Rabu, 28 Januari 2015

Korupsi dan Pemberantasannya dalam Sejarah Indonesia (Refleksi Penguatan Lembaga Penegak Hukum dalam Pemberantasan Korupsi)

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada Januari 2015, Indonesia digegerkan dengan perseteruan KPK dan Polri. Keduanya saling “tangkap” petinggi di instansi tersebut. Sebetulnya perseteruan keduanya bukan baru sekarang, tetapi juga beberapa tahun sebelumnya. Bahkan muncul istilah Cicak VS Buaya. Sebagian pihak menyayangkan adanya oknum petinggi negara yang berusaha mengamputasi kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. Salah satunya adalah upaya memberedeli para pimpinan KPK, dipolisikan. Tentu saja, ditangkapnya para pimpinan KPK oleh polisi memunculkan spekulasi, yang pertama, polisi benar-benar memberedeli KPK dengan tujuan melemahkan KPK. Kedua, KPK tidak betul-betul “bersih” sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Kuriositas para pengamat adalah ada apa dengan KPK dan Polri?

Tulisan ini hadir dari pembacaan berbagai pemberitaan yang sedang fokus mengulas perseteruan KPK dan Polri. Sejatinya, baik KPK dan Polri sebagai lembaga penegak hukum, keduanya sama-sama berkeinginan memberantas korupsi. Hanya saja, penulis mencermati penegakan hukum yang dilakukan oleh keduanya, untuk saat ini tersandera unsur politik.

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus korupsi terus meningkat. Hal ini didasarkan pada banyaknya kasus korupsi yang terungkap oleh KPK, sekaligus laporan dugaan korupsi yang dilaporkan kepada KPK. Atas banyaknya tersangka korupsi, muncul adagium bahwa korupsi telah membudaya. Sehingga memberantasnya amat sangat sulit. Dalam buku berjudul “Takdir” yang mengisahkan perjalanan perang pangeran Diponegoro, Peter Carey mengulas terjadinya praktik korupsi pada masa itu, utamanya dilakukan pejabat pemungut pajak. Jauh sebelumnya, beberapa sejarawan mencatat kasus korupsi pada masa kerajaan seperti Majapahit dan kerajaan lainnya. (Kompas 28/1/2015).

Guna memberantas korupsi, negara tidak tinggal diam. Dalam sejarah Indonesia, beberapa lembaga negara yang dibentuk dan ditugaskan memberantas korupsi. Lembaga yang dibentuk adalah: Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk pada tahun 1967; Komisi Anti Korupsi (KAK) dibentuk tahun 1970; Komisi Empat dibentuk tahun 1970; Operasi Tertib (Opstib) dibentuk tahun 1977; Tim Pemberantasan Korupsi (TKP) dibentuk tahun 1982; Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dibentuk tahun 1999; Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dibentuk tahun 1999; serta terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada 2003. (Kompas 26/1/2015).

Sejarah Indonesia modern juga mencatat beberapa kasus korupsi. Kasus korupsi pada orde lama antara lain pernah menimpa Ishak Tjokrohadisurjo, politisi PNI atas dugaan kepemilikan barang lebih dari wajar di dalam dan luar negeri. Kasus lain juga dialami Menteri Kehakiman Jodi Gondokusumo (menjabat pada 1953-1955) atas dugaan menerima suap dari pengusaha asal Hongkong. Kasus korupsi era erde lama juga menimpa partai Islam, Masyumi. Salah satu politisi partai tersebut diduga melakukan tindak pidana korupsi pada 28 Maret 1957. Pun demikian pada masa orde baru. Beberapa pejabat juga tercatat berurusan dengan kasus korupsi. Meski pada masa orde baru dibentuk lembaga anti korupsi, pola lembaga anti korupsi pada orde baru hanya memberi masukan untuk pemberantasan korupsi. Pola yang digunakan bersifat preventif dan represif.

