Selasa, 27 Agustus 2013

Silaturahmi Kebangsaan dan Senda Gurau Politik

Oleh Ali Topan DS

Silaturahmi telah menjadi tradisi serta ciri khas setelah lebaran, Hari Raya Idul Fitri. Saling maaf-maafan menjadi identitas dalam silaturahmi tersebut. Hal ini dikuatkan dengan pihak-pihak yang bersilaturahmi dengan ucapan “Mohon maaf lahir batin”. Ucapan dan doa tersebut sepertinya sebagai pelengkap saat manusia kembali fitrah setelah menjalankan ibadah puasa Ramdhan.

Para elit politik yang akan bertarung dalam pemilu presiden pun tidak ketinggalan. Mereka saling bertemu, bersalam-salaman, bercengkerama dan bertukar pikiran. Pada saat tersebut, tidak jarang politisi sekaligus melakukan konsolidasi dengan kemasan silaturahmi. Tentu saja hal tersebut sah dilakukan, mengingat momentum Idul Fitri dipersepsikan kebanyakan orang sebagai momen untuk menguatkan tali silaturahmi.

Partai Golongan Karya (Golkar) menyelenggarakan silaturahmi kebangsaan. Gelaran silaturahmi bertajuk “Silaturahmi Idul Fitri 1434 dan Silaturahmi Kebangsaan” tersebut menghadirkan para ketua umum partai politik. Acara tersebut juga dihadiri Presiden SBY yang juga sekaligus ketua umum Partai Demokrat. Acara silaturahmi seperti ini bisa dibilang jarang ditemui. Umumnya, para ketua umum partai menggelar open house bagi tamu baik dari parpolnya atau non parpolnya.

Hal yang cukup menyedot perhatian pada acara tersebut adalah masing-masing ketua umum partai memberikan sambutannya. Mereka secara umum menyampaikan apresiasi atas inisiatif partai Golkar yang mengadakan acara tersebut. Tak pelak, senda gurau pun disampaikan mereka pada saat sambutan. Aburizal Bakrie (ketum Golkar) berkali-kali menyindir Partai Demokrat bahwa ia siap jika Demokrat bersanding dengannya. Ia mengambil perumpamaan pasangan tenis, ada tunggal, ganda dan campuran. Gurauan tersebut sontak membuat hadirin tertawa. Aburizal kemudian menutup sambutannya dengan petikan pantun

Sambutan lainnya dari Presiden PKS Anis Matta. Bergaya bicara rileks, Anis memuji ide Golkar yang mengadakan acara silaturahmi tersebut. Menurutnya acara seperti ini adalah bagian melestarikan tradisi kemajemukan. Selain itu, keadaan atau situasi politik menjadi lebih “asyik”. Lebih lanjut, bagi Anis, acara ini akan mengubah persepsi politik dari danger game ke atractive game. Selain itu, Anis menceritakan perbincangannya dengan Fahri Hamza (Politisi PKS), bahwa pengalaman Golkar yang berkuasa lebih 30 tahun membuatnya pantas untuk berkuasa lagi.

Sambutan yang tak kalah meriah juga disampaikan Wiranto. Mantan Kader Golkar tersebut mengawali sambutan dengan pantun. Ia bercerita bahwa rela bermacet-macetan untuk menghadiri acara silaturahmi demi bertemu sahabat sejati. Tentu saja sahabat sejati yang dimaksud adalah kader-kader partai Golkar. Pada sambutannya tersebut, Wiranto menyinggung Konvensi yang di gelar partai Demokrat. Ia mengatakan seandainya ia ditawari ikut konvensi, ia akan menolak karena sudah punya pasangan (Hari Tanoe). Namun ia tidak keberatan jika dijadikan advisor (penasehat). Ia merasa punya pengalaman saat mengikuti konvensi partai Golkar beberapa tahun lalu.

Acara silaturahmi kebangsaan yang digagas partai Golkar tersebut tentu saja memiliki nilai-nilai positif. Berpijak dari momentum Idul Fitri, partai Golkar berupaya untuk mempererat komunikasi politik antar parpol. Meski demikian, hal-hal yang bersentuhan dengan kepentingan politik praktis tidak dapat dinafikan.

Senin, 19 Agustus 2013

Kemerdekaan Negara=Kemerdekaan Buruh: Menyudahi Permasalahan Buruh

oleh Ali Topan DS

Sebagai Negara hukum, Indonesia telah mengatur segala hal-hal yang berkaitan dalam lini kehidupan dalam bentuk undang-undang. Salah satunya adalah undang-undang yang mengatur masalah perburuhan. Waktu atau jam kerja, upah dan tunjangan hari raya, pemutusan hubungan kerja dan lain-lain telah diatur dalam undang-undang tersebut.

Undang-undang yang mengatur perburuhan tidak selamanya dipatuhi baik oleh pengusaha, buruh atau bahkan pemerintah. Sebagai contoh gaji buruh yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KPSI) pada tahun 2012, bahwa upah buruh di Indonesia termasuk paling rendah diantara negara-negara ASEAN. Upah, sebagaimana tertera dalam UU Nomer 13 tentang Ketenagakerjaan 2003 adalah merupakan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi para buruh/pekerja. Penetapan upah yang diatur oleh Pemerintah dan Dewan pengupahan terkadang tidak memihak posisi buruh.

