Minggu, 26 Agustus 2012

Alumni Ushuluddin tak Perlu Minder


Menjelang tahun ajaran baru periode 2009-2010, saya berjalan di samping gedung akademik pusat. Suasana ramai dengan calon mahasiswa baru. Seorang Bapak bertanya “Dek, kamu mahasiswa UIN?”, “Iya betul” jawab saya. “Ambil jurusan apa?”, lanjut Bapak. “Saya ambil Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin”. Dengan sedikit mengerutkan dahi, si Bapak bertanya lagi, “Itu Jurusan apa dek?, nanti kerjanya jadi apa?”. Dengan mantab saya menjawab, “Ya bermacam-macam pak, Rektor kita Pak Komaruddin Hidayat itu alumni Ushuluddin lho”. Demikian adalah cerita yang terekam dalam memori saya. Sebuah cerita yang terus memotivasi serta meyakinkan bahwa alumni Ushuluddin juga memiliki prospek masa depan cerah.

Ditengah arus perkembangan teknologi dan globalisasi, seseorang dituntut untuk bisa survive menghadapinya. Salah satunya dengan memeliki pendidikan tinggi agar dapat “bersaing”. Umumnya mereka yang menempuh pendidikan perguruan tinggi, memilih jurusan yang menjual, dalam arti tidak kesulitan mencari pekerjaan saat lulus. Pada titik ini, jurusan yang dipandang “bonafide” menjadi pilihan utama bagi calon mahasiswa, seperti jurusan Ekonomi, Perbankan Syariah, Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan, Ilmu Kesehatan dan Kedokteran. Sementara jurusan yang berkaitan langsung dengan agama –dalam hal ini jurusan yang ada di Fakultas Ushuluddin- mulai minim peminat.

Memilih jurusan tersebut di atas menurut penulis sah-sah saja. Karena tidak jarang motivasi orang untuk kuliah adalah agar mudah mencari lapangan pekerjaan. Alasan memilih Perbankan Syariah misalnya, karena saat ini semakin banyak Bank-Bank berlabel Syariah. Sehingga bagi mahasiswa dan alumni Perbankan Syariah, ini merupakan peluang kerja. Mahasiswa jurusan Ilmu Pendidikan juga memiliki lapangan kerja yang nyata, guru. Demikian juga Ilmu Kesehatan dan Kedokteran yang melihat rumah sakit sebagai medan kerjanya. Lantas, bagaimana dengan alumni mahasiswa Ushuluddin.

Mahasiswa dan alumni Ushuluddin memang tidak diarahkan menjadi “pekerja”. Hal ini dirasa jelas, karena semua jurusan di Fakultas Ushuluddin (FU) cukup abstrak akan menjadi apa, dan kerja dimana?. Pada posisi yang demikian, mahasiswa FU justru memiliki banyak pilihan akan menjadi apa pasca lulus. Quo vadis alumni FU tidak menjadi problem mendasar. Dr. Amin Nurdin, Dosen FU menuturkan alumni FU tidak ada yang nganggur, mereka ada diberbagai lini kehidupan. Anggapan itu dapat dibenarkan, karena fakta berbicara bahwa alumni FU memiliki lahan pekerjaan, tidak nganggur.

Alumni FU ada yang bekerja sebagai Wartawan, Peneliti LSM, Da’i, Guru, Dosen bahkan Politisi Nasional. Sebut saja Burhanuddin Muhtadi dan Saiful Mujani, kedua alumni FU ini menjadi peneliti disebuah lembaga survey terkemuka; Zainuddin MZ (alm) da’i sejuta umat; Komaruddin Hidayat rektor UIN Jakarta; Ade Komaruddin Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Golkar. Mereka adalah sedikit dari banyak alumni FU yang menjadi tokoh masyarakat.

Dinamika dan proses belajar yang terjadi di FU memiliki khas tersendiri, kritis. Mahasiswa tidak sekadar cakap dalam bidang keislaman saja, tetapi juga isu-isu nasional. Tentu saja ini menjadi tempaan bagi mahasiswa. Hal ini yang menjadi kebanggaan serta membanggakan bagi mahasiswa FU. Mahasiswa FU tidak perlu merasa malu dengan mahasiswa Fakultas lain yang dalam hal pekerjaan telah tersedia. Dengan bekal pengetahuan ilmu-ilmu agama di atas rata-rata serta kecakapan membaca situasi nasional kekinian, mahasiswa FU pasti mampu bersaing dengan mahasiswa lainnya.

