergabung dalam konferensi Asia-Afrika (KAA) memeringati peringatan 60 tahun KAA. Pada 1955 silam, beberapa negarawan Asia dan Afrika tergerak untuk melakukan konferensi, mencetuskan deklarasi anti kolonialisme. Peringatan KAA di Bandung dan Jakarta menjadi momentum bagi negara-negara yang tergabung didalamnya untuk “unjuk gigi” kemampuan negaranya. Tulisan ini hadir mencermati gelaran KAA, hiruk pikuk warga menyambut KAA, hingga pro kontra atas peringatan tersebut serta hasil KAA.


Ulasan pertama yang ingin penulis suguhkan adalah hiruk pikuk warga Bandung dan Jakarta menyambut KAA. Kemeriahan setidaknya dapat dilihat dari banyaknya atribut –seperti umbul-umbul dan bendera-tertuliskan peringatan KAA. Well, ini tentu saja turut membantu para guru untuk menjelaskan sejarah KAA beberapa tahun silam kepada murid mereka. Sebuah edukasi yang bagi penulis sangat penting karena KAA tidak akan pernah terhapus dalam materi kesejarahan bangsa ini. Kota Bandung yang menjadi kota inti dari peringatan ini seperti disibukkan dengan gelaran peringatan KAA. Museum penting diperbaiki agar tidak “malu-maluin” saat dikunjungi oleh para petinggi dari berbagai Negara.


KAA juga turut memberikan keuntungan tersendiri bagi beberapa pelaku usaha. Sebagai contoh, usaha batu akik di kota Garut. Pada peringatan KAA kali ini, pemerintah Indonesia memberikan buah tangan bagi para delegasi sebuah batu akik khas Garut. Seperti diketahui, peringatan KAA kali bertepatan dengan masa-masa demam batu akik yang sedang menjamur di berbagai pelosok Indonesia. 


Selanjutnya penulis ingin sedikit menyoroti seputar pro dan kontra terkait peringatan KAA. Setidaknya ada beberapa alasan yang mengemuka bagi kalangan yang menolak atau mendukung peringatan KAA. Pertama bagi kalangan penolak, menganggap KAA sudah tidak memiliki relevansi ditengah arus global. Perdagangan bebas yang tak terbendung sulit mengeluarkan suatu negara dari kolonialisme model baru saat ini. Kalangan penolak KAA juga beranggapan bahwa KAA hanyak menjadi ajang atau forum penguasa dan kapitalis untuk merencanakan penguasaannya pada suatu negara tertentu. Bahkan, pihak penolak juga beranggapan bahwa peringatan KAA hanya menjadi biang kemacetan di beberapa ruas jalan Ibu Kota Jakarta.


Gelaran KAA 60 tahun silam hadir sebagai penentang kolonialisme. Peringatan 60 tahun KAA saat ini bukan sekadar acara formil semata. Dunia perlu membuka sejarah dan mengingat betapa KAA menjadi tonggak menuju perdamain dunia melalui upaya dekolonialisasi. “Ini acara bukan main-main” begitu kiranya pernyataan yang ingin penulis sampaikan. KAA yang umumnya didominasi negara berkembang perlu menyatukan visi untuk mengangkat harkat dan martabat setiap negaranya. Upaya tersebut hanya menjadi utopi jika mengabaikan kerjasama bilateral antarnegara. 


Selanjutnya adalah sorotan mengenai hasil bagi KAA itu sendiri. Terdapat tiga dokumen penting hasil dari peringatan KAA tahun ini. Pertama, pesan Bandung. Ini berisikan: “Pesan yang visioner, mengedepankan kerja sama yang baru secara nyata, dan revitalisasi penguatan kemitraan Asia Afrika pada solidaritas politik, kerja sama ekonomi, dan hubungan social-budaya sebagai tiga pilar utama.” Kedua, penguatan kemitraan strategis baru Asia Afrika (NAASP). Uraian poin ini adalah: “Penguatan solidaritas, persahabatan, dan kerja sama. Kemudian kajian ulang terhadap kerja sama NAASP selama 10 tahun terakhir, yakni sejak tahun 2015. Kerja sama nyata pada upaya pemberantasan teroris, membentuk jejaring pusat penjagaan perdamaian, mengecam aksi ekstrimisme atas nama agama”. Ketiga, dukungan untuk Palestina, yakni mendukung sepenuhnya kemerdekaan negara Palestina.


Selain hasil di atas, pada peringatan KAA kali ini ada beberapa isu penting yang diangkat oleh para petinggi negara. Presiden RI Joko Widodo secara gamblang memberikan kritik pada lembaga keuangan dunia yakni IMF karena dinggap tidak mampu menjadi solusi ketidakadilan kesejahteraan. Jokowi juga menegaskan dukungan kemerdekaan atas Palestina. Presiden Iran Hassan Rauhani menyerukan kedamaian dan mengecam berbagai tindakan ekstrim teroris. Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang menyuarakan perlu keseimbangan ekonomi, agar tidak didominasi oleh kekuatan penguasa. (Kompas 24/04/2015).