Menilik kasus korupsi yang banyak terjadi, penegak hukum yang menangani sejatinya bukan saja KPK, tetapi juga kepolisian. Sangat disayangkan jika kedua lembaga penegak hukum terlibat perseteruan. Masing-masing dari institusi tersebut harus dapat meredam konflik yang dialami oleh beberapa petingginya, agar tidak larut dalam pusaran konflik. Sinergi antarkeduanya dalam menegakkan hukum –memberantas korupsi- harus terus dilakukan. Konflik KPK dengan Polri yang terjadi hanya akan membuat koruptor tertawa; kasus-kasus yang sedang ditangani menjadi tertunda; serta memalukan wajah hukum Indonesia. Dari sisi ekonomi, konflik ini dapat membuat enggan investor melakukan investasi di Indonesia.

Kamis, 15 Januari 2015

Nafsu Menguasai Negara (Refleksi Pencalonan Kapolri Berstatus Tersangka)

Oleh: Ali Thaufan DS

Pada awal tahun 2015, bulan Januari ini Indonesia dikejutkan dengan berbagai kejadian luar biasa, penurunan harga BBM, pencarian korban jatuhnya Pesawat AirAsia, dan paling “hot” calon Kapolri Budi Gunawan yang menjadi tersangka KPK. Sebelumnya, energi pemberitaan media tersedot oleh berita hilangnya pesawat AirAsia. Kini berita tersebut bergeser seputar calon Kapolri Budi Gunawan yang menjadi tersangka. Hampir seluruh surat kabar dan media elektronik larut dalam pemberitaan tersebut.

Beragam argumentasi mengemuka untuk tetap melanjutkan proses pengangkatan Budi sebagai Kapolri. Pendapat pro dan kontra sulit dihindari. Mereka yang pro terhadap pengangkatan Budi bersikukuh bahwa Budi tidak memiliki masalah yang menyebabkan menjadi tersangka, rekening gendut. Budi telah bersih dari kasus dugaan kepemilikan rekening gendut. Hal ini didasarkan pada surat rekomendasi dari Kompolnas. Surat tersebut menyatakan bahwa kepemilikan rekening Budi masih dalam batas wajar.

Sementara pihak yang menolak Budi menyampaikan argumentasi bahwa sangat tidak mungkin bila institusi penegak hukum di negara ini harus dipimpin oleh orang yang menyandang gelar tersangka KPK. Integritas penegak hukum untuk tetap menegakkan hukum akan diragukan. Dunia akan menertawai hukum di Indonesia. “Apakah di Indonesia ada hukum?”. Pengangkatan Kapolri yang berstatus tersangka akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada Presiden Joko Widodo dalam urusan menegakkan hukum. Sejumlah kalangan baik yang mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden lalu maupun tidak, mendesak agar Jokowi tidak melantik Kapolri yang bermasalah tersebut. Jokowi harus wise dalam persoalan ini, mendengarkan apsirasi rakyat ketimbang menuruti kelompok tertentu saja.

Polemik pencalonan Budi sebagai orang nomor satu di Polri setidaknya mengingatkan akan perseteruan antara Polri dan KPK beberapa tahun lalu. Dalam banyak hal, Polri dan KPK kerap terlibat perang urat saraf dan perseteruan. Penulis melihat adanya beberapa komponen yang saat ini terlibat dalam pusaran kasus pencalonan Budi, seperti Polri, KPK, DPR, Pemerintah (khususnya dalam hal ini Presiden) dan partai pendukung presiden Jokowi. Namun lebih dari itu, penulis juga mencermati indikasi apa yang penulis sebut dengan “nafsu menguasai negara”. Mengapa demikian? Masing-masing dalam setiap komponen beranggapan bahwa merekalah yang paling otoritatif untuk membawa kemajuan bagi Indonesia, tentu saja dengan hal-hal yang mereka lakukan.