Lebaran itu Bukan Bubaran


“wes bar lebarane, yo bubaran mesjid te”
Ungkapan di atas pernah disampaikan penceramah yang memberi kultum di musallah depan rumah saya beberapa tahun silam. Agaknya hal itu masih sangat relevan dengan kenyataan sekarang. Ungkapan dalam bahasa jawa tersebut berarti “Kalau sudah lebaran ‘idul fitri’, maka sudah pula keramaian masjid”. Tidak salah jika anggapan tersebut diutarakan karena kenyataan selalu demikian.

Suka cita masyarakat Muslim Indonesia dalam menyambut bulan Ramadhan terlihat dari antusias dalam menjalani sederet amalan-amalan didalamnya. Pada bulan Ramadhan kita menjumpai kemeriahan subuh. Setelah sahur, masjid dipenuhi dengan jamaah yang menunggu saat subuh tiba. Menjelang waktu buka puasa, tidak jarang jalanan sepi, karena kita menjumpai pedagang memanjakan bagi sebagian orang yang mencari dan membeli makanan ta’jil. Selepas maghrib, masjid-masjid dipenuhi jamaah yang hendak tarawih.

Menjelang lebaran –Idul Fitri- suasana berbeda. Para perantau yang mengadu nasib dikampung orang mulai berbondong-bondong pulang kehalamannya. Tradisi ini cukup unik, kita menyebutnya mudik. Dapat dipastikan para pemudik mati-matian untuk bisa sampai dikampungnya dengan selamat. Mereka rela berdesakan mulai dari pemesanan tiket, naik kendaraan bahkan saat turun ketika setibanya ditempat tujuan. Pada saat bersamaan, ibu rumah tangga mulai disibukkan dengan urusan “dapur”. Menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan perut saat hari Idul Fitri tiba. Masih pada saat yang sama, pusat perbelanjaan semakin ramai, jamaah tarawih pun berpindah ditempat tersebut. Maka jelas, posisi THR sungguh sangat berarti pada saat seperti ini. Ketika urusan sandang dan pangan semakin mendesak, uang diposisikan sebagai second god (Tuhan kedua).

Hari-hari terakhir dibulan Ramadhan memberikan nuansa yang khas dibandingkan dengan lainnya. Suasana ini yang terkadang membuat kita rindu setengah mati, berharap episode Ramadhan ini berlanjut. Saat seperti ini kita menjumpai para orang tua (lansia) berharap agar dipertemukan dengan Ramadhan tahun mendatang.
Pada 1 Syawal, umat Muslim pun dengan penuh suka citanya merayakan “kemenangan”, kemenangan setelah berpuasa bulan Ramadhan. Masih dalam fajar, mereka disibukkan mempersiapkan hajatan “akbar” yang dinanti-nanti, berkumpul di tanah lapang atau masjid, melaksanakan salat Ied. Mulai dari yang tertua sampai termuda sibuk dengan pakaian apa yang hendak mereka kenakan. Dengan berombongan serta mengumandangkan takbir, mereka meninggalkan rumah menuju tempat dilaksakannya ritual salat Ied. Riuh suara anak-anak menjadi bumbu perjalanan. Dilengkapi dengan suara letusan petasan yang membuat suasana Ied semakin kental. Seusai salat Idul Fitri, dan kembali kerumah, suasana haru menjadi pemandangan. Saling bersalaman dan bermaafan. Tidak jarang tetesan air mata melinang.

Demikian sekelumit pemandangan yang menjadi hidangan saat Ramadhan hingga tibanya Idul Fitri. Setelah itu, kita kembali kehilangan, kehilangan keramaian masjid yang tentu saja meninggalkan kerinduan Ramadhan; kehilangan suasana santap sahur yang kita nikmati dengan menahan rasa kantuk; bunyi petasan yang terkadang hingar di telinga dan banyak lagi kehilangan-kehilangan lainnya. Semoga Tuhan berkenan pertemukan kita dengan Ramadhan tahun mendatang. Amin