Senin, 29 Desember 2014

Wow! Kasus Korupsi “Top Of Mind” di 2014 (Sebuah Refleksi Akhir Tahun)

Oleh: Ali Thaufan DS
 
Sebelumnya saya –selanjutnya penulis- berasumsi bahwa kejadian pada tahun 2014 yang melekat diingatan masyarakat adalah hiruk pikuk pemilihan presiden. Bagaimana tidak, pilpres menyisakan kisah suka, duka, riang, gembira, sedih dan sebagainya. Ternyata apa yang penulis asumsikan tidak sepenuhnya tepat.

Tahun 2015 tinggal menunggu beberapa hari, jam, menit dan detik lagi. Penulis sangat yakin bahwa setiap orang punya harapan agar tahun tersebut menjadi tahun yang lebih baik dari sebelumnya, tahun 2014. Pun demikin dengan kondisi bangsa ini, bangsa besar Indonesia Raya. Tahun 2014 adalah tangga menuju cita-cita negara Indonesia. Seperti diketahui, tahun 2014 Indonesia telah “menakdirkan” presiden dan wakil presiden yang baru, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dipundak keduanya cita-cita bangsa ini dipikulkan. “Tahun politik 2014” menyisahkan kisah yang penuh warna-warni seputar pemilu legislatif dan presiden; kasus hukum (korupsi) yang menyeret sederet pejabat dan elit politik; serta kebijakan ekonomi –salah satunya menaikkan harga BBM bersubsidi. Diantara tiga rentetan kisah tersebut, ternyata masyarakat sangat menyoroti kasus hukum, korupsi.

Dua hari terakhir ini penulis “mantengin” hasil jajak pendapat yang dirilis harian Kompas, yakni pada 29 dan 30 Desember 2014. Penulis mencermati bahwa kasus korupsi telah menjadi “Top Of Mind” bagi masyarakat. Pasalnya, korupsi menjadi sorotan tajam. Hal ini ditandai, pertama adalah bahwa kasus korupsi lebih banyak dibicarakan. Kedua, masyarakat sangat berharap agar di tahun 2015 esok pemerintah dapat memberantas kasus korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia telah melukai hati masyarakat. Hal ini tidak bisa dibantah lagi. Ketika angka kemiskinan –seperti disebutkan data BPS- terus meningkat, pada saat yang sama tidak sedikit pejabat yang terlibat kasus korupsi. Seperti sering diberitakan, bahwa para pejabat publik yang terlibat kasus korupsi memiliki harta yang “never last”. Maka sangat wajar jika masyarakat marah akibat perilaku korup yang dilakukan koruptor. Setidaknya hal ini menjadi dasar untuk mengatakan bahwa perilaku korupsi secara tidak langsung membuat ketimpangan kesejahteraan dan kesenjangan sosial. Uang rakyat yang seharusnya dinikmati rakyat baik dalam bentuk bantuan atau pembangunan infrastruktur telah dijarah oleh mereka, para koruptor.

Beragam tawaran hukuman bagi koruptor pun bermunculan. Sebagian orang menawarkan hukum mati koruptor; miskinkan koruptor; cabut hak politik koruptor; hukum seumur hidup koruptor, bahkan tembak mati koruptor, serta lain sebagainya. Hal ini semakin menguatkan bahwa perilaku korupsi adalah benar-benar merugikan masyarakat, serta melukai mereka. 

Sebelumnya, harian Kompas merilis jajak pendapat Kompas yang menyebutkan bahwa hukuman yang diberikan bagi koruptor 89,3 persen tidak membuat jera; 7,9 persen memberikan efek jera dan 2,8 persen tidak mengetahui. Terkait bentuk hukuman yang dapat membuat jera, jajak pendapat Kompas menyebut 45,4 persen dipenjara dan dimiskinkan; 25,7 persen hukum mati; 22 persen penjara seumur hidup; 5 persen tidak tahu; dan 1,9 persen lain-lain (Kompas 8/12/2014).
Jajak pendapat di atas juga menginformasikan persepsi perilaku koruptif di masyarakat. Perilaku menyontek di kalangan pelajar, 77,3 persen tersebar luas; 15,2 persen belum tersebar luas dan 7,5 persen tidak tahu. Korupsi waktu dikalangan pegawai 81,9 persen tersebar luas; 12 persen belum tersebar dan 6,1 persen tidak tahu. 

Hukuman yang tidak membuat jera ini yang disinyalir terus memunculkan koruptor-koruptor baru. Ibarat pepatah “Patah tumbuh hilang berganti”, pun demikian dengan korupsi. Satu kasus terungkap, muncul kemudian kasus berikutnya. Karena hukuman dianggap tidak membuat jera, maka jumlah koruptornya terus bertambah. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama semester pertama tahun 2014, telah terjadi 308 kasus korupsi. Sebagian besar kasus tersebut menjerat pejabat dan pegawai pemerintahan daerah dan kementerian.   

Harian Jawa Pos pada 10 Desember 2014 mengabarkan selama berdirinya KPK selama 10 tahun, jumlah korupsi yang dilakukan anggota DPR dan DPRD sebanyak 75; Wali Kota/Bupati dan Wakilnya 42; kepala lembaga/kementerian 19; Gubernur 12; Komisioner 7; Duta Besar 4; PNS I,II,III 115; Hakim 10; Swasta 106 dan lain-lain 48. Hal tersebut yang tentunya menjadi “pekerjaan rumah” bagi KPK.
 
Pada tahun 2015 esok masyarakat tidak ingin lagi mendapati kasus korupsi terjadi di Indonesia. Tidak boleh adalah lagi pejabat negara, elit politik serta pengusaha yang terlibat korupsi dan suap menyuap. Aparat penegak hukum perlu mengambil tindakan preemtif, bukan melulu tindakan represif yang dikedepankan dalam penanganan korupsi. Dibawah “nahkoda” Jokowi-JK masyarakat berharap pula agar Indonesia ini menjadi Indonesia Raya.