Rabu, 18 Juni 2014

“Itung-Itung” Pendukung (Sebuah Pembacaan Media Atas Dukungan Kepada Pasangan Capres-Cawapres)

Oleh: Ali Thaufan DS
Sejak deklarasi calon presiden dan wakil presiden, baik pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Jokowi-Jusuf Kalla, dukungan kepada keduanya terus mengalir. Mulai dari ormas, LSM, komunitas tertentu hingga “segerombolan” manusia yang membentuk relawan capres. Pada pilpres 2014 kali ini, hanya ada dua pasangan calon. Sehingga presentase jumlah dukungan kelompok tertentu berbeda dengan pilpres sebelumnya.
Tulisan sederhana ini adalah buah dari pembacaan berita, catatan penulis dan analisa terhadap dukungan yang diberikan kepada capres-cawapres. Pada tulisan ini penulis mencermati dan memetakan kategori dukungan terhadap capres-cawapres mulai dari parpol pengusung, ormas, LSM, relawan “musiman”, tokoh politik, purnawirawan TNI-Polri, serta artis/seniman. Tentu saja, bukan tanpa alasan bagi penulis untuk sekedar membuat “coretan” ini. Setidaknya, tulisan ini menggambarkan peta kekuatan capres-cawapres. Dan, lebih dari itu, penulis ingin menyalurkan “energi positif” (meminjam istilah Anas Urbaningrum) pada masa kampanye pilpres. Seperti diketahui, banyak orang tidak bertanggung jawab, hanya menghujat para capres-cawapres. Hujatan-hujatan itu hanya membawa dampak negatif bagi berlangsungnya proses sehat dalam demokrasi.
Pasca pemilihan calon anggota legislatif, peta pencapresan mengurucut dan berakhir pada Prabowo dan Jokowi. Prabowo kemudian mendapat dukungan dari: Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, PBB. Sedangkan Joko mendapat dukungan dari: PDIP, Hanura, Nasdem, PNA Partai Nasional Aceh, PKB, PKPI. Namun demikian, ada beberapa elit partai yang berbeda pandangan dalam penentuan pilihan mereka. Sebagai contoh, keputusan partai Golkar yang menjatuhkan koalisi mereka kepada Prabowo, tetapi tidak semua elit partai sejalan dengan keputusan partai.
Terhitung sejak deklarasi kedua pasangan capres-cawapres hingga saat ini (18 Maret 2014), penulis mengamati grafik dukungan ormas terhadap keduanya. Dalam catatan penulis, dari berbagai sumber media online, dukungan terhadap keduanya mengalami peningkatan. Pasangan Prabowo-Hatta mendapat 52 dukungan ormas. Sedangkan Jokowi-JK mendapat 22 dukungan ormas. Dukungan keduanya datang dari ormas tinggat pusat hingga tingkat daerah, atau ormas primordial. Tentu saja data penulis sangat mungkin berbeda dengan penulis lainnya, tergantung pada sumber media.
Sementara itu dukungan dari berbagai macam LSM kepada kedua pasangan capres-cawapres juga terus mengalir. Dalam catatan penulis, dalam kategori dukungan LSM, Prabowo-Hatta mendapat dukungan 12 LSM. Sedangkan Jokowi-JK mendapat 5 LSM. Sama seperti dukungan yang datang dari ormas, dukungan LSM ini mengalir dari tingkat pusat hingga daerah.
Fenomena pencapresan ini juga mengundang fanatisme masyarakat. Setidaknya hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya relawan kedua pasangan. Prabowo-Hatta melahirkan 21 komunitas tertentu atau relawan. Sedangkan Jokowi-JK melahirkan 19 komunitas tertentu atau relawan. Relawan ini didirikan oleh beberapa tokoh nasional, ormas, dan sukarela masyarakat.
Untuk kategori dukungan tokoh politik baik pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK mengantongi nama-nama yang tak asing lagi. Sederet nama seperti Mahfud MD, Fadli Zon, Ahmad Yani (PPP), Amin Rais, Anis Matta, Abu Rizal Bakrie, Marzuki Ali, Tantowi Yahya, Nurul Arifin, Marwah Daud Ibrahim menghiasi deretan tokoh politik di belakang Prabowo-Hatta. Dalam catatan penulis, Prabowo mengantongi 21 nama tokoh politik kelas nasional. Pun demikian dengan kubu Jokowi-JK. Penulis mencatan ada 19 potilisi “top” yang siap memenangkan pasangan ini, diantaranya adalah: Anies Baswedan, Hasyim Muzadi, Khofifah Indar Parawansa, Akbar Faizal, Indra J Piliang. Nama-nama di atas belum termasuk deretan petinggi partai secara keseluruhan.
Hal yang bisa dibilang paling “hot” dalam membincang pilpres adalah dukungan para purnawirawan TNI-Polri. Kedua pasangan mendapat dukungan dari Jenderal (purn) baik TNI-Polri. Pasangan Prabowo-Hatta didukung 37 Jenderal (Purn) TNI-Polri, diantaranya: Djoko Santoso, mantan Panglima TNI; Widodo AS, mantan Panglima TNI; dan Farouk Muhammad Syechbubakar, mantan Kapolda NTB. Sedangkan Jokowi-JK mendapat 35 Jenderal, antara lain: mantan Panglima ABRI/Menhan Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto; mantan Kepala BIN Jenderal TNI Purnawirawan AM Hendropriyono; dan mantan Dankodilat TNI AD Jenderal TNI Purnawirawan Luhut Pandjaitan. Dukungan para Jenderal inilah yang kemudian kerap dikait-kaitkan dengan isu tidak netralnya TNI-Polri aktif.
Nama-nama artis atau seniman pun tak ketinggalan meramaikan kontes pilpres kali ini. Dengan modal popularitas dan banyak penggemar, artis diyakini dapat mendongkrak elektabilitas capres. Prabowo, dalam catatan penulis didukung 35 artis. Sedangkan Jokowi didukung 57 artis. Barisan artis ini sudah termasuk dalam kategori artis yang juga politisi. Sebagai bentuk loyalitas para pendukung dari kalangan artis, mereka kemudian membuat “lagu pendek” untuk capres mereka masing-masing.