Persoalan yang kerap muncul dalam dunia perburuhan antaranya adalah kekerasan. Kekerasan pada buruh merupakan tindakan di luar moral kemanusiaan. Bahkan pelakunya dapat dipidanakan. Pada Mei 2013 terjadi kasus kekerasan pada buruh pabrik di Tangerang yang cukup memprihatinkan. Penyiksaan terhadap 36 buruh menambah rapot merah perburuhan di Indonesia serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, perlakuan yang mengekang buruh juga terjadi di Perusahaan Garmen di Cakung, Jakarta. Salah seorang karyawan yang hendak beribadah dilarang oleh Direkturnya. Tidak hanya melarang beribadah, sang Direktur juga tiba-tiba mengambil keputusan untuk memberhentikan karyawan tersebut. Persoalan pernah terjadi di sebuah perusahaan Garmen di Koja Jakarta Utara, ratusan buruh berdemo kantor Sudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Mereka mununtut agar memerintah menindak tegas perusahaan yang tidak membayar Tunjangan Hari Raya tersebut. Persoalan lainnya yang kerap menjadi tuntutan buruh adalah penghapusan sistem out sourcing. Sistem ini dinilai merugikan posisi buruh, terutama pemotongan gaji buruh.

Dari beberapa persoalan mendasar pada buruh adalah masalah gaji yang tidak sebanding dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Peryataan KPSI sepertinya benar adanya. Bahwa gaji yang diterima buruh terlalu kecil. Hampir setiap peringatan hari buruh, para buruh melakukan aksi demonstrasi menuntut kenaikkan upah mereka. Mereka –para buruh- berdalih bahwa kenaikkan harga kebutuhan bahan pokok telah membuat upah mereka tidak berarti. Jumlah gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan kebutuhan hidup yang semakin mahal

Berkaitan dengan kenaikkan gaji sebesar 50 persen yang diusulkan buruh sepertinya akan menjadi tuntutan utopi. Pasalnya tuntutan tidak terrealisasi secara utuh. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenkertans) hanya merekomendasikan kenaikkan dengan kisaran 20 persen. Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Yusuf Wanadi hanya menyampaikan bahwa pembahasan tersebut akan dilakukan oleh pihak terkait, yakni pemerintah, pengusaha dan buruh.

Terkait tuntutan buruh, semestinya pemerintah dan pengusaha memberi perhatian lebih dalam hal upah buruh. Kenaikan harga kebutuhan pokok pasca kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) salah satu faktor yang tidak bisa dielakkan. Sehingga KHL buruh tidak sebanding dengan pendapatan. Lantaran hal ini, banyak aksi mogok kerja yang dilakukan buruh, yang sebetulnya dapat merugikan perusahan sendiri. Pendapatan buruh yang relatif rendah tersebut menutup mimpi indah buruh –memiliki rumah/tempat tinggal. Dalam kamus buruh pabrik, “memiliki rumah adalah hal yang mustahil”, karena fakta menunjukkan kebanyakan buruh hanya bertempat tinggal di kontrakan dan berpindah-pindah. Perlaukan tidak senonoh terhadap buruh juga harus dihilangkan, karena buruh bisa saja melakukan pemberontakan. Jen Bremen, sosiolog Belanda dalam tesisnya mendorong perlakuan yang manusiawi kepada para buruh agar “kuli-kuli” tersebut mendapatkan hak dari keringatnya. Pada saat bersamaan, buruh harus menunjukkan dedikasi kerja dengan baik kepada perusahaan bersangkutan. Sehingga antara perusahaan dan buruh terjadi hubungan simbiosis mutualisme –saling menguntungkan.
 
Pada hari kemerdekaan –meski bukan di hari buruh- pemerintah sepatutnya memperhatikan kelayakan pendapatan dan hidup para buruh. Spirit kemerdekaan Republik Indonesia adalah spirit kemerdekaan bagi buruh. Buruh bukanlah budak-budak negara layaknya era kolonialisme. Bagaimanapun jasa buruh yang telah bekerja turut serta menyumbang pembangunan Indonesia.

Kamis, 15 Agustus 2013

Cyberspace, Effort to Leave Out of God

By Ali Topan Ds

On in this moment, we experience progress of technology. Technology has been to see off make easier in this life. The human thought that life would be easier with the progess of technology. Everyone must need a technology. Although, negative side also be found in technology. Technology has become addictive. Sometimes, technology transformed into a God. They called the cyberspace.

Presence of cyberspace greeted joyfully. Cyberspace is a new world spoiling human desires. He is regarded as free space without borders. In fact, by the digital virtual, human desire without a clear direction purpose. According to Baudrillard, cyberspace is empasizes enjoyment languages. Every mean, sign and image do not refer in reality. Baudrillard refers to the “ecstacy of communication”

Some of many cyberist like John Perry Barlow, Jaron Linier and Mark Pesce believe cyberspace change many reality like religion, spiritually and God. Jeff Zaleski explained the paradoxs of mind adherents cyberspace. Zaleski took a middle way by taking the good of technology and reject the black idea of technology.

The new reality cyberspace bassed on philosophy. Amir Piliang has an opinion that philosophy cyberspace basses from philosophical zero. Although the cyberist don’t explain if the base is philosophical zero, but it resemblance with “nihilism” Friedrich Nietzsche. Nihilism is reflection of something very valuable time ago, but it has fadded and useless. Even nihilism as an ideology reject existence of God. The cyberist start from the zero point to get the Gods. They knocked down mayority of religius communities understanding. However the understanding the cyberist is many paradoxs.

The presence of technological advances of cyberspace is indirectly erodes religious communities concept of God. God is not presence in activity of people with restriction of religius rules “theo-sophi”. But, the presence of God defeated with high technology “techno-sophi”. “The Neo-God” in a technology presence without any religious rules.

At the end of this paper I want to say, technological progress has a give convenience for mankind. But, on other side, technology can plunge the human astray. What is Sloka said in “War of The World: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality” about technology is true. Sloka was disappointed cause human fall in pseudo reality. Technology shouldn’t be a prison for the users and make himself “god”. Because religion is not die and God always there.