Inilah gambaran mengenai perhelatan peringatan KAA 2015. Hasil kesepakatan dan pesan KAA menjadi catatan tersendiri untuk dinanti pelaksanaanya. Melalui KAA, muncul harapan atas terwujudnya kesejahteraan negara-negara berkembang. KAA harus menjadi pecut semangat para pengambil kebijakan untuk membawa Indonesia menjadi inisiator perdamaian dan kesejahteraan dunia.

Minggu, 26 April 2015

Bisnis Prostitusi dan Pesta Bikini, Tren Baru?

Oleh: Ali Thaufan DS

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan beberapa pertanyaan yang patut direnungkan bersama. Pertanyaan pertama adalah terkait bisnis prostitusi, yakni: jika anda seorang pekerja seks komersil (PSK), apa jawaban anda ketika ditanyai motif menjadi PSK?; Bagaimana posisi anda dalam keluarga, sedangkan keluarga anda mengetahui bahwa anda seorang PSK?; Seperti apa perlakukan anda terhadap tetangga atau teman anda yang menjadi PSK, apakah jika ia mati anda akan mengutuknya? Pertanyaan kedua menyangkut isu pesta bikini yang akan digelar oleh beberapa sekolah tingkat atas pasca ujian nasional, yakni: mengapa kelulusan UN harus disukuri dengan pesta bikini. Inilah beberapa pertanyaan yang patut direnungi karena PSK juga manusia, ia tidak boleh diabaikan haknya untuk hidup “normal”; PSK memerlukan perhatian dari berbagai pihak untuk membantu “meluruskan” hidupnya; serta anak-anak yang akan menggelar pesta bikini, bagaimanapun adalah generasi bangsa, jangan dibenci, jangan dibiarkan, mereka harus “diluruskan”.

Pada pertengahan hingga akhir April 2015, publik diramaikan dengan perbincangan mengenai pembunuhan Deudeuh Alfisahrin –yang akrab disapa Empi-, perempuan yang diduga sebagai PSK dan rencana pesta bikini anak-anak sekolah tingkat atas sebagai perayaan pasca UN. Pembunuhan terhadap Empi oleh seorang pelanggannya cukup menyita perhatian. Hal ini turut membuka tabir bisnis prostitusi via media sosial. Sebetulnya, bisnis “umbar nafsu” bukan hal baru. Gang Dolly yang terletak di Surabaya adalah bukti kongkrit bisnis menjamurnya tersebut. Untuk memberantasnya bukan perkara mudah. Cara-cara kekerasan dan persuasif tampaknya gagal.

Beberapa lembaga dan yayasan melakukan survei terkait dengan motif pada PSK. Hasilnya hampir sama, para PSK “menjual” dirinya demi kepentingan atau karena terdesak ekonomi. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, demi uang mereka melakukan pekerjaan yang beresiko –baik dilihat dari sisi sosial dan agama. Motif PSK yang dikarenakan tuntutan ekonomi juga terkonfirmasi oleh beberapa surat para PSK yang pernah dikirim kepada presiden Susilo Bambang Yodhoyono para tengah 2014 lalu. Surat tersebut berisi keluhan tentang tuntutan ekonomi mereka. Jelas, motif utama PSK adalah tuntutan ekonomi. Mereka umumnya hidup pada garis kemiskinan sehingga melalukan hal apa saja untuk dapat memenuhi hajat hidup. Memang, pada awal 2015 lalu, badan pusat statistik (BPS) membenarkan bahwa angka kemiskinan terus meningkat.

Selanjutnya adalah terkait rencana pesta bikini yang digelar oleh siswa SMA pasca UN. Setidaknya rencana tersebut meski akhirnya dibatalkan, menunjukkan adanya model perayaan UN yang jauh dari nilai-nilai “ketimuran” dan keagamaan. Rencana pesta bikini memperlengkap buramnya wajah pendidikan di Indonesia. Seperti kasus yang sudah-sudah, pelajar seringkali terlibat tawuran antarsekolah, kekerasan, hingga kasus asusila yang dilakukan oleh pelajar dan bahkan seorang guru. Ini seharusnya menjadi perhatian baik orang tua murid, guru dan pemerintah. Mengapa harus dengan cara pesta bikini dalam merayakan UN? Padahal pengumuman kelulusan pun belum disampaikan. Budaya apa yang sedang digandrungi oleh anak-anak sekolah saat ini?