Komponen Polri dan KPK misalnya, dua lembaga hukum yang ada di negara ini selalu berusaha untuk menciptakan keadilan dalam hukum. Mereka mempunyai otoritas di bidang hukum. Mereka menilai bahwa tegaknya hukum akan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang bermartabat dan maju. Kemajuan sebuah bangsa mereka ukur dengan tegaknya hukum. Komponen DPR pun demikian. Sebagai wakil rakyat, mereka memegang mandat untuk menyuarakan setiap aspirasi yang lahir dari masyarakat. Oleh sebab itu, atas nama rakyat yang menjadi “slogan”, mereka membuat berbagai regulasi yang dianggap memenuhi kebutuhan rakyat. 

Selanjutnya adalah komponen pemerintah, yang dalam setiap pengambilan kebijakan seperti ekonomi, politik dalam maupun luar negeri, selalu membawa “embel-embel” untuk kesejahteraan dan kemajuan negara. Dengan berbagai dalih, segala kebijakan yang pada satu sisi dianggap merugikan masyarakat tetap akan dianggap sebagai progam yang mengakomodir kepentingan masyarakat dan negara. Tentu saja kebijakan pemerintah ini tidak terlepas dengan partai pendukungnya, partai yang tergabung dalam koalisi. Sehingga pada saat tertentu, pemerintah harus tersandera oleh kepentingan partai koalisi tersebut. Ruang gerak pemerintah –presiden, wakil presiden dan para menteri- tidak leluasa karena dipagari oleh otoritas partai pendukungnya. 

Penulis sampai pada sebuah simpulan bahwa para pemegang jabatan di negara ini merasa bahwa merekalah yang memiliki otoritas memajukan bangsa, dengan cara mereka. Nafsu mereka begitu terlihat dalam hal urusan kuasa-menguasai negara. Jabatan yang melekat pada mereka adalah sebuah “legitimasi” untuk melakukan upaya perubahan negara. Pada satu sisi, penulis melihat ini adalah tanggung jawab dan konsekuensi sebuah jabatan. Tetapi pada sisi lain, upaya-upaya yang mereka lakukan terkesan menunjukkan nafsu menguasai semata.

Selasa, 13 Januari 2015

Indonesia Darurat Kekerasan Anak, Kemana Negara?

Oleh: Ali Thaufan DS
 
Semua akan sepakat pada ungkapan “Masa depan bangsa ditangan mereka (siswa siswi anak-anak kita)”. Mereka para siswa dan siswi akan meneruskan tongkot estafet perjalanan bangsa Indonesia. Merekalah yang akan “memegang” kemudi Indonesia dikemudian hari. Untuk itu, sepatutnya orang tua, guru dan pemerintah memerhatikan masa depan mereka. Pembentukan karakter dan penanaman patriotisme, adalah satu diantara banyaknya “PR” yang harus disampaikan kepada anak-anak. Tulisan ini hadir dari pembacaan media yang memberitakan banyaknya kasus kekerasan terhadap anak.

Pada awal-awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Indonesia dihadapkan dengan persoalan yang sangat krusial, yakni kekerasan kepada anak. Kekerasan kepada anak sudah sampai pada tingkat membahayakan. Kekerasan yang dilakukan kepada anak laiknya perilaku zaman Jahiliyah dulu. Saat itu, orang tua yang tak menghendaki lahirnya anak perempuan tak segan mengubur hidup-hidup. Anak perempuan dianggap sebagai aib. Perilaku yang demikian kini terjadi pada zaman modern. Kekerasan kepada anak, terutama perempuan memunculkan term baru, “Jahiliyah Modern”. Jika dahulu anak perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup, kini banyak anak perempuan dijadikan pekerja seks komersil oleh orang tuanya. Bahkan muncul sebuah “anekdot” yang menginterpretasikan ungkapan “banyak anak banyak rezeki, karena anak dapat dipekerjakan”. 