Dari pembacaan di atas, kesimpulan dari tulisan ini adalah: bahwa masing-masing pasangan capres didukung dengan berbagai kekuatan. Kekuatan ini tercermin dari tokoh-tokoh lintas profesi di kubu kedua pasangan capres. Lebih dari sekedar “itung-itungan” pendukung, hal yang maha penting dari semua itu adalah janji yang saat ini diobral para capres-cawapres. Akan sangat menyakitkan hati konstituen jika janji capres hanya ditepati kepada para pendukung sebagaimana penulis paparkan di atas. Perlu penulis sampaikan, bahwa angka pendukung di atas akan sangat mungkin berbeda dengan peneliti atau penulis lainnya. Hal ini yang menjadi saran penulis selanjutnya untuk membuat pemetaan secara lebih utuh.

Senin, 09 Juni 2014

Kesenjangan Sosial dan Kesadaran Politik (Buah Catatan Perjalanan ke Cilegon)

Oleh: Ali Thaufan DS

Kunjungan itu sangat berkesan, yakni perjalanan saya (selanjutnya: penulis) ke sebuah daerah di Provinsi Banten, Kabupaten Cilegon. Setiap mata memandang memberi kesan: betapa kaya alam Banten, derap pembangunan yang mengabaikan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), kesenjangan sosial, dan “melek” politik “kaum” desa. Tulisan ini semata-mata catatan perjalanan penulis saat menyusuri beberapa tempat di daerah Cilegon Banten. Dua hal yang menjadi sorotan dari banyak hal yang penulis dapati, problem kesenjangan sosial dan wawasan politik “kaum” desa.