Melihat dua peristiwa di atas, negara harus hadir turut menyelesaikan. Peristiwa di atas bukan hal remeh karena menyangkut hajat hidup seseorang, sisi kemanusiaan dan generasi penerus dan pembaru bangsa. Perlu ada tindakan guna meredam tingginya angka perkembangan PSK dan pemantauan sistem pendidikan formal dan non formal. Bisnis protitusi dan rencana pesta bikini yang menjadi tren baru saat ini harus diutamakan penanganannya.

Senin, 13 April 2015

“Remote Control” Narkoba dari Cipinang



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Hukuman seperti apa bagi para koruptor agar membuat jera? Hukuman seperti apa bagi pengedar narkoba agar membuat jera? Hukuman seperti apa bagi para begal motor agar membuat jera? Ini Indonesia yang dikata negara hukum. Tetapi, dimana tegaknya hukum di Indonesia? Dimana keadilan yang terus dicari? Apakah ia “ngumpet” (bersembunyi) dibalik tebalnya uang dan aparat penegak keadilan itu sendiri? Tulisan ini hadir dari berita yang mengejutkan, tentang peredaran narkoba di lapas Cipinang.

Pada bulan Januari 2015, pemerintah mendapat apresiasi manakala gembong narkoba dihukumi mati. Harapan membesar untuk terus menegakkan hukum bagi para pengedar narkoba. Tetapi, kini –pada bulan April- terjawab sudah, pengedar narkoba bagai tiada jera. Peredaran narkoba justru terjadi di lembaga permasyarakatan Cipinang. Harapan pemberantasan penyalahgunaan narkoba seakan hendak pupus. Hukuman seperti apa yang mesti ditimpalkan kepada pengedar narkoba, jika mati pun tak membuat takut?

Geger berita saat petugas lapas di Cipinang menemukan narkoba jenis baru CC4 terdapat disebut ruang tahanan milik narapidana narkoba. Selain menemukan narkoba, petugas juga menemukan handphone yang diduga menjadi alat memasarkan barang haram tersebut. Mengapa peredaran narkoba justru terjadi di lapas yang sejatinya menjadi tempat menghukum para pengedar narkoba tersebut? Betapa lengah kah penjagaan di lapas, atau ada “main mata” antara petugas dengan narapidana. Peredaran narkoba di sebuah lapas bukan hal baru. Beberapa tahun silam, gembong narkoba, Freddy Budiman juga tertangkap dan terbukti menjadi pengedar narkoba di dalam lapas.

Penyalahgunaan narkoba telah berakibat fatal, terlebih ketika narkoba merasuki kalangan muda-mudi. Barangkali ribuan generasi bangsa telah tersesatkan oleh penyalahgunaan narkoba; terputus sekolah; bahkan terenggut nyawa dalam candu narkoba. Sepatutnya penegak hukum memberi perhatian khusus atas ekses yang ditimbulkan ketika narkoba menjadi “momok” bagi generasi muda bangsa. Jika kejadian peredaran narkoba justru terjadi dalam lapas, ini sepatutnya menjadi kritik keras bagi aparat penegak hukum. Penanganan harus lebih keras, tidak hanya bagi pengedar, tetapi juga para petugas lapas (sipir).

Kontrol atau pengendalian peredaran narkoba harus segera diungkap dan pelakunya dihukumi dengan hukum yang menjerakan. Tindakan pengedaran narkoba dalam lapas tidak bisa dianggap sepele. Ini adalah cerminan bagi pengedar yang masih bebas di luar lapas. Jika dari dalam lapas pengedar masih leluasa memasarkan, dapat dibayangkan apa yang terjadi di luar lapas. Sindikat jaringan narkoba mesti dihentikan. Para petugas lapas perlu direformasi. Bagaimanapun, kejadian di dalam lapas adalah sebuah “kecolongan”, membiarkan para gembong narkoba menjalankan bisnis mereka. Jika kasus ini tak ditangani dengan serius, “remote control” pengendali narkoba akan tetap leluasa. Sebuah kerugian bagi aparat hukum jika keberadaan pengedar narkoba tetap terjadi baik di dalam atau di luar lapas. Integritas penegak hukum untuk memberantas narkoba akan diragukan. 

Bagi semua lapisan masyarakat, kejadian ini menjadi peringatan bahwa narkoba ada dimana-mana –tentu di dalam masyarakat itu sendiri. Tanggung jawab atas generasi cemerlang tanpa narkoba kiat berat. Selain penegak hukum, ini juga menjadi PR bagi orang tua dan guru di sekolah agar memberikan tekanan agar anak didik mereka tak tergerumus dalam pseudo-kenikmatan narkoba.

“Lagi-Lagi” Mega (Membaca Peta PDIP Pasca Kongres Ke-IV)



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Kongres ke-IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Bali pada April 2015 menyisahkan beribu pertanyaan. Tema kongres “Aku Melihat Indonesia” telah mengantarkan Megawati Sukarnoputri kembali menduduki kursi ketua umum. Seperti diprediksi para pengamat politik, Mega akan kembali dikukuhkan sebagai ketua umum mengingat sosoknya yang dianggap sentral di partai berlambang kepala banteng tersebut. Tulisan ini hadir dari pembacaan media atas kongres ke-IV PDIP. Beberapa kejadian mengagetkan terjadi pada kongres tersebut yang tidak mungkin tertutupi, media merekamnya.

Salah satu hal yang menjadi sorotan pada saat kongres adalah pidato sang ketua umum, Megawati. Dalam pidatonya, ia tegas mengatakan bahwa kader partai yang berada di pemerintahan adalah petugas partai. Mega bahkan mempersilahkan kader partainya yang tidak mau dianggap sebagai petugas partai untuk keluar. Ini ia nyatakan dengan tegas. Interpretasi dari pernyataan Mega adalah bahwa para kader yang duduk di kursi pemerintahan dan legislatif, selain menjadi wakil rakyat dan abdi rakyat, juga menjadi petugas partai. Implikasi dari pernyataan tersebut menyiratkan pesan bahwa partai punya kendali kuat kepada kader yang menduduki jabatan publik. Tentu ini sangat disayangkan. Sejatinya, pejabat publik dan wakil rakyat, bukan saja “milik” partai politik, tetapi juga milik rakyat banyak, seluruh Indonesia.

Selanjutnya yang menjadi sorotan penulis adalah kehadiran presiden RI, Joko Widodo yang juga kader PDIP. Sebagai presiden dan kader partai, secara mengejutkan Jokowi tidak diberi panggung untuk menyampaikan sepatah atau dua patah kata sambutan. Oleh kebanyakan pengamat politik, hal ini dianggap sebagai bentuk “penghinaan” terhadap sosok presiden. Sepatutnya, seorang presiden yang menghadiri acara seperti kepartaian mendapat porsi istimewa untuk menyampaikan sambutan, pidatonya. Karena tidak dipersilahkannya Jokowi memberi sambutan, muncul spekulasi adanya hubungan yang tidak harmonis antara ketua umum PDIP Megawati dengan Jokowi –kader dan sekaligus presiden RI.

Satu hal lagi yang menjadi sorotan penulis adalah komposisi dan wajah kepengurusan baru PDIP kedepan, 2015-2020. Pada kepengurusan periode yang akan datang, sejumlah nama “beken” yang menjadi icon tokoh politik PDIP “tersingkir” dari kepengurusan. Mereka yang tidak masuk namanya sebagai pengurus antara lain: Maruarar Sirait, Rieke Diyah Pitaloka, Eva Kusuma Sundari dan Pramono Anung. Padahal, keempat nama tersebut mempunyai sumbangsih besar bagi PDIP, terutama pada saat pemenangan pemilihan presiden 2014 lalu. Selain itu, ketika putri Megawati, Puan Maharani tidak sanggup melakukan komunikasi politik atas perseteruan koalisi merah putih (KMP) dan koalisi Indonesia hebat (KIH), Pramono Anung lah yang mampu menjembatani dan menjalin komunikasi politik beberapa waktu lalu. Ini membuktikan kepiawaian politik seorang Pramono. Tetapi, secara mengejutkan ia tidak lagi masuk jajaran pengurus PDIP periode kedepan. Ada apa ini semua?

Menurut dugaan sementara penulis, pernyataan Mega yang menegaskan bahwa kader PDIP adalah petugas partai yang akan selalu tunduk pada perintah partai –atau katakanlah perintah ketua umum- merupakan penegasan kuasa Mega dalam pemerintahan sekarang. Memang terkesan “arogan”. Mega yang mendapat tekanan pada saat orde baru kini dapat dengan leluasa menggunakan kuasanya ketika memegang tapuk kekuasaan. Pada saat bersamaan, ini justru dapat menjadi “blunder” bagi PDIP. Harus diakui, bahwa kemenangan PDIP saat pemilu lalu juga atas citra Jokowi yang kala itu menjadi “priomadona media”.

Selanjutnya, tidak masuknya nama-nama “beken” di atas, bagi penulis menyiratkan pesan bahwa Mega tidak ingin tergantikan. Tetapi dengan tidak masuknya nama-nama politisi senior PDIP seperti tersebut di atas, sekaligus dapat memberi kesempatan bagi kader muda PDIP untuk berkiprah di dalam kepengurusan. Anak-anak muda kader PDIP mendapat porsi untuk membangun partai memenangkan pemilihan umum yang akan datang. Namun demikian, mereka tidak bisa “ditinggalkan” begitu saja. Perlu ada perlakuan istimewa bagi mereka para kader yang telah berjibaku memenangkan PDIP saat pemilu lalu.