Pada tahun 2014, Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat 480 kasus perdagangan dan eksploitasi seksual anak. Dari kasus tersebut, 261 berhasil ditangani. Komnas PA mencatat bahwa jenis pedagangan meliputi 155 perdagangan seksual; 83 pembantu rumah tangga; dan 23 adopsi illegal. Angka yang demikian banyak tentu membuat para orang tua berhati-hati. Para guru harus lebih memperhatikan pola pertemanan siswa-siswinya. 

Beragam faktor yang turut menyebabkan terjadinya perdangangan anak (Human Trafficking) tersebut. Diantara faktor tersebut antara lain 123 kasus akibat ditipu melalui media sosial; 82 kasus karena desakan ekonomi; 46 kasus kurang tahu; 6 kasus pengaruh gaya hidup; 4 kasus karena faktor lain-lain. .(Jawa Pos 14/1/2015). 

Jika dilihat dari faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan, faktor paling utama adalah penipuan melalui media sosial. Era keterbuakaan informasi yang menghadirkan media sosial telah memberi banyak kemudahan dalam berbagai sektor. Tetapi, pada saat yang sama, era tersebut juga menjadi “momok” mengerikan. Banyak transaksi perdagangan anak dan pedagang seks komersil dijajakan melalui media sosial. Melalui akun tertentu, perdagangan haram tersebut dilakukan. Pada tahun 2012, Indonesia menempati urutan kedua terbesar sebagai negara yang banyak terjadi perdagangan anak. Usia anak-anak pun relatif belia. Mereka dalam usia-usia anak sekolah, sekitar 12 hingga 16 tahun.

Faktor terbesar kedua adalah ekonomi. Ini adalah faktor yang memprihatinkan. Lantaran desakan ekonomi, perdagangan anak dilakukan. Ditengah kebutuhan hidup yang tidak sepadan dengan pengeluaran biaya hidup, cara-cara seperti ini lah yang dianggap menjadi solusi. Dengan iming-iming rupiah, masa depan rela dikorbankan. 

Jika pada tahun 2012 negara sudah mendapat predikat maraknya perdagangan anak, kemana negara selama ini? Mengapa anak-anak dan siswa siswi Indonesia terus dibiarkan dalam jurang kehancuran? Pemerintah perlu ambil tindakan akan hal ini. Pemerintah – dalam hal ini aparat yang berwenang- perlu melakukan deteksi terhadap keberadaan situs-situs serta akun yang berbau pornografi di jejaring social / media sosial. Para guru melalui kelas di sekolah harus memerhatikan pola pergaulan para siswa. Perlu ditatamkan rasa tanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Bagi orang tua, sebagai tempat pendidikan utama, setiap pergaulan anak harus dikuasai. Perlu dilakukan pengecekan terhadap smartphone yang sehari-hari digunakan si anak. Jika perlu, batasi akses internet yang ada di rumah. 

Melalui sistem pencegahan semacam ini, diharapkan turun mengentaskan persoalan Indonesia darurat kekerasan pada anak. Data kasus di atas setidaknya menjadi bahan renungan untuk secara kolektif meminimalisir kasus perdagangan anak. Orang tua, guru dan pemerintah harus memerhatikan kasusu kekerasan pada anak.

Senin, 05 Januari 2015

Jokowi-JK dibawah Tekanan Kepercayaan



Oleh: Ali Thaufan DS
 
Pada awal pemerintahan presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla, ada beberapa hal baru terkait kebijakan pemerintah yang mungkin menjadi topik utama perbincangan dan bisa dirasakan. Kebijakan yang cukup kontroversi adalah penaikan harga subsidi BBM. Sementara itu, ada juga kebijakan yang cukup “populer”, yakni pembakaran kapal nelayan asing yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan rencana hukum mati bagi terpidana kasus narkoba. Harapan masyarakat adalah agar pemerintahan kedepan lebih baik. Gebrakan yang dilakukan diawal-awal pemerintahan Jokowi –meski tak luput dari kritik- adalah sinyal optimisme menuju kebaikan Indonesia Raya.