Sesaat keluar pintu tol Cilegon Timur, penulis menyusuri jalan arah Kecamatan Bojonegara. Asap dan debu benar-benar menjadi penganggu perjalanan. Ditambah lagi beberapa ruas jalan yang berlubang, menambah siksa perjalanan. Truk-truk besar mendominasi jalanan tersebut. Umumnya mengangkut batu, pasir dan tanah. Ini yang penulis ketahui, disamping itu tentu ada banyak lagi. Gambaran infrastruktur jalan memberikan kesan bahwa pemerintah setempat memandang sebelah mata pembangunan jalan. Pemerintah menghiraukan keinginan rakyat yang juga berhak mendapat fasilitas jalan yang baik

Setelah beberapa menit menikmati perjalanan penuh debu dan jalan berlubang, penulis terkaget melihat beberapa bukit pegunungan yang “keruk”. Pemandangan ini tentu bukan hal baru bagi penulis, kerena beberapa tahun lalu, hal yang sama juga penulis dapati di Kabupaten Bandung Barat. Tentu, perasaan emosi menyala dalam hati. Dari beberapa sumber informasi (warga), bukit pengunungan itu dikeruk untuk membangun industri di wilayah itu juga. Sumber lain lagi menginformasikan bahwa bukit tersebut dikeruk untuk pembangunan akses jalan. Pengerukan bukit-bukit tersebut menyisakan tanda tanya, apakah mereka –para pengeruk- sudah melakukan kajian feasibility studi sebelumnya. Atau, hanya mengeruk demi menghasilkan rupiah dan menuruti nafsu keserakahan dunia.

Sementara di belahan mata memandang lainnya, penulis mendapati banyak kemiskinan. Tidak secara rinci penulis mendapatkan data tentang angka kemiskinan. Tetapi dapat dipastikan, bahwa angka kemiskinan masih tinggi. Indikasi tersebut dapat penulis lihat dari: minimnya air bersih (sumur air masih sulit), pendapatan penduduk dibawah UMR dan keterbatasan anak melanjutkan sekolah karena ketidakmampuan biaya. Setidaknya melalui tiga indikator tersebut, penulis melihat bahwa ada kesenjangan sosial di Bojonegara. Pada satu sisi, pembangunan industri banyak dilakukan, sementara sisi lain kemiskinan tetap tak terelakkan.

Perjalanan penulis kemudian ampai pada Kampung Pekuncen. Kampung kecil di sebuah bukit. Penulis singgah di sebuah rumah dan bercengkerama dengan si empunya rumah. Sekali lagi penulis mereka terkaget saat kami membicarakan isu-isu politik nasional, pemilihan presiden. Beberapa diantara mereka cukup vokal dalam menganalisa kejadian-kejadian politik. Seorang diantaranya mengaku mengetahui informasi politik dari televisi. Ia kemudian menganalisa dan membuat pemetaan atas apa yang akan menjadi kebijakan pemimpin terpilih. Ya, tentu saja satu dengan yang lain berbeda pendapat. Diskusi politik dengan “mamang-mamang” dan bapak-bapak terbilang cukup dinamis. Penulis bahkan merasa atmosfer diskusi laiknya di ruang-ruang seminar.

Ada pemandangan menarik yang menimbulkan pertanyaan dibenak penulis. Penulis sedikit sekali mendapati spanduk capres-cawapres di kampung tersebut dan beberapa kampung sekitarnya. Tentu, ini sangat berbeda dengan apa yang penulis dapati seperti, katakanlah di Jakarta, Bogor, Tangerang Selatan. Saat penulis tanyakan kenapa di kampung tersebut jarang sekali spanduk capres, seorang pemuda menjawab dengan ringan “kami sedikit dan tidak diperhitungan capres”.


Inilah “oleh-oleh” perjalanan singkat penulis di Cilegon. Dua hal utama yang menjadi sorotan penulis adalah: pertama, kesenjangan sosial masih menjadi “hantu” masyarakat Cilegon ditengah derap pembangunan industri. Kedua, bahwa masyarakat desa juga “melek” politik. Mereka cukup memiliki kapasitas berbicara soal peta politik nasional berkaitan dengan pilpres. Khusus untuk hal ini, penulis memaknainya sebagai daya kritis yang akan menjelma pada kritisisme pemerintahan yang despotik. Tentu saja, catatan tentang Cilegon ini adalah bagian kecil. Tidak bisa mengeneralisasi Cilegon hanya dari catatan yang singkat ini. Oleh karenanya, perlu ada perhatian untuk “menulis” dan bercerita tentang Cilegon, karena kekayaan alamnya tidak bisa diabaikan begitu saja.