Tulisan ini hadir dari pembacaan media massa atas berbagai harapan dan kepercayaan terhadap pemerintah serta beberapa keraguan yang muncul. Diantara keraguan itu adalah keputusan Jokowi mengangkat Jaksa Agung dari kalangan politisi serta pembebasan bersyarat pembunuh Munir, Pollycarpus Budhihari Priyanto. Dua keputusan itu dianggap “membuyarkan” harapan masyarakat atas komitmen Jokowi dalam urusan penegakan hukum.

Harian Kompas merilis hasil jajak pendapat yang dilakukan pada 27-29 Desember 2014. Hasilnya menunjukkan bahwa publik sangat percaya pemerintahan Jokowi-JK akan menghadirkan banyak perubahan. Komitmen Jokowi yang akan memberantas korupsi tanpa pandang bulu sangat mendapat kepercayaan dari publik. Sebanyak 77,8 persen responden menjawab yakin, 20 persen tidak yakin dan 1,9 persen tidak tahu (Kompas 5/1/2015). Sebelumnya pada 30 Desember 2014, Kompas juga merilis hasil jajak pendapat bahwa harapan terbesar publik terhadap Jokowi adalah memberantas korupsi.

Setidaknya hasil jajak pendapat tersebut di atas membuktikan bagaimana publik terlanjur percaya dan menaruh harapan terdahap komitmen pemerintahan Jokowi untuk menegakkan hukum secara adil, tegas tidak pandang bulu. Masyarakat wajib mengawal setiap kebijakan menyangkut persoalan hukum. Namun, keraguan atas komitmen Jokowi dalam urusan hukum muncul dengan sendirinya. Setidaknya hal ini ditandai dengan pengangkatan Jaksa Agung Prasetyo yang juga politisi partai Nasdem dan pembebesan pembunuh Munir.

Seperti diketahui, setiap politisi yang memegang jabatan sebagai aparat penegak hukum tidak mungkin terlepas dari kepentingan politis dan partai politiknya. Amat sangat sulit untuk lepas dari ikatan-ikatan kepartaian dan kekerabatan dengan rekan separtai. Hal ini setidaknya terbukti dengan terkuaknya kasus hakim Mahkamah Konstitusi, Akil Mukhtar. Sebelumnya, akil adalah politisi partai Golkar, sebelum menjadi hakim MK. Fakta Akil tersebut yang kemudian memunculkan keberatan mayoritas pengamat hukum saat keputusan Jokowi mengangkat Jaksa Agung dari kalangan politisi. Berbagai stigma justru dialamatkan kepada Jokowi atas pengangkatan Prasetyo. Jokowi dianggap mengamankan kasus-kasus hukum yang seharusnya “dieksekusi”.

Keraguan atas komitmen Jokowi dalam penegakan hukum juga muncul saat pembebaskan secara bersyarat pembunuh Munir. Meski pemerintah berdalih bahwa seharusnya pembunuh Munir dapat bebes tahun lalu, tetapi masyarakat tetap menilai keputusan tersebut sebagai sesuatu yang disayangkan. Seperti disampaikan pada saat kampanye, Jokowi-JK bersama pemerintah berkomitmen untuk menegakkan HAM. Tetapi sebaliknya, pemerintah justru membebaskan pembunuh aktivis HAM.

Jokowi-JK dalam tekanan kepercayaan. Pada satu sisi ia terlanjur dipercaya masyarakat banyak untuk mampu menegakkan hukum. Pada sisi lainnya, ia tidak dapat lepas dari “bayang-bayang politik” yang mengitarinya. Namun demikian, harapan akan komitmen Jokowi dalam persoalan hukum tetaplah ada. Sebelumnya, Jokowi berencana akan mengeksekusi hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba. Hal ini yang secara tidak langsung menunjukkan komitmen pemerintah untuk penegakan hukum secara